MAJALENGKA, fajarsatu.- Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Majalengka mempertanyakan fungsi pengawasan makanan dan minuman yang beredar di masyarakat.
Mereka menilai kasus keracunan makanan di kota angin ini telah sering terjadi.
LPA mencatat, terkait kasus keracunan yang ramai dalam setahun terakhir ini terjadi di wilayah Leuwimunding, Cingambul dan terakhir di wilayah Rajagaluh.
Pihaknya merasa perlu menyoroti, mengingat sejumlah pasien atau warga yang mengalami keracunan sebagian di antaranya adalah anak-anak di bawah umur.
”Kemana fungsi pengawasan dari pemerintah melalui dinas atau YLBK? Kejadian demi kejadian hanya sekedar informasi semata, tanpa ada langkah yang harus dilakukan dalam pengawasan makanan dan minuman yang beredar di masyarakat,” Ujar Aris Prayuda, Ketua LPA Majalengka, Kamis (19/09/2019).
Aris menjelaskan, pihaknya menilai bahwa fenomena keracunan makanan ini hanya bisa ditindaklanjuti ketika ada peristiwa saja. Sementara tindakan preventif untuk pencegahannya nyaris tidak ada.
“Sepertinya, masyarakat di setiap kecamatan harus keracunan dulu, baru kemudian diawasi wilayah itu, dari aspek makanannya,” ujarnya.
Aris melihat bahwasannya proses pengawasan pada makanan dan minuman hanya pada saat akan menghadapi hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha.
Sementara, momen di luar hari raya itu seolah tidak pernah ada tindakan pengawasan secara berkala.
“Paling nanti kalau misal setiap pelosok warga dan anak anak keracunan baru deh turun tangan tuh.
Jadi fungsi pengawasannya tidak pernah ada kecuali hari raya saja. Itu juga hanya sebagai administrasi dan dokumentasi.” katanya.
Aris menambahkan, saat ini pemerintah pun kurang program dalam memberikan edukasi pada anak anak di sekolah, pelaku usaha yang ada di pasar, kantin sekolah maupun masyarakat, tentang pemahaman kelayakan makanan dan minuman. Pemerintah, dinilai tidak pernah serius mengatasi persoalan pengawasan.
“Apalagi anak-anak di Majalengka yang jadi korbannya ini menunjukkan pemerintah tidak pernah serius mencegah hal itu,” ungkapnya.
Aris juga menyebut UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditambah UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak tidak pernah dijalankan pemerintah bahkan mereka tidak pernah betul-betul memahami isinya. (FS-8)