SUMBER, fajarsatu.- Regulasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2019 ini dinilai tidak adil dalam memperhatikan sisi kemanusiaan khusunya bagi para tenaga honorer yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun.
Bahkan pemerintah dinilai tidak mengindahkan amanat undang-undang yang telah dijelaskan dalam Pancasila khususnya sila kedua yakni “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Seperti halnya yang dialami oleh ribuan Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) se Indonesia yang saat ini nasibnya masih menggantung.
Oleh karenanya, Forum Komunikasi PLKB Indonesia merasa sangat keberatan atas sikap Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dengan susunan formasi CPNS yang dibuat dan telah ditentukan.
Bahkan, pemerintah dianggap tidak memperhatikan para honorer yang telah mengabdi pada negara bertahun-tahun lebih.
Semenjak diberlakukannya UU No 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah, pengelolaan tenaga penyuluh keluarga berencana PLKB yang semula menjadi urusan Kabupaten/Kota menjadi urusan pemerintah pusat dan status PLKB non PNS masih ngambang.
“Awalnya kami direkrut pemprov perwakilan BKKBN Jabar dan selama ini kami digaji pemprov melalui dana hibah Dinas DP3AKB Jabar. Tapi kami bekerja untuk pemerintah pusat BKKBN pemprov perwakilan BKKBN Jabar,” ungkap Ketua Koordinator TPD/PLKB Kabupaten Cirebon Luthfi kepada wartawan, Kamis (21/11/2019).
Pemda, menurutnya, begitu kewenangan diambil oleh pemerintah pusat, status PLKB mestinya pegawai pusat
Luthfi yang juga sebagai Pengurus Pusat Forum Komunikasi PLKB Indonesia Bidang Kemitraan dan Kerjasama antar Organisasi yang diketuai oleh Niketut Adriyani itu, mengajak semua rekannya untuk merapatkan barisan untuk bersatu dengan forum komunikasi PLKB Indonesia dalam membahas strategi guna meneruskan aspirasinya ke Jakarta.
Pria asal Desa Pabedilan Wetan ini mengemukakan, saat ini terdapat lima poin penting akan persoalan yang selama ini dihadapi oleh PLKB.
Diantaranya, perihal honorarium PLKB non PNS yang masih jauh di bawah standar UMR provinsi. Kemudian adanya diskomunikasi terhadap PLKB non PNS baik secara tupoksi, tanggung jawab fasilitas tunjangan kesehatan.
Ketiga, SK yang berbeda-beda di tiap daerah di Indonesia , karena ada SK yang menyebutkan tenaga harian lepas dan TPD Jabar. Tetapi pemerintah belum memperhatikan baik materi dan non materi.
“Disatu satu sisi PLKB tupoksi kami sama dengan PLKB PNS. Namun belum adanya perhatian dari BKKBN provinsi dan BKKBN pusat mengenai keberadaan PLKB non PNS,” terangnya.
Dikatakannya, semenjak alih kelola PLKB PNS ke pemerintah pusat terjadi diskriminasi diklat pelantikan terhadap PLKB non PNS dan diskriminasi dalam perekrutan CPNS. Artinya penerimaan CPNS tidak substansi dan tidak ada kaitannya terhadap aspek bidang kerja dan tidak punya korelasi yang positif.
Oleh karenanya, dia menuntut agar status kepegawaian untuk diperjelas. Sehingga tidak ada keleluasaan setiap akhir tahun. Selain itu, dirinya berharap adanya penyesuaian upah dengan tupoksi PLKB non PNS agar sesuai dengan upah Provinsi seluruh Indonesia khususnya Jawa Barat.
“Tentunya ke depan kami semua sangat berharap agar diupayakan bisa diangkat menjadi CPNS dari jalur khusus berdasarkan keputusan presiden,” ungkapnya.
Untuk diketahui, dalam pernyataan Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan, kekurangan petugas lapangan penyuluh KB di Indonesia sekitar 26 ribu untuk mencapai rasio ideal. Seharusnya BKKBN RI mengangkat PLKB non PNS yang jumlahnya 9.937 orang untuk memenuhi kekurangan tersebut.
“Khusus untuk di Kabupaten Cirebon sendiri, ada sekitar 150 lebih. Makanya ke depan khusunya pemda harus bisa lebih memperhatikan kami, mengingat beban kerja yang diemban tidak mudah dalam memberikan penyuluhan bagi masyarakat,” paparnya. (FS-7)