CIREBON, fajarsatu.- Prosesi Muludan yang dilaksanakan secara bersamaan setiap 12 Rabiul Awal Hijriyah itu disebut Tradisi Panjang Jimat. Tiga keraton yakni Keraton Kaepuhan, Kanoman dan Kacirbon melaksanakan prosesi ini dengan tata cara masing-masing.
Yang jelas, biasanya di alun-alun Keraton Kasepuhan sebelum acara puncak sudah diramaikan oleh pasar rakyat. Sementara prosesi Panjang Jimat di tiga keraton terhitung aktif selama satu minggu. Semua persiapan dan pekerjaan dilakukan masyarakat secara sukarela dan turun temurun.
Tradisi Panjang Jimat memiliki kekuatan menghadirkan orang untuk berada dalam satu ruang publik. Ruang terjadinya interaksi sosial sehingga masyarakat bisa bersilaturahim langsung dengan sultan.
Peristiwa Muludan pun berada dalam waktu yang sakral yang diyakini kalau doa memiliki kekuatan tersendiri. Maka, berbondong-bondonglah masyarakat datang untuk memanjatkan doa, berzikir penuh dengan keyakinan dan semangat hidup. Doa, keyakinan, dan harapan yang menjadi kekuatan hidup.
Sementara itu, kehadiran pengunjung dari berbagai wilayah memberi peluang untuk gelar dagangan di pasar rakyat yang berlangsung hampir satu bulan. Akhirnya pasar tidak hanya menjadi tempat berputarnya uang dalam proses jual beli, tetapi juga menjadi ruang interaksi para pengunjung berbagai usia.
Hal ini menunjukan, Muludan tidak hanya menjadi ruang sakral, tetapi juga sebagai ruang hiburan masyarakat.
Di Keraton Kasepuhan, sejumlah benda pusaka, termasuk piring serta perabotan dapur buatan Tiongkok dihiasi tulisan Arab berupa ajaran tauhid berbunyi Syahadat yang diyakini dibawa langsung oleh Sunan Gunung Jati serta benda bersejarah lainnya, diarak dari Bangsal Prebayaksa ke Langgar Agung Keraton untuk dibacakan Barzanji.
Jimat sendiri merupakan akronim dari kata “diaji” dan “dirumat” yang artinya ajaran-ajaran Islam dipelajari dan diamalkan dengan mencontoh Nabi Muhammad SAW. Sebuah pesan simbolik untuk mempertahankan tauhid sepanjang hayat.
Sementara, di Keraton Kanoman, Panjang Jimat digelar sekira pukul 21.00 WIB setelah sebelumnya dibunyikannya Gong Sekati (gamelan Sekaten). Ditandai dengan sembilan kali bunyi lonceng Gajah Mungkur yang berada di gerbang depan keraton.
Tiupan pluit mengisyaratkan warga agar memberikan jalan bagi iring-iringan keluarga keraton yang diikuti abdi dalem menuju langgar alit berjarak sekitar 500 meter.
Di Keraton Kacerbonan, Muludan di mulai dengan memandikan barang pusaka pada pagi hari dan malam harinya akan di kirab menuju masjid di samping keraton.
Setelah iringa-iringan Panjang Jimat masuk kedalam masjid, akan dilaksanakan Marhabanan, Tawasulan, dan juga doa-doa bersama untuk kebaikan masyarakat. (FS-7)