CIREBON, fajarsatu.- Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.
Demikian dikatakan pengamat social politik dan penulias buku, Syamsudin Kadir saat memberikan pemaparannya dala kegiatan Pendidikan Politik dan Kaderisasi DPC Gerindra Kota Cirebon bertajuk “Menolak Paham Radikal” yang berlagsung di C Hotel, Jalan Terusan Jalan Pemuda, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, Minggu (15/12/2019).
Djelaskannya, paham radikalime merupakan aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara yang drastis atau kalau perlu dengan kekerasan. Selain itu, paham radikalisme juga dapat diartikan sikap ekstrim dalam aliran politik dan kegiatan yang bertujuan merubah sistem sosial politik secara drastis.
“Sementara kriteria radikalisme ada tiga yakni mempunyai keyakinan dan fanatik buta atas apa yang diperjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang berlaku,” jelasnya.
Kedua, lanjutnya, menggunakan aksi-aksi kekerasan atau kasar terhadap kelompok masyarakat lainnya yang dianggap bertentangan dengan keyakinannya dan terakhir secara sosio-kultural dan sosio-religius, mereka mempunyai ikatan kelompok yang solid dan kuat.
Menurut Syamsudin, radakalisme sendiri dibagi yaitu, radikalisme statis dan radikalisme destruktif. “Radikalisme statis adalah Pemikiran radikal yang lebih bersifat gagasan, tidak dalam bentuk aksi nyata kekerasan, sedangkan radikalisme destruktif artinya Radikalisme yang merusak, gunakan metode kekerasan dalam wujudkan tujuan yang dicita-citakan,” papar dia.
Pendekatan untuk memahami radikalisme dalam politik, kata Syamsudin, juga terbagi tiga antara lain, strukturalis, moralis dan psikologis. Jelasnya, strukturalis merupakan paradoks antara orang yang berkuasa (powerful) dengan warga (powerless).
“Negara dipandang sering menyalahgunakan kekeuasaannya dan oleh karena itu harus dilawan oleh rakyat. Yang ingin dirubah adalah struktur pemerintahan/negara dan para pemimpinya,” ujar penulis yang yang telah menerbitkan 22 judul buku ini.
Sementara, moralis dapat diartikan paradoks antara negara/penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan (corrupt) dan warga yang jujur (honest). Di sini rakyat harus melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh negara/penguasa melalui para pemimpinnya yang secara moral, tingkah laku pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan merupakan kejahatan politik.
“Sedangkan psikologis merupakan paradoks antara prilaku penjahat politik yang normal dan abnormal, sehingga kejahatan politik dapat dilihat sebagai gejala patologis (sakit jiwa), emosional (pemarah) dan irasional,” kata alumni UIN Bandung ini.
Tambahnya, ada lima ciri radikal menurut BIN dan BNPT yaitu anti Pancasila, Anti NKRI, terpapar paham jihadis, terpapar paham takfiri dan intoleran.
“Penyebab timbulnya radikalisme didorong oleh rasa ketidakadilan dan kekecewaan akibat tata sosio-ekonomis dan sosio-politis,” pungkasnya. (FS-2)