SUMBER, fajarsatu.- Terasi merupakan salah satu bahan penyedap rasa masakan yang berbahan baku ebi (udang kecil) oleh masyarkat Cirebon disebut rebon. Setelah direbus, rebon kemudian dipermentasi (diemplep) lalu ditumbuk halus.
Di abad ke-13, terasi merupakan komoditas yang memiliki nilai tinggi dan menjadi komoditas perdagangan yang dibutuhkan.
Di awal terbentuknya tatanan Pemerintahan Cirebon, dari sebuah pendukuhan hingga menjadi kadipaten (kabupaten) sebagai wujud pengakuan kekuasaan Kerajaan Padjajaran, Kadipaten Cirebon membayar upeti berupa terasi kepada Prabu Siliwangi
Bahkan dalam deklarasi pemisahan diri dari Kerajaan Padjajaran sebagai negara berdaulat, Sunan Gunung Jati yang didaulat sebagai sultan pertama, dalam beberapa manuskrip maupun pupuh kuno, meyebutkan “Cirebon harepak tetekon Ginelar Nagari mangadeg Pribadi. Datan Atur ulu bekti, uyah kelawan trasi maring raja sakti pakwuan Padjajaran” (Cirebon tidak akan tunduk, sebagai negara yang berdaulat tidak akan membayar pajak (upeti) berupa garam dan terasi kepada Raja Padjajaran ).
Terasi sendiri merupakan olah pikir dan rasa penduduk asli Cirebon pesisir yang di pelopori Ki Ageng Alang-alang dan menantunya Pangeran Cakrabuana alias Mbah kuwu Cerbon. Industri terasi semakin dikembanggkan hingga menjadi komoditas perdagangan Cirebon.
Saat itu terasi merupakan home Industry rakyat Cirebon yang berkembang cukup pesat hingga nama itu pula yang melekat pada daerah penghasil terasi di jamannya yaitu Cirebon, yang berasal dari kata Cai (air) rebon (udang ).
Sebagai industrialisasi tertua di Cirebon, keberadaan terasi seakan terlupakan. Sentra-sentra produksi terasi kian tersisih, bahkan tidak sedikit yang gulung tikar. fajarcirebon.com mencoba menyusuri keberadaan sentra industri terasi di Desa Kanci, Kecamatan Astana Japura, Kabupaten Cirebon.
Menurut Kuniah (51), pengrajin terasi di Blok Kemis, Desa Kanci mengatakan, industri terasi rakyat keberadaannya kian tersisih oleh pabrik-pabrik besar yang tumbuh di wilayahnya. Namun, lanjut Kuniah, industri terasi rakyat memiliki kualitas yang baik karena tidak memakai bahan kimia juga menggunakan bahan khusus berupa rebon.
“Bahan baku terasi itu berupa rebon, kalau bahan dari udang rasanya akan berbeda. Buatan masyarakat biasanya original sesuai resep tradisional Mbah Kuwu,” ucap Kuniah yang mengaku sudah dua puluh tahun menekuni pembuatan terasi secara turun temurun.
Tarmadi, tokoh masyarakat Cirebon Timur mengungkapkan prihatinan perkembangan industri terasi saat ini.
Menurutnya, terasi tidak hanya sekedar komoditas, melainkan sebuah industri kreatif yang diciptakan pendiri Cirebon dalam membangun ekonomi masyarakat. Semestinya, kata Tarmadi, pemerinth daerah dapat membantu home industry terasi dari segi pemasarannya maupun peningkatan mutunya.
“Terasi itu memiliki hirarki dan sejarah. Ini tugas kita bersama untuk menyelamatkan komoditi primadona di era Kesultanan Cirebon. Nilai positif masa lalu, keberadaan terasi harus tetap lestari bahkan bila perlu di tingkatkan nilai jualnya,” ujar pengusaha perikanan dan pemerhati ekonomi masyarakat pesisir ini. (FS-2)