JAKARTA, fajarsatu.- Kasus mega korupsi di dua BUMN yakni, Asuransi Jiwasraya dan Asabri hingga belas triliunan ruipiah, mendapat tanggapan dari anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon.
Berikut cuitan di akun twitter miliknya yang diberi nama “Jubir Rakyat”.
Sesudah bersitegang selama masa kampanye kemarin dan terbelah sejak Pilpres 2014 lalu, ia berharap bisa membangun kehidupan politik dan kenegaraan yang lebih baik sesudah terjadinya pertemuan elite politik beberapa bulan lalu.
Sayangnya, pergantian tahun kemarin ternyata ditutup oleh berita skandal Jiwasraya dan lembaran baru 2020 justru dibuka dengan kasus Asabri. Kedua perusahaan asuransi milik negara tersebut diduga telah melakukan malpraktik investasi yg berujung pada kerugian triliunan rupiah.
Pada 16 Desember 2019 silam, di hadapan DPR RI, direksi Jiwasraya secara verbal telah melempar handuk putih. Mereka mengaku tak sanggup memenuhi klaim polis nasabah yang akhir tahun kemarin nilainya mencapai Rp 12,4 triliun.
Sebelumnya, seiring laporan keuangan pada 2017, Jiwasraya diketahui telah melakukan investasi hingga Rp 19,17 triliun ke reksadana. Namun, investasi ini terus turun nilainya menjadi Rp 16,32 triliun pada 2018 dan anjlok menjadi Rp 6,64 triliun pada 2019.
Hal yang sama juga terjadi pada investasi mereka di pasar saham. Dari investasi awal senilai Rp 6,63 triliun pada 2017, nilainya anjlok menjadi Rp 3,77 triliun pada 2018, dan terus merosot menjadi Rp 2,48 triliun pada 2019.
Untuk deposito, laporan keuangan Jiwasraya menyebut angka Rp 4,33 trilun pada 2017 silam. Nilai ini telah turun menjadi Rp 1,22 triliun pada 2018, dan hanya tinggal Rp 0,8 triliun pada 2019. Menurut perkiraan, total utang perusahaan asuransi ini mencapai Rp 49,6 triliun.
Kasus Jiwasraya yang mencuat di ujung tahun ternyata bukan satu-satunya kasus besar yg sedang membelit kita.
Pada 10 Januari 2020, terdengar jika Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), sebuah perusahaan asuransi milik negara yang melayani prajurit TNI, anggota Polri, serta para PNS di Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia, tengah menghadapi persoalan sejenis dengan Jiwasraya. Nilai kerugian perusahaan ini diperkirakan lebih dari Rp 10 triliun.
Berbeda dengan Jiwasraya yang mengaku gagal bayar, pemerintah mengklaim bahwa secara operasional Asabri tidak bermasalah. Artinya, jika ada klaim, atau ada pensiun, perusahaan ini masih bisa membayar. Meski demikian, portofolio saham milik Asabri diketahui telah anjlok hingga 90 persen.
Kasus Jiwasraya dan Asabri ini terus terang membuat terpukul. Apalagi, kasus gagal bayar sebelumnya juga dialami BPJS Kesehatan, sebuah lembaga milik negara yang mengelola premi kesehatan seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh kasus ini menunjukkan betapa buruknya sistem jaminan sosial masyarakat, sekaligus lemahnya pengawasan atas manajemen social protection di negeri ini.
Bisnis asuransi sosial yang seharusnya secure dan prudent, apalagi ini dikelola oleh (perusahaan) negara, nyatanya mudah sekali mengalami fraud.
Tak berlebihan jika ada yang menilai negara bukan hanya telah gagal memberikan jaminan perlindungan sosial bagi warganya sendiri, karen mereka telah memungut premi, tapi bahkan juga gagal mengelola premi yang telah dibayarkan oleh pemegang polis.
Menghadapi kasus-kasus ini, Fadli Zon mengira ada beberapa hal yang harus segera dilakukan oleh pemerintah. Pertama, belajar dari kesalahan penanganan kasus Century, fokus utama penegak hukum seharusnya pada bagaimana bisa mengembalikan uang masyarakat yang menjadi korban.
Sebab, meskipun lazimnya uang nasabah yang diinvestasikan dalam reksadana maupun saham tdk akan kembali, krn nilainya sangat rendah bahkan tidak berharga (junk stock), namun pemerintah harus bisa memaksa seluruh pihak yg terlibat dalam kejahatan ini untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara material. Sehingga, dana nasabah pada akhirnya bisa dikembalikan hingga semaksimal mungkin.
Kedua, harus ada penalti terhadap lembaga-lembaga yg membiarkan atau bahkan terlibat dalam kasus ini.
Jangan lupa, kasus ini melibatkan kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap sistem hukum Indonesia, kepercayaan terhadap tata kelola perusahaan BUMN, dan menyangkut kepercayaan terhadap iklim investasi di negeri ini.
Sehingga, ada banyak otoritas yg harus dimintai pertanggungjawaban untuk memulihkan semua hal tadi, termasuk meminta maaf atas kelalaian yang telah merugikan banyak orang.
Ia mengapresiasi Kementerian Keuangan yang telah memeriksa akuntan publik yg melakukan audit terhadap Jiwasraya pada 2014, 2015, 2016 dan 2017. Sedangkan, akuntan publik 2006-2013 diketahui telah meninggal.
Pemeriksaan tadi dilakukan berdasarkan UU No. 5/2011 ttg Akuntan Publik. Bagaimanapun, masyarakat tak akan mudah tertipu berinvestasi jika akuntan publik yg melakukan audit laporan keuangan bekerja dengan benar, tidak terlibat dalam upaya window dressing.
Ketiga, ini adalah saat yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan bersih-bersih BUMN, agar ke depan BUMN tak lagi dijadikan sapi perah kekuasaan, atau diperalat oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Itu sebabnya, sesudah ini seharusnya tak ada lagi rangkap jabatan di perusahaan pelat merah, baik oleh direksi maupun komisaris.
Tidak ada cerita, misalnya, anggota partai politik, staf khusus menteri, atau staf khusus presiden bisa diangkat jadi komisaris BUMN sebagaimana yang masih terjadi hingga hari ini.
Perusahaan negara seharusnya dikelola secara profesional oleh kalangan profesional. Rangkap jabatan adalah salah satu indikasi ketidakprofesionalan.
Jika beberapa bulan lalu sempat populer slogan “Reformasi Dikorupsi”, maka kasus Pelindo II, Garuda, Jiwasraya atau Asabri adalah contoh konkretnya.
Padahal dulu salah satu tuntutan penting reformasi adalah menghilangkan KKN, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme. Tapi sekarag semuanya ada di BUMN. Dan dipraktikkan secara telanjang.
Jika membaca ulang konstitusi, portofolio BUMN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebenarnya mulia. BUMN merupakan instrumen bagi negara untuk melakukan campur tangan kegiatan perekonomian.
Keberadaannya sejalan dengan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945. Kehadirannya merupakan bukti bahwa negara tdk menyerahkan begitu saja kegiatan perekonomian kepada mekanisme pasar. Negara ikut campur di bidang strategis ekonomi dgn membentuk BUMN. (FS-2)
Sumber: Akun Twitter “Jubir Rakyat”