Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis buku “Mencintai Politik”)
“PKS dan Gerindra itu tidak sekadar sekutu bahkan sudah segajah”. Begitu ungkapan familiar para elite dan kader lapisan akar rumput kedua partai tersebut selama sekian tahun terakhir. Berbagai media massa dan media sosial cukup lengkap mendokumentasikan semuanya.
Publik tentu percaya saja dengan ungkapan tersebut. Sebab pada kenyataannya memang begitu. Sejak beberapa kali Pilkada Serentak hingga Pilpres dan Pileg 2019 lalu, kedua partai terlihat begitu solid. Bahkan terkesan saling membela dalam berbagai isu dan opini politik di ruang publik.
Namun akhir-akhir ini, keadaan semacam itu mendapat respon yang semakin berbeda di kalangan publik. Sebagian publik mempertanyakan soal benar atau tidaknya soliditas kedua partai yang lahir pada era reformasi tersebut.
Tak usah jauh-jauh. Pada saat Sandiaga Uno mundur sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta dan gagal terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon Presiden, hubungan PKS dan Gerindra terlihat agak renggang dan memanas. Ibarat kedua sahabat yang akrab berbicara di atas meja, namun kaki mereka saling menginjak secara bergantian.
Walaupun elite kedua partai tersebut terkesan menutupi kondisi tersebut dengan berbagai alasan dan diksi politisi di berbagai forum dan media massa, namun kecurigaan publik soal kerenggangan keduanya belakangan ini semakin terlihat jelas dan tak bisa ditutup-tutupi lagi.
Satu fakta yang paling mutakhir adalah soal penentuan pengganti Sandiaga Uno sebagai Wakil Gubernur. Bayangkan saja, hampir setahun belakangan belum ada kejelasan apa-apa. Tarik menarik kepentingan terlihat secara gamblang. PKS dan Gerindra seperti suami-istri yang konon sekasur namun beda mimpi.
Ya ujungnya adalah finalitas penentuan Wakil Gubernur di ibukota negara ini. Lihat saja dinamika penentuan sekaligus pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta kemarin Senin 6 April 2020. Calon usungan PKS, Nurmansyah Lubis, benar-benar kalah telak. Hanya mendapat 17 suara dari 100-an lebih suara. Satu realitas sekaligus akrobat politik yang menimbulkan begitu banyak asumsi dan analisa.
Bayangkan saja, Anis Baswedan (Anis) itu akrab dan kerap diidentifikasi sebagai tokoh dalam bayang-bayang Gerindra. Ahmad Riza Patria (Riza) yang barusan terpilih jadi Wakil Gubernur DKI Jakarta pun juga politisi senior bahkan pendiri Gerindra bersama Prabowo Subianto.
Terpilihnya Riza dengan perolehan 81 suara pada pemilihan Wakil Gubernur hari ini oleh anggota DPRD DKI Jakarta adalah wujud nyata bahwa PKS dan Gerindra sudah benar-benar segajah. Lebih dari sekutu. Tapi segajahnya lain dari yang lain.
Keraguan publik soal soliditas mereka dalam koalisi segajah dalam beberapa waktu terakhir terjawab sudah. Ternyata mereka benar-benar segajah. Lagi-lagi, ini segajahnya lain dari yang lain. Publik tentu hanya bisa berkomentar semacam itu sesuai selera dan daya bacaannya. Sementara yang menikmati dan merasakan drama segajah hanyalah PKS dan Gerindra.
Komentar sederhana semacam itu memang terlihat bagai nyinyir di tengah gundah politik. Bahkan mungkin dianggap semacam komentar norak dan tak layak. Tapi itu komentar yang bisa disampaikan oleh sebagian publik pada suasana politik di ibukota beberapa hari terakhir, terutama pada hari pemilihan kali ini. Toh PKS dan Gerindra masih mengaku berkoalisi dalam segajah. Hingga detik ini masih belum berubah.
Politik memang begitu. Selain bikin ramai kalangan politisi juga bikin pembacaan publik terhadap aksi politik elite semakin ramai. Kadang melahirkan berbagai asumsi. Pokoknya berbagai analisa dan pandangan bakal muncul. Paket koalisi segajah saja sudah begitu ramainya. Bagaimana kalau paket koalisi dalam bentuk paket lain?
Pertanyaan sederhana lanjutannya, apakah koalisi segajah semakin solid dan masih terjaga hingga pada Pemilu Serentak Nasional tahun 2024 mendatang? Lalu, apakah PKS masih membela Anis dalam berbagai kebijakannya di ibukota kini hingga akhir masa jabatannya kelak? Kemudian, apakah paket Anis-Riza masih disokong PKS hingga masa jabatannya berakhir?
Kita tunggu saja jawaban rumput-rumput yang bergoyang, yang kerap menyapa dan secara damai memberi kita keheningan di ujung senja. Karena rumput-rumput yang bergoyang kadang lebih jujur dalam menjawab daripada telisikan elite yang kadang pra bayar dan serba gagap dalam membaca angin politik yang memang lebih banyak bernyawa pragmatis. Akhirnya, selamat menanti jawaban! (*)