Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Agar Ramadan Merindui Kita”
SETIAP kita terutama sebagai umat Islam tentu sangat gembira dengan datangnya Ramadan. Ramadan 1441 H bertepatan dengan April-Mei 2020. Walau kegembiraan kita diselingi oleh bencana non alam: Covid-19, kita tetap optimis bahwa Ramadhan tahun ini bahwa ramadan kali ini bisa kita jadikan sebagai momentum terbaik untuk membenah diri dalam banyak hal, terutama dari dosa dan salah yang kerap kita lakukan.
Ya setiap manusia pasti pernah berbuat dosa dan salah. Tidak ada manusia yang suci bak malaikat seperti halnya tidak ada manusia kotor bak setan. Namun, sedikit sekali orang yang mampu menyadari dosa dan menemukan kesalahan yang dilakukannya.
Betul kata pepatah, semut di seberang lautan kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Padahal, kemampuan menyadari dosa dan menemukan esalahan pribadi adalah gerbang awal untuk melakukan perbaikan. Ibarat orang sakit, selama penyakitnya belum ditemukan, maka jangan berharap untuk bisa disembuhkan.
Sayangnya, ketimbang menyadari dosa dan menemukan kesalahan sendiri, tidak sedikit orang yang malah membanggakan diri dan bahkan sok suci. Padahal, akibatnya sangat fatal, yakni melanggengkan diri dalam kesesatan dan kemaksiatan. Jangankan bertaubat mensucikan diri, alih-alih tenggelam dalam kubangan dosa juga salah.
Dalam al-Qur’an surat al-Kahfi Allah berfirman,
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (104); “Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak Mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (105)
Karena itu, ketika kelak Allah menyodorkan raport merah amalnya di dunia, kedua matanya akan terbelalak. Penyesalannya luar biasa. Bahkan kalau bisa, dia berharap bisa dihidupkan kembali ke dunia meski sedetik saja.
Namun nasi sudah kepalang jadi bubur. Pintu taubat telah terkunci. Sebesar apapun penyesalan, sama sekali tidak akan berarti. Sementara itu menghadap gugatan Illahi, semua lidah kelu. Setiap mulut terkunci. Sedangkan seluruh anggota tubuh tampil menjadi saksi. Akhirnya, semua dakwaan pun tak terbantahkan. Kemudian vonis Allah atas nasib serta status hamba-hamba-Nya pun dijatuhkan.
Allah berfirman, “Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka Kami, kitab Apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak Menganiaya seorang juapun”.” (QS. al-Kahfi: 49)
Agar tidak mengalami petaka tragis di depan pengadilan Allah, dalam al-Qur’an Allah mewanti-wanti kita atau manusia untuk senantiasa mengadili dirinya sendiri. Pengadilan pribadi inilah yang akan menyelamatkan manusia di depan pengadilan Illahi.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)
Berkenan dengan perintah pengadilan pribadi, sesuai dengan perintah tersebut, Umar bin Khatab pernah menegaskan, “Hendaklah kalian menghisab diri sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sungguh, orang yang ringan hisabnya pada hari Kiamat adalah kalian menghisab hari ini seolah-olah kalian menimbangnya pada hari yang agung.”
Berbeda dengan Umar, Ibnu Qudama mengibaratkan muhasabah tersebut dengan perilaku seorang pedagang yang senantiasa menghitung untung-rugi. Karena menurutnya kehidupan dunia pada dasarnya adalah ajang transaksi antara manusia dengan Robb-nya. Allah membeli segenap amal kebaikan, jiwa dan raga manusia dengan surga. Agar neraca perdagangan itu tidak merugi, maka kualitas kelayakan amal tersebut setiap saat mesti dievaluasi. Khawatir terlalu banyak ucapan dan perbuatan yang tak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Allah.
Secara umum ada beberapa manfaat bila dilakukan muhasabah diri. Pertama, menyingkap aib dan kelemahan sendiri. Orang yang tidak mampu menyingkap aib sendiri, maka dengan sendirinya tidak akan mampu menghilangkannya. Sekiranya merasa tak mampu melakukannya, bisa dilakukan dengan meminta bantuan orang lain untuk menunjukkan.
Berkenan dengan hal tersebut agaknya Umar bin Khatab adalah teladannya. Beliau sendiri adalah sahabat yang dikenal tegas dan tanpa kompromi. Namun untuk hal nasehat dan memperbaiki diri, beliau patut kita tiru. “Semoga memberikan rahmat kepada seseorang yang menunjukkan kepadaku aib-aibku.” begitu ungkap Umar bin Khatab.
Kedua, mengetahui hak-hak Allah. Pengetahuan ini akan menyadarkan kita bahwa selama ini betapa banyak hak-hak Allah yang belum kita penuhi. Betapa banyak nikmat Allah yang kita ingkari ketimbang kita syukuri. Setelah itu, timbullah penyesalan dan ketulusan untuk bertaubat. Dan terbukalah pintu ketaatan, ketundukan, dan harapan yang besar atas rahmat dan ampunan Allah.
Ketiga, terbukanya peluang untuk memperbaiki hubungan diantara sesama kita sebagai manusia. Perusak utama keharmonisan hubungan di antara sesama manusia adalah sikap egois seperti merasa menang sendiri. Egoisme inilah yang membatasi seseorang untuk melihat kesalahan dirinya.
Melalui muhasabah seseorang dituntun melihat kesalahan-kesalahan dirinya secara jujur dan lapang dada. Sikap seperti ini adalah kunci pembuka hubungan antara manusia sehingga menjadi lebih mesra. Tumbuhlah bibit-bibit persaudaraan dan menyingkirkan segala dendam kesumat dan kedengkian.
Keempat, melepaskan diri dari sifat-sifat nifak. Biasanya, untuk menutupi rasa gengsi, orang bersalah selalu membela diri. Padahal nuraninya memberontak sakit. Itulah sifat nifak yang sesungguhnya. Dengan menghisab diri sendiri, seseorang akan terdorong untuk menyelaraskan ucapan dan perbuatannya. Sehingga ia tak menjadi manusia bermuka dua.
Mengingat hikmahnya begitu kaya, maka setiap kita mesti menyempatkan diri untuk menggelar pengadilan pribadi, melakukan muhasabah atau instropeksi diri. Upaya tersebut akan menjauhkan kita dari sikap sombong dan rasa benar sendiri. Sehingga, setiap kesalahan secara ksatria akan langsung diakui dan diperbaiki.
Dengan demikian, terhindarlah kita dari watak setan yang setiap melakukan kesalahan selalu mencari kambing hitan alias menyalahkan orang lain. Akibatnya makin lama makin ada perbaikan; bukan tersesat atau makin jauh menyimpang dari kebenaran.
Walau dilanda bencana non alam: Covid-19, Ramadan 1441 H (2020) kali ini adalah momentum terbaik bagi kita untuk terus menerus mengevaluasi diri kita. Ya menjadi pengadilan awal bagi diri kita. Bangun kesadaran penuh bahwa kita adalah manusia biasa yang mungkin terjebak dalam dosa dan salah. Dan sebaik-baik pendosa dan penyalah adalah yang bertaubat dan memohon ampun kepada Allah serta memohon maaf kepada sesama manusia. (*)