GUNUNG JATI, fajarsatu – Grebeg Syawal tidak hanya sekedar ritual ziarah dan silaturahmi antara kelurga Kesultanan Kanoman dengan seluruh lapisan masyarakat saja, melainkan Grebeg Syawal bisa menjadi satu media ritual tolak bala pengusir wabah.
Dalam ritual Grebeg Syawal di dalamnya terdapat pembacaan doa-doa tolak bala seperti surat al-Mu’awwidzatain (Al-Falak dan An-Nas) dalam setiap rangkaian tahlil di pesarean raja-raja Cirebon.
Selain Surat Al-Mu’awwidzatain, dalam rangkaian doa tersebut sebelumya didahului dengan tawasul, yakni mengirim doa sebagai bentuk wasilah yang mendoakan (keluarga kesultanan) kepada Allh SWT.
Dalam ajaran Islam, para wali itu tidak pernah mati, termasuk Sunan Gunung Jati, beliau hidup membersamai keturunanya (keluarga Kesultanan Kanoman).
Oleh sebab itu, Sunan Gunung Jati bisa menjadi wasilah pelindung kita semua dari bencana, mara bahaya termasuk wabah Covid 19.
Hal ini disampaikan Juru Bicara Kraton Kanoman Cirebon, Ratu Raja Arimbi Nurtina saat kegiatan Grebeg Syawal yang dilaksanakan di Kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati, Minggu (31/5/2010).
“Maulana Habib Lutfi bin Yahya, juga pernah mengatakan, bahwa Sunan Gunung Jati adalah wali pelindung Tanah Jawa. Oleh sebab itulah, Keraton Kanoman masih tetap melaksanakan Grebeg Syawal di tahun ini, meskipun dalam situasi pandemi. Hal ini kami lakukan semata-mata karena komitmen kami pada tradisi leluhur dan upaya spiritual doa dalam mengusir wabah Covid 19 tanpa ada maksud melawan himbauan pemerintah,” ujar Arimbi.
Dikatakan Arimbi, Grebeg Syawal merupakan tradisi yang menjadi prosesi ritual Kesultanan Kanoman Cirebon sejak beberapa abad lalu. Prosesi ritual yang ditahbiskan (disucikan) dalam bentuk “pengakuan” terhadap silsilah para leluhur dan perhelatan (Kenduri/Selametan atas rasa syukur) yang berisi doa kepada para Raja-raja Cirebon khususnya Raja-raja Kesultanan Kanoman yang telah seda/Laya (wafat).
Tradisi ini dipimpin oleh Sultan Kanoman XII, Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin yang dalam hal ini diwakili oleh Pangeran Patih Raja Muhammad Qodiran, Patih Kesultanan Kanoman.
Esensi prosesi ritual ini merupakan ziarah kubur (nyekar) keluarga dan kerabat Kesultanan Kanoman ke makam Raja-Raja Kesultanan Kanoman yang telah wafat dan disemayamkan di komplek Astana Gunung Sembung (Komplek Makam Sunan Gunung Jati).
Prosesi ini diawali dengan berkumpulnya para keluarga dan kerabat Kesultanan Kanoman di Pendopo Jinem/Bangsal Jinem keraton kanoman. Pada pukul 06.00 Wib Gusti Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin beserta keluarga dan kerabat Kesultanan Kanoman berangkat dari Pendopo Djinem Keraton Kanoman dan diperkirakan sampai di Astana Gunung Sembung sekitar pukul 07.00 Wib.
Sesampainya di Astana Gunung Sembung, Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin memasuki Kori (pintu) Gapura yakni pintu pertama yang ada di dekat alun-alun dan Kori (pintu) Krapyak. Kedua Kori tersebut, merupakan pintu gerbang dari pintu-pintu yang akan dilalui Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin beserta segenap keluarga dan kerabat Kesultanan Kanoman.
Kemudian memasuki pintu tujuh (Lawang Pitu) Giri Nur Saptarengga, ketujuh pintu itu antara lain, pintu Pasujudan, yakni pintu yang biasa para peziarah umum berdoa dan bertawasul, memasuki pintu Ratna Komala, pintu Jinem, pintu Rararoga, pintu Kaca, pintu Bacem, baru kemudian ke pintu yang ke 9 yakni pintu Teratai, menuju ruangan dalam pesarean Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang berada di puncak bukit Gunung Sembung (Giri Nur Saptarengga)
“Di ruangan dalam pesarean, Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin bersama keluarga dan kerabat kesultanan melakukan tahlil, dzikir serta berdoa di makam-makam leluhur Cirebon yang ada di dalam Gedung Jinem,” kata Arimbi.
Dijelaskan Arimbi, di dalam Gedung Jinem terdapat makam Kanjeng Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) yang berdampingan dengan makam ibundanya (Ratu Mas Rarasantang atau Nyai Mas Panatagama Syarifah Mudaim) dan makam para leluhur yang selama ini, dikenal sebagai tokoh Cirebon, di antaranya, Pangeran Cakrabuana (kakak Ratu Mas Rarasantang), Fatahillah (menantu Kanjeng Sunan), Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Kanjeng Sunan Gunung Jati), Pangeran Dipati Carbon, Pangeran Brata Kelana, Syarifah Mudaim, Nyi Mas Tepasari, Puteri Ong Tien Nio dan tokoh-tokoh yang lain.
“Setelah itu, Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin kemudian melanjutkan tahlil, dzikir dan berdoa di makam Panembahan Ratu I (Cicit Kanjeng Sunan) dan makam Sultan-Sultan Cirebon. Lalu kemudian istirahat sejenak di Balai Laras Atau Lunjuk.
Kemudian Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin dengan diikuti keluarga serta rombongan peziarah, keluar dari Mergu, lokasi pemakaman yang biasa digunakan warga Tionghoa berziarah dan berdoa sebagai bagian dari penghormatan terhadap Puteri Ong Tien Nio.
Dikatakan Arimbi, prosesi berikutnya, Sultan Kanoman XII Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin menuju Pesanggrahan Kanoman untuk jeda istirahat dan mencicipi hidangan “jamuan makan” yang disediakan Jeneng serta Kraman Astana Gunung Sembung.
Seusai jamuan makan, Sultan Kanoman XII Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin dengan keluarga secara simbolis melakukan tradisi surak/sawer (membagikan uang), namun karena kondisi masih dalam situasi Covid 19.
Tradisi sawer pun diganti sementara dengan pemberian masker secara simbolis kepada masyarakat, guna menyampaikan pesan pentingnya menjaga kesehatan dengan memakai masker sebagai upaya mencegah penyebaran Covid 19.
Beberapa saat setelah itu, rangkaian prosesi ritual ditutup oleh Sultan Kanoman XII Kanjeng Gusti Sultan Raja Muhammad Emirudin, segenap keluarga serta kerabat Kesultanan menuju Lawang Pasujudan untuk pamit pulang kembali ke Keraton Kanoman.
“Grebeg Syawal yang berlangsung setiap tahun, dimaksudkan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas karunianya sehingga dapat melaksanakan ibadah puasa selama bulan ramadhan dan puasa sunah 6 hari (puasa syawalan). Prosesi ritual ini, dijadikan media pertemuan (silaturahmi) dan mengukuhkan persaudaraan antar umat Islam (ukhuwah islamiyah-basyariyah) antara Sultan dengan masyarakat luas yang berziarah di makam kanjeng Sunan Gunung Jati.
“Rangkaian prosesi Grebeg Syawal dalam banyak sisi telah mengekspresikan khazanah kebudayaan Islam Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari identitas masyarakat Indonesia khususnya Cirebon,” pungkasnya. (dkn)