CIWARINGIN, fajarsatu – Beberapa bulan terakhir, sempat muncul pemberitaan Cirebon sebagai zona merah faham radikalisme dan terorisme. Menyeramkan memang, hingga timbul pertanyaan kenapa ini bisa terjadi.
Secara eksklusif, fajarsatu.com berhasil menemui Komandan Densus 99 GP Ansor yang juga Wakil Ketua GP Ansor Pusat, M. Nurzaman di kediamannya di kawasan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, beberapa hari lalu.
Dari sejumlah pemberitaan media bahwa Cirebon sebagai zona merah faham radikalisme, menurutnya, karena hampir seluruh kegiatan teroris yang terjadi di negeri ini, seperti penyerangan ataupun bom bunuh diri, melibatkan orang-orang yang ada di wilayah Cirebon.
“Mulai dari peristiwa bom Bali 2, misalnya, ada pelaku bom bunuh diri, berinisial FS orang Majalengka yang tinggal di Cirebon dan mengajar di salah satu lembaga pendidikan di Cirebon,” kata Nurzaman.
Kemudian, katanya lagi, beberapa kejadian terorisme, bahkan yang terakhir peristiwa bom Thamrin juga melibatkan orang yang tinggal di wilayah Cirebon dan penangkapannya cukup banyak.
Menurutnya, mungkin awalnya hanya orang-orang Cirebon atau orang luar yang tinggal di Cirebon, yang direkrut karena Cirebon selalu Nampak. Kemudian daerah ini menjadi basis, bukan hanya tempat rekrutmen, tapi juga kaderisasi dan ini yang menjadikan zona merah.
“Teroris ini ada tahapannya, dalam artian seseorang tidak langsung menjadi teroris dan berfaham radikal begitu saja. Tentunya ada tahapan-tahapan yang dilalui, hingga bisa menjadi nekat melakukan bom bunuh diri. Nah, proses-proses itu dilakukan di Cirebon, bukan di luar Cirebon,” kata pria yang pernah menjadi Ketua GP Ansor Kabupaten Cirebon ini.
Tahapan yang pertama, lanjut dia, dari mulai bersikap intoleran itu adalah orang yang tidak sepakat dengan orang lain, kemudian dia menyalahkan. Yang kedua, adalah dalam bentuk tindakan yang tidak selalu dalam hal melakukan kekerasan.
Dikatakan Nurzaman, tindakan itu seperti memusuhi orang, karena dia berbeda, atau tidak sepakat dengan pendirian tempat ibadah yang dianggapnya berbeda, dan lain-lain. Di Cirebon sendiri tahun 1990 sampai 2000 begitu masif kelompok tersebut.
“Kemudian ini menjadi ruang atau peluang orang untuk berubah menjadi berfaham radikal, kemudian menjadi teroris,” terangnya.
Kenapa itu bisa terjadi, menurutnya, karena sudah ada persiapan cukup lama yang dilakukan orang-orang tertentu, untuk menjadikan wilayah Cirebon sebagai basisnya. Persiapan itu dilakukan baik bermula dari pembentukan lembaga pendidikan, maupun organisasi. Misalkan di daerah perbatasan Kuningan dan Cirebon, disitu ada sebuah lembaga pendidikan, ada dua tempat bahkan disana.
“Kemudian di daerah perbatasan Cirebon-Indramayu. Disitu awalnya sebuah yayasan kemudian menjadi sebuah lembaga pendidikan. Kemudian ada di beberapa daerah lainnya di Cirebon, hingga ke wilayah timur Cirebon juga ada. Bahkan di wilayah perkotaan pun ada juga.” Pungkas Nurzaman. (moh)