Oleh: Syamsudin Kadir
TAK disangka akhirnya saya bertemu juga dengan sosok yang menjadi mentor saya dalam dunia jurnalistik, tepatnya dunia kepenulisan. Sebetulnya saya sudah mengenal dunia kepenulisan ini sejak SMP atau MTs pada 1996-1999 di Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri, Lombok Barat-NTB.
Tapi mulai mengenal lebih mendalam di saat saya kuliah di Bandung. Maka di awal tulisan ini saya perlu menyampaikan terima kasih banyak kepada salah satu senior saya Kang Kelik Nursetiyo Widiyanto (Kang Kelik) yang telah mengenalkan kepada saya sebuah dunia yang tergolong baru bagi saya yaitu dunia jurnalistik, pada 2004 silam.
Ketika itu saya menghadiri acara Pelatihan Jurnalistik yang diadakan oleh sebuah organisasi mahasiswa yang bertempat di halaman atau taman kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang saat itu masih berstatus Institut atau IAIN.
Salah satu rumusan ide menulis yang saya selalu saya ingat hingga kini dari pelatihan tersebut adalah menggali ide melalui rumusan sarang laba-laba. Dalam beberapa pertemuan di saat saya didaulat menjadi narasumber atau fasilitator acara serupa di beberapa pesantren, sekolah, kampus dan kota, saya kerap menggunakan rumusan tersebut.
Bahkan dari seluruh buku yang saya tulis, kurang-lebih 27 buku dan ribuan artikel yang dimuat di berbagai surat kabar atau koran, media online dan beberapa blog saya selama sekitar 10 tahun terakhir, saya menggunakan rumusan sarang laba-laba itu.
Bahkan kalau saya membaca dan menelisik lebih mendalam buku “Literasi Kata” karya senior saya sekaligus Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Kang Roni Tabroni (Kang Roni) yang juga aktif di Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah ini sepertinya paten menggunakan rumusan sarang laba-laba ini.
Memang tak disebutkan secara langsung, tapi peta tulisannya terbaca dengan jelas menggunakan rumusan ini. Terutama dalam buku setebal 156 halaman terbitan Tepas Institute, Bandung, yang baru saya terima dari kiriman penulisnya kemarin Kamis 16 Juli 2020.
Begitu juga bila saya membaca berbagai tulisan senior saya yang kini menjadi Dosen di Universitas Ibn Khaldun, Bogor, Kang Tiar Anwar Bachtiar (Kang Tiar) dalam berbagai buku dan tulisannya di berbagai media massa dan media online. Sangat terlihat sekali salahbsatu tokoh muda Ormas Persatuan Islam (Persis) menggunanakan rumusan sarang laba-laba.
Begitu juga bila saya membaca berbagai tulisan senior sekaligus mentor informal saya dalam dunia literasi Pak Deny Rochman (Pak Deny) dalam bentuk buku dan berbagai artikel lepas yang dimuat di berbagai surat kabar dan blog pribadinya, sepertinya rumusan laba-laba juga menjadi cara dalam menggali idenya.
Siapapun tahu bentuk sarang laba-laba. Ada yang berbentuk lingkaran dan ada pula yang berbentuk lonjong panjang. Walau begitu, secara umum sarang laba-laba memiliki titik pusat. Biasanya terketak di bagian tengah sarangnya. Lalu, sarang ini terbangun atas berbagai sudut atau garisan seperti tali yang saling berhubungan. Ada yang melebar keluar, ada yang melebar ke samping.
Titi tengah atau bagian tengah itulah sumber pertama sebuah ide. Katakanlah kita ingin menulis tentang “melahirkan generasi unggul”. Ini kata kuncinya. Lalu, dari situ biasanya muncul kata baru. Baik itu dalam bentuk pertanyaan maupun dalam bentuk pernyataan yang masih terkait.
Misalnya, bagaimana melahirkan generasi unggul?, apa yang dimaksud generasi unggul?, apa ciri-ciri generasi unggul?, apa institusi atau lembaga melahirkan generasi unggul?, siapa saja yang terlibat dalam melahirkan generasi unggul?, apa saja tantangan dalam melahirkan generasi unggul?, dan masih banyak lagi.
Pertanyaan semacam itu adalah jejaring yang kita tarik atau hadirkan setelah menentukan kata kunci di bagian tengah jaring laba-laba tadi. Semakin banyak pertanyaan maka bakal semakin banyak jawaban dan penjelasan yang kita hadirkan.
Jawaban atau penjelasan tersebut dirumuskan lalu dirapihkan berdasarkan karakter dan kebutuhan kita dalam menulis itu sendiri. Bila semua jawaban atau penjelasan layak dimasukan sebagai sebuah tulisan, ya silahkan. Tapi bila ada yang tak perlu ya tak usah dipakai. Disimpan saja saja dalam file khusus, mana tahu suatu saat kita membutuhkannya.
Saya sendiri tak biasa membuang atau menghapus sebuah tulisan. Karena saya termasuk yang percaya bahwa tidak semua ide itu bisa datang berkali-kali. Mungkin datangnya sekali itu saja. Makanya saya selalu menampung atau menabung ide semacam itu dalam file khusus di laptop saya.
Kabar baiknya, bila nanti saya membutuhkan kosa kata atau paragraf penyambung untuk sebuah tulisan, saya tak perlu bingung dan cape mencari. Saya tinggal buka laptop, cek tulisan yang sesuai kebutuhan saya. Jadi, tak ada tulisan atau ide yang dibuang jadi sampah.
Suatu saat saya ingin sekali membahas tentang rumusan sarang laba-laba dalam tulisan khusus bahkan dalam bentuk buku khusus. Sepertinya pembahasannya bakal seru dan menarik bila diperkaya dengan gagasan dan pola Kang Hernowo dengan “Mengikat Makna Update”-nya.
Buku setebal 214 halaman dan terbitan Penerbit Kaifa, Bandung pada 2009 silam ini cukup lengkap memberi gambaran dan jalan praktis bagi siapapun dalam menulis, terutama dalam menjaga ide menulis, atau dalam bahasa Kang Hernowo “Mengikat Makna”.
Apakah Kang Kelik, Kang Roni, Kang Tiar dan Pak Deny tergoda atau terinspirasi dari polanya Kang Hernowo? Saya tidak tahu. Tapi titik temu saya dengan mereka sepertinya pada rumusan sarang laba-laba itu. Terlihat sederhana memang. Tapi rumusan itu bisa memudahkan siapapun untuk menulis bahkan menghadirkan tulisan yang layak dipublikasi dan dibaca.
Berita baiknya, saya sendiri merasakan bahwa rumusan tersebut sangat memudahkan saya dalam menulis. Bila hendak menulis sebuah artikel, saya tinggal menentukan kata kuncinya lalu mengembangkan kata kunci tersebut dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan. Setelah itu saya kembangkan berdasarkan kemampuan dan selera saya.
Sebagian teman saya belum percaya kalau saya sudah menulis 27 buku dan ribuan artikel yang dimuat di berbagai surat kabar dan media online. Karena memang saya tidak berprofesi sebagai penulis. Saya fokus mengajar dan membangun usaha. Bagi saya, menulis adalah panggilan jiwa. Tepatnya cara saya dalam berdialog dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Saya pun tidak terkenal sebagai penulis. Bahkan saya tidak terkenal. Fokus saya adalah berkarya alias menulis setiap hari. Dalam segala situasi dan kondisi saya mesti menulis. Tak mengenal batasan tempat dan waktu. Pokoknya kapan maunya saya saja. Temanya juga sesuai selera saya saja. Tak ada yang bisa mengintervensi selera dan gaya saya dalam menulis.
Itulah tindak lanjut secara praktis dari rumusan sarang laba-laba tersebut. Itu pulalah yang membuat tulisan saya selama ini masih dibaca oleh banyak pembaca. Bahkan berbagai tulisan saya juga diminta oleh kalangan media massa dan media online untuk dipublikasi di media mereka.
Dan, saya sedang dan akan terus menikmati hasilnya. Kini giliran pembaca di luar sana. Sebab ternyata menulis itu asyik dan bikin ketagihan. Saya pun menanti karya tulisnya. Ya, saya siap membaca karya tulis pembaca dalam bentuk apapun. Semoga kita bertemu pada rumusan yang sama: rumusan sarang laba-laba. (*)
(*) Syamsudin Kadir adalah Penulis buku “Melahirkan Generasi Unggul”