Oleh: Syamsudin Kadir
HARI ini Selasa 30 Juni 2020 sekitar pukul 13.40 WIB saya datang ke Pondok Pesantren Al-Bahjah yang kerap disebut LPD Al-Bahjah. Kali ini saya ada keperluan mendadak sekaligus bersua dengan seorang teman yang sudah lama menjadi pejuangan di Pondok asuhan Buya Yahya ini.
Sesampainya di gerbang Pondok sekitar pukul 14.30 WIB, sesaat saya membuka berita terkini di berbagai media online dan media sosial. Rupanya berita mengenai Covid-19 masih menjadi trending topik pemberitaan berbagai media yang belakangan semakin menjamur itu.
Namun pada beberapa media online juga akun media sosial Facebook saya mendapat kabar meninggalnya seorang Tokoh Muslim asal Kota Bandung-Jawa Barat. Namanya KH. Hilmi Aminudin, Lc yang kerap disapa Kiai atau Ustaz Hilmi.
Kaget, tentu sudah pasti. Untuk itu, saya pun mencari kebenaran informasi tersebut. Beberapa media online yang layak dipercaya pun saya menemukan berita serupa. Begitu juga di status Facebok beberapa tokoh nasional saya mendapatkan hal serupa.
Ya, innalillahi wa inna ilaihi rooji’un, telah meninggal dunia KH. Hilmi Aminudin, Lc. Tokoh Muslim sekaligus Tokoh senteral PKS hari ini Selasa 30 Juni 2020 pukul 14.24 WIB di RS. Sentosa, Bandung-Jawa Barat.
Ustaz Hilmi, demikian beliau kerap disapa, adalah pendiri gerakan dakwah atau pada era 1980 sampai 1990-an dikenal sebagai harakah tarbiyah. Beliau adalah putra Bapak Danu Muhammad Hasan, satu dari tiga tokoh penting Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosoewirjo.
Dari berbagai sumber dijelaskan bahwa pada usia 6 tahun, Ustaz Hilmi memulai pendidikannya dengan mendaftar di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Selulusnya dari sana, dia berkelana ke sejumlah pesantren di Jawa. Tahun 1973, Hilmi memutuskan untuk berangkat ke Arab Saudi dan belajar di Fakultas Syariah Universitas Islam di Madinah.
Selama 6 tahun menuntut ilmu di universitas tersebut, Ustaz Hilmi kerap berkumpul dengan KH. Yusuf Supendi yang juga merupakan tokoh perintis PKS. Kala itu Yusuf sedang berkuliah di Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh. Belakangan, sebelum meninggal KH. Yusuf Supendi ikut pencalegan dari PDIP.
Sekitar tahun 1978, Hilmi lulus kuliah dan pulang ke Indonesia. Sepulangnya dari Arab Saudi, Ustaz Hilmi memulai kariernya dengan berdakwah. Tapi karena Ustaz Hilmi tidak memiliki Pondok Pesantren seperti kebanyakan ulama di Indonesia saat itu, Ustaz Hilmi pun berdakwah dari masjid ke masjid, atau dari satu kelompok pengajian ke kelompok pengajian lainnya.
Tahun 1998, Ustaz Hilmi bersama beberapa rekannya mendirikan Partai Keadilan (PK) dan pada tahun 2002, partai tersebut berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) agar bisa ikut pemilihan umum dua tahun berikutnya. Karena baru didirikan dan hanya mendapatkan 7 kursi di parlemen, atau 1.5 persen maka peranan PKS saat itu belum begitu kelihatan dan lebih fokus ke dalam partai.
Tahun 2005, Ustaz Hilmi ditunjuk menggantikan KH. Rahmat Abdullah (Ustaz Rahmat Abdullah) yang meninggal dunia untuk menjadi Musyawarah Majelis Syuro I yang merupakan lembaga tertinggi di PKS. Saat itu, Ustaz Hilmi Aminuddin terpilih melalui mekanisme voting tertutup dengan mendapatkan 29 suara dari 50 anggota Majelis Syuro. Beliau mengungguli tiga calon lainnya yakni KH. Salim Segaf Al-Jufri (12 suara), KH. Surahman Hidayat (8 suara) dan KH. Abdul Hasib Hasan (1 suara).
Pada tahun 2010, Ustaz Hilmi kembali terpilih menjadi ketua Majelis Syuro dalam Pemilihan Raya (Pemira) Majelis Syuro PKS. Mekanisme Pemira untuk memilih angota majelis syuro yang baru ini selayaknya pemilu. Jumlah anggota MS yang dipilih ada 99 orang.
Dalam pemira ini, PKS telah membentuk panitia prapemira yang akan menyeleksi sekitar 1.000 anggota ahli PKS menjadi 195 calon nama. Penyeleksian tersebut berdasarkan syarat yang telah ditetapkan oleh AD/ART. Dari 195 nama ini akan dipilih 65 nama terbanyak.
Setelah diambil sumpahnya, mereka yang terpilih ini akan menunjuk 32 nama sebagai anggota ahli majelis syuro. Sedangkan dua anggota lainnya adalah anggota tetap majelis syuro yaitu KH Hilmi Aminuddin dan KH. Salim Segaf Al-Jufri.
Sejauh telisikan saya selama berdomisili dan menempuh pendidikan di Kota Bandung 2002-2010, terutama terkait sepak terjang politik PKS secara nasional, dimana Ustaz Hilmi memimpin, aksi politik PKS tergolong santun. Kebetulan selama di Bandung saya akrab dengan berbagai tokoh dan kalangan lintas latar belakang. Seperti Muhammadiyah, Persis, NU, PUI, Al-Washliyah dan PKS.
Walau bukan satu-satunya partai politik atau parpol berbasis massa muslim, mesti diakui bahwa pasca reformasi, PKS tergolong parpol yang menampilkan aksi politik yang bukan saja terkenal santun tapi memang santun. Ia juga pernah memperoleh kursi terbanyak kategori parpol berbasis massa muslim.
Kesantunan aksi politik PKS tentu ditriger oleh sang pemimpin yang juga santun. Kesantunannya bukan pada citra yang kerap manipulatif. Tapi kesantunannya terlihat dalam perilaku harian dan aksi politik. Walau kerap distigma berbeda, pada faktanya PKS punya citra yang menarik selama beberapa tahun, terutama dibawah kepemimpinan Ustaz Hilmi.
Meninggalnya Ustaz Hilmi tentu bukan saja kehilangan bagi PKS, tapi juga bagi umat Islam yang memang masih membutuhkan wejangan para tokoh, termasuk Ustaz Hilmi yang punya pengalaman yang cukup, terutama terkait perjalanan dan pengalaman politik di setiap era: Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
Allah memang Maha Kuasa atas segala takdir hamba-Nya. Meninggalnya Ustaz Hilmi memang menyedihkan, namun sebagai sesama muslim bahkan anak bangsa, kita selalu percaya bahwa begitulah cara Allah mencintai hamba-Nya.
Mari kita doakan, mudah-mudahan tokoh yang kerap diundang mengisi ceramah keagamaan di beberapa negara ini mendapat ampunan dan jatah surga dari Allah. Sembari berharap agar keluarga yang ditinggalkan sabar dan tabah. Semoga Allah kabulkan! (*)
(*) Penulis buku “Melahirkan Generasi Unggul”