LEMAHWUNGKUK, fajarsatu – Sebagian orang beranggapan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang berada di Komplek Keraton Kasepuhan merupakan tempat ibadah umat muslim pertama yang dibangun di Cirebon.
Padahal masjid pertama yang didirikan di Cirebon adalah Masjid Pejlagrahan yang saat itu disebut tajug, terletak di Jalan Gambirlaya atau di sebelah timur komplek Dalem Agung Pakungwati.
Seperti dikutip dalam Kitab Negara Kertabumi karya Pangeran Wangsakerta, pedukuhan Caruban (Cirebon) resmi berdiri dan dihuni 52 orang penduduk. Pedukuhan tersebut awalnya bernama Kebon Pesisir dan Ki Danusela atau Ki Gedeng Pekalangan merupakan penghuni pertama didaulat menjadi kuwu pertama.
Sementara Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwagi yang membuka pedukuhan itu diangkat menjadi Pangraksa Bumi.
Hal itu diungkapkan Pemerhati kuliner dan budayawan Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU), H. Uki Marzuki, Minggu (9/8/2020).
Lebih lanjut diungkapkan, terbentuknya sistem pemerintahan dengan sendirinya diperlukan infrastruktur yang menopang jalannya pemerintahan, seperti kantor kuwu atau tempat pertemuan warga.
Pangeran Walangsungsang atau disebut pula Mbah Kuwu Sangkan ini dikenal memiliki kemampuan dalam bidang tata negara dan strategi. Berdasarkan pertimbangan strategis dan efesiensi, Pangeran Cakrabuana memprioritaskan pembangungan tempat ibadah.
Dengan alasan, disamping berfungsi sebagai sarana ibadah juga sebagai tempat berkumpul atau musyawarah warga pedukuhan.
Pada 1452 dibangunlah masjid atau tajug terletak belakang kediaman Pangeran Cakrabuana (belakang Keraton Pakungwati) dan dikenal dengan nama Tajug Pejlagrahan.
Sebagai masjid pertama dalam menjalankan Shalat Jumat berjamaah, karena menurut salah satu madhab, sholat Jumat berjamaah bisa dilaksanakan sedikitnya 40 orang.
46 tahun kemudian, tepatnya pada 1498, Sunan Gunung Jati dengan bantuan Wali Sanga mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa sebagai masjid resmi Kesultanan Islam Cirebon.
“Langkah pertama membangunan tajug memiliki kontruksi pemikiran yang mendasar, dimana tajug atau masjid merupakan sentralistik pembangunan manusia (character building), disamping sebagai pusat dakwah penyebaran agama Islam,” tutur Uki.
Lanjutnya, keberadaan Tajug Pejlagrahan yang berada di tengah pemukiman padat penduduk, kondisinya banyak mengalami perubahan tanpa mempertimbangkan originalnya, walaupun beberapa benda pusaka kondisinya masih terawat dengan baik.
“Keberadaan Tajug Pejlagrahan merupakan destinasi religi yang memiliki akar sejarah yang luhur. Di Situs Tajug Pejlagrahaan, di samping bangunan tajug pertama juga terdapat sumur yang diyakini memiliki petuah yaitu Sumur Kapilayu dan Sumur Panglipur,” ujar Uki.
Di Bulan Ramadhan, heritage yang satu ini, masih memiliki magnet sebagai salah satu tempat yang banyak dikunjungi peziarah. Disamping melakukan ibadah rutin, juga menjadi salah satu tempat yang nyaman untuk beritikaf.
Keberadaan Tajug Pejlaggrahan, yang memiliki nilai sejarah yang tinggi pamornya seakan terlupakan tertimpa kebesaran masjid-masjid lainnya. (irgun)