Oleh: Syamsudin Kadir
SEORANG anak memilih menjadi peternak ayam. Ia seorang yatim-piatu. Orangtuanya telah meninggal sejak ia masih berusia 5 tahun. Kini ia duduk di kelas 9 SMP. Sehari-hari dia menjaga ayam dan menjualnya. Hasilnya dipakai modal jualan pakian. Anak ini punya banyak teman di beberapa tempat.
Singkat cerita jadilah ia seorang pedagang berbagai jenis pakian. Ia mengontrak sebuah toko bekas di sebuah pusat perbelanjaan. Ia publikasi di berbagai akun media sosial yang ia miliki sejak ia awal-awal kelas 6 SD di sebuah sekolah yang tak jauh dari rumah seorang nenek tempat ia numpang tinggal.
Beberapa kesempatan teman-temannya menyaksikan ia di toko tempat ia berjualan. Ada begitu banyak pengunjung dari berbagai tempat atau daerah yang lewat di depan tempat ia berjualan. Sebagian sekadar bertanya harga dan jenis pakian, sebagian yang lain langsung belanja.
Naifnya, hampir setiap hari teman-temannya datang berkunjung dan meminta secara gratis pakian jualannya. Awalnya ia memaklumi sikap mereka. Sebab namanya teman, ya sikapnya beragam. Sebagai teman, ia pun tak begitu menghiraukan. Hitung-hitung biar tempat jualan ramai pengunjung. Walaupun tetap saja ia tak memberi gratisan, sebab ia membangun usaha butuh modal.
Namun belakangan ia merasa ada yang tak beres. Ia membayangkan bila ia meng-iya-kan semua selera temannya, maka barang jualannya bakal habis. Bukan itu saja, mungkin saja modal usahanya bisa-bisa habis dan tidak bisa berjualan lagi.
Pembaca yang baik, saya memahami si anak tadi dari sisi yang berbeda. Begini, coba bayangkan bila si anak tadi menjual 50 pic kaos, 100 pic celana, 100 pic baju muslim, 50 baju batik dan seterusnya. Lalu semua temannya minta gratisan sesuai seleranya masing-masing. Semuanya atas nama teman.
Pertanyaannya, apakah uang si anak untuk modal membeli baju kaos, celana, baju bahkan ayam yang kelak dijual bisa kembali? Silahkan jawab masing-masing secara jujur. Lalu posisikan diri kita pada posisi si anak tadi. Kemudian bayangkan kita mengalami hal serupa.
Tak perlu panjang-lebar, saya sih hendak berkata seadanya saja. Hargai karya atau usaha orang yang kita kenal dengan paket harga bukan dengan paket gratisan. Bukan soal uang tapi soal mental. Diri kita masih punya harga dan bukan manusia gratisan kan?
Bagaimana mungkin kita bisa dihargai manakala kita malah enggan menghargai usaha atau karya orang lain. Coba bayangkan, orangtua kita pedagang bakso. Lalu teman atau tetangga minta makan bakso gratisan semua. Dan itu tak sekali tapi berkali-kali. Ya bisa dikatakan setiap hari. Apakah orangtua kita masih bisa berjualan?
Dalam banyak kesempatan, ada banyak teman saya yang memiliki usaha kecil-kecilan. Ada yang jual bakso, pakian, makanan, buku, koran dan sebagainya. Saya awalnya mau minta gratisan. Cuma saya mikir, kalau orang semacam saya yang demikian itu jumlahnya banyak, maka teman-teman saya bakal bangkrut dan tidak bisa memajukan usaha.
Belakangan saya sadar, saya mesti tahu diri. Saya belajar untuk memahami latar usaha dan jenis usaha teman-teman saya. Saya mesti mendengar nurani saya tentang mereka yang berusaha atau punya karya. Kalau untuk urusan lain saya berani berkorban, sekadar menyisihkan untuk kebutuhan saya sendiri dengan tidak meminta gratisan, masa untuk kemajuan usaha dan karya teman sendiri masih pakai mental gratisan?
Lagi-lagi ini bukan sekadar nominal uang atau materi dan segala macamnya, tapi ini soal mental, terutama kemampuan mengapresiasi usaha atau karya orang lain. Jadilah generasi unggul, bukan generasi gratisan. Singkatnya, mental gratisan, silahkan minggir. Selain tak layak juga bikin mental bertambah rapuh. (*)
(*)Syamsudin Kadir adalah Penulis buku “Melahirkan Generasi Unggul”