Panggilan Tak Terjawab
Oleh: Vian S
“Sekilas, caramu menatap dan menilaiku, aku pikir keliru. Aku lelaki dengan masa lalu yang panjang, ruang di matamu tidak akan pernah cukup menampung jejak yang aku tinggalkan. Sungguh perburuanmu akan sia-sia, kamu tidak akan berjumpa apa-apa, selain gurun yang terus tertimpa debu-debu anyar yang dibawa angin ke mana-mana.” Rona menjawab kegelisahan Nuri yang duduk di hadapannya sejak satu jam yang lalu.
Pohon Mangga besar yang kokoh dengan rimbun daun memayungi mereka siang itu. Suasana tidak begitu ramai, hanya beberapa pedagang bersama gerobaknya dan banyak kursi kosong yang menemani meja-meja. Begitulah keadaan alun-alun kota selepas jam istirahat kerja, hening dan sepi.
Kebersamaan mereka terlihat begitu kaku, ada beban yang tak biasa pada diri Nuri, masa lalu lelaki yang duduk dan merokok di hadapannya memunculkan penasaran yang edan. Nuri selalu melihat Rona sebagai lelaki dingin yang beku, tapi banyak perempuan yang sibuk membicarakannya, hal ini menjadi penyulut api cemburu, meski tanpa status apa-apa, ada rasa yang terus terbakar dan leleh di hatinya.
“Kenapa diam saja, Bu?” Tanya Rona, besar harapan dengan pertanyaan singkat itu, Nuri akan membeberkan alasanya mengajak Rona bertemu siang itu.
“Aku terlalu terburu-buru mengajakmu bertemu hari ini Kang, kamu terlalu formal memanggilku begitu, ucapanmu tadi membenarkan semua alasan bahwa aku adalah perempuan yang tidak mahir memata-matai lelaki” jawab Nuri.
“Sebenarnya, aku cukup kaget, ketika mendapat pesan itu, karena nomor pengirimnya belum tersimpan di daftar kontakku, tapi setelah kamu menelpon, semua keraguan itu lenyap. Muncul debar lain di dadaku, suaramu masih sama dengan suara seorang perempuan yang bertahun lalu kerap menyapa dan mengingatkan diriku untuk makan. Rasa kangenku terbentur banyak spanduk yang menampilkan foto dirimu di kota ini, sebagai satu-satunya perempuan yang mencalonkan diri menjadi Bupati. Aku kagum, tapi hanya sampai di situ saja, tidak ada jawaban lebih terhadap permintaanmu.”
“Lalu apa yang harus aku perbuat dengan perasaan ini, sebentar lagi, jika aku terpilih, aku harus berbagi banyak kasih sayang terhadap masyarakatku. Aku ingin memelukmu utuh sejak dulu, sejak masih gondrong rambutmu, sejak belum hilang jejakmu. Aku ingin dan selalu ingin, seperti apa yang aku katakan di telepon beberapa hari lalu.”
Rona hanya diam, di benaknya tergambar peta luas masa lalu, perjalanan hidup yang tidak bisa disebut biasa-biasa saja kembali tergurat. Asap tembakau mengepul dari celah bibir, tidak ada kata, hanya tatapan kosong yang tidak jelas arahnya.
“Den, ini kopi dan jus Alpukatnya” Abah Mardi mengahampiri kekakuan mereka.
“Terima kasih, Bah” sambut Nuri.
Mereka masih bisu, asik dengan pesanannya. Rona meniup-niup kopi hitam yang masih mengambang ampasnya dan sesekali menyeruput hangatnya. Sedang Nuri, Ia sibuk mengaduk-ngaduk Jus Alpukatnya dengan sedotan pelastik yang tersedia, matanya terlihat manja memperhatikan gerak-gerik Rona yang tak banyak berubah sejak masih di bangku kuliah, hanya saja saat ini Ia mengenakan topi.
Keduanya terlihat bagai dua merak yang pamer bulu, gaya dan tingkah mereka terkesan mengagumkan, ada banyak keinginan untuk memiliki ketika menatap mereka berdua. Nuri perempuan manis berhidung mancung dan berkerudung, kecerdasannya tak kuasa bersembunyi meski dalam ketersipuan. Segala yang melekat di tubuhnya terlihat begitu elegan dan keibuan, satu lagi, kaca mata yang dipangku tebing hidungnya membuatnya semakin terlihat cerdas dan seksi.
Sedang Rona, Lelaki pendiam dengan rambut sebahu yang ditutupi topi, ada kesan misterius di balik penampilannya, ada zona yang begitu sulit ditembus untuk menduga-duga tentang kehidupannya. Rona seolah membangun benteng agung atas semua waktu yang telah Ia lalui. Sebab itu banyak perempuan yang hadir meskipun hanya mencoba bermain teka-teki bersamanya”
“Kenapa hanya diam Kang, apa keberadaanku sudah tak ada artinya, apa semua kekagumanku tak bisa melelehkan gunung es di hatimu?. Aku begini, karena kamu pernah mendorongku, kata-katamu waktu itu seperti batu keras yang memecah arus sungai, aku menyeberanginya untuk pulang. Kepadamu. Aku bicara tentang jiwa kepahlawananmu, bukan siapa pahlawannya Kang.”
“Aku ragu, kedatanganmu menemuiku untuk menyuarakan atau membutuhkan suara. Dulu, aku mungkin terlalu bersemangat mendukungmu, sehingga kau menjadi perempuan yang penuh ambisi. Lalu kamu mengamininya hari ini.”
“Iya kang, aku paham, aku mengerti. Kehadiranku untuk kedua kalinya di pintu hatimu akan menumbuhkan banyak tanya dan curiga. Keputusanku sudah bulat, sebelum pemilu, aku ingin menjadikanmu pendamping hidupku, aku butuh seseorang untuk bangkitkan rasa percaya diri, seperti lirik yang terkandung dalam lagu SLANK berjudul Sober, yang kamu sukai itu.”
“Nuri, kita sudah enam tahun tidak bertemu, sejak kejadian malam itu. Aku tidak pernah menduga kamu memata-mataiku, sehebat apapun kamu melakukannnya, sebanyak apapun kamu menggerakkan massa, jawabannya adalah kamu tetap tidak berhasil mengincar keseharianku. Aku bukan lelakimu yang dulu, aku adalah aku hari ini.”
Langit perlahan berubah abu, kata orang mendung bukan berarti akan hujan. Tapi, siapa yang tahu, langit kadang tidak kuat menanggung air matanya. Ia sering kali jatuh semaunya, penduduk bumi pun terkadang menilai kehadiran hujan seenaknya, seperti teka-teki Rona dan Nuri yang masih menduga-duga kenapa waktu mempertemukan mereka setelah enam tahun itu.
Kopi hitam Rona telah menyusut, di bawah meja berhamburan berbatang rokok yang usai dihisapnya. Nuri mengajak Rona berjalan mengitari alun-alun sebelum langit benar-benar menangis, Nuri nampaknya harus menyalakan unggun api untuk melelehkan gunung es di hadapannya.
“Kang, aku kangen dengan suasana ini, kita melangkah bersama, menunggu hujan, sesekali kau berbicara tentang manisnya puisi-puisi Sapardi. Sejak kepergian bapakku beberapa bulan lalu, aku kesepian Kang. Aku merasa rapuh apalagi tanpa sosok ibu. Waktu tersulam begitu cepat merangkai ulang kisah kita dulu, itulah mengapa aku menemuimu untuk menyuarakan isi hatiku.” Nuri memulai pembicaran di masing-masing langkah mereka yang pertama.
“Aku turut berduka cita atas kematian bapakmu, kabar begitu banyak tersebar, kasus pembunuhan bapakmu tidaklah tawar untuk moment politik seperti ini, semua lini memanfaatkan getarnya. Aku selalu ingat perkataan bapakmu enam tahun lalu, ketika dia begitu gagah menjulukiku lelaki Masa Depan Suram (Madesu), kalimat itu menjadi penghalang hubungan kita, hingga kisah kita mengendap-endap kemudian lenyap. Lalu, hari ini, kamu ingin kembali ke pelabuhan ini, tidak, aku tidak bisa mengizinkanmu menepi.”
“Kenapa tidak kang, apa Akang belum memaafkan perbuatan Bapak pada Akang bertahun lalu?. Apa Akang akan terus tega melihatku kelelahan menguak cerita tahun-tahun persembunyianmu, beritahu aku alasannya, Kang. Aku mencintaimu Kang.” Kata Nuri
****
Enam tahun lalu, ketika itu Rona masih duduk di semester 5 Universitas Samudera, salah satu universitas ternama di kota perantauannya. Rona begitu senang mengikuti berbagai organisasi dan komunitas, dari mulai menulis, pergerakan, sosial bahkan keagamaan. Latar belakang itulah yang membuatnya begitu kritis menyikapi segala persoalan yang ditemuinya, Rona sering kali membacakan banyak puisi perlawanan ketika diminta mengisi acara seminar atau demonstrasi sekali pun.
Tahun itu, Rona sudah mengenal Nuri sejak semester tiga perkuliahan, hubungan di antara keduanya hampir menginjak usia dua tahun. Mereka banyak menghabiskan waktu bersama dengan diskusi atau memadu kasih layaknya anak muda lain yang sedang kasmaran.
Tidak disangka, cinta yang tumbuh di dada Nuri melebihi ruang yang tersedia, dirinya kerap merasakan sesak yang aneh jika terlalu lama jauh dari Rona, apa lagi Rona begitu sibuk dengan organisasi juga teman-teman komunitasnya.
Selain kuliah Rona juga mengajar di salahsatu panti asuhan, letaknya tidak jauh dari kosannya, keadaan dan suasana di sana mengajarkan Rona tentang banyak hal, terutama kemanusiaan dan haknya.
Sore itu, selepas mengajar Hand Phone (HP) Rona bergetar, pertanda ada pesan yang diterima, kemudian Rona mengeluarkan HP dari saku celananya dan membuka pesan yang ada.
“Kang, bisa ketemu di lapangan dekat rumah sakit, tempat biasa kita bertemu” Nuri mengirim pesan sikat kepada rona melalui HP.
“Jam berapa, Neng?” balas Rona
“Sekarang. Kalau akang tiba lebih dulu, pesan saja Es Goyobod dua!”
“Iya, sayang.” Balas Rona singkat, tapi nampaknya tak sesingkat kebahagiaan yang diterima Nuri melalui pesan itu.
Bertahun pacaran, itu kali pertama Nuri mendapat ucapan ‘Sayang’ meskipun hanya melalui pesan singkat, ada debar lain ketika kata itu diberikan oleh Rona, lelaki dingin yang teguh dengan prinsipnya, tapi Nuri suka.
Mendapat pesan dari kekasihnya itu, Rona bergegas, bersiap untuk menghampirinya, celana jeans sobek di bagian lutut adalah kesukaannya, juga kemeja hitam dengan garis-garis putih yang lusuh menutupi kaos oblongnya. Menatap dirinya di cermin Rona merasa dirinya tidaklah gagal untuk dibilang tampan dan menawan.
Setelah itu, Rona bergegas keluar kosannya, menyalakan kuda besi produk Honda yang sudah tidak muda lagi, Astrea Grand tahun 1996. Bebek mungil ini terlihat begitu selaras dengan gaya pengemudinya, meski tenaganya sudah tidak muda lagi, namun soal sejarah motor tersebut memiliki masa lalu yang tidak singkat di jalanan, banyak yang menyebutnya Si Kabut Salju (Kajeun Butut Asal Maju), biar jelek yang penting maju.
Tidak butuh banyak waktu, Rona ternyata tiba lebih dulu, ia memesan dua Es Goyobod seperti yang dipesan Nuri. Orang-orang biasa menyebut lapangan dekat rumah sakit itu dengan sebutan Lapangan Paris, sebuah lapangan bola minimalis yang terletak di tepi jalan dekat jembatan, tapi jarang sekali ada yang bermain bola di sana, paling sering dipakai untuk parkir kendaraan. Sore hari selalu banyak anak muda yang nongkrong, bersama kekasih atau teman-temannya.
Belum pecah lamunan Rona tentang hari-hari bahagia bersama Nuri, es goyobod yang dipesannya sudah tersaji, dia duduk di sebuah tembok semen panjang pembatas trotoar yang tentunya tidak sengaja untuk dibangun sebagai tempat duduk, kenyamanan ini dimanfaatkan beberapa pedagang kaki lima dengan gerobaknya untuk mengais rezeki, terlihat di sana selain Es Goyobod, ada juga Cuangki, Cilok, Bakso, Batagor dan bermacam jajanan lainnya.
Selain lalu lalang kendaraan, nyatanya dedaun gugur yang berhamburan di jalanan menjadi hal yang sungguh memikat, sesekali angin menerbangkannya hingga menari-nari di sela tawa dan kelakar para pelaku kehidupan. Di mata Rona, hidup adalah kejadian kecil yang disengaja untuk sebuah pendidikan dan penghayatan.
Di kejauhan Rona melihat kekasihnya turun dari angkot berwarna biru langit yang setiap hari mondar-mandir dari simpang lima ke alun-alun kota. Lapang Paris menjadi sebuah tempat yang setiap hari harus dilewatinya. Hari itu, Nuri ingin tampil berbeda, ia mengenakan kerudung biru dan dress panjang bermotif bunga, setelah membayar ongkos, Nuri menaikkan kaca matanya dengan ujung telunjuk dan sedikit meniup sudut kerudung di atas keningnya, kemudian ia melangkah menuju kekasihnya.
“Kang sudah lama menunggu?” tanya Nuri.
“Duduklah dulu, jangan teburu-buru dengan menanyakan sesuatu yang mungkin bisa membuatku kesal atau marah. Es Goyobodnya belum leleh, itu berarti aku belum lama di sini” jawab Rona dengan sedikit senyuman.
“Akang selalu bisa membuatku merasa punya waktu untuk istirahat, terima kasih kang, Nuri sengaja mengajak akang utuk bertemu hari ini, sedikit mendadak, ada hal penting yang lebih mendadak lagi”
“Aku ingin menjadi peristirahatan terahir bagimu, apa hal penting yang harus kamu utarakan itu, Neng?”
“Bapak telah mengetahui hubungan kita, dia menunggumu di rumah malam ini.”
Mendengar pernyataan itu, perasaan Rona menjadi campur aduk, dia terkejut sekaligus merasa sedikit senang atas permintaan Bapak Nuri itu. Namun, dirinya tak mampu menutupi kegugupan, ada getar gemetar yang tak biasa di jemarinya, Rona terlihat lebih sering menghisap Rokok dari pada banyak berkata-kata.
“Kenapa, Kang?. Kelihatannya Akang gugup.? Tanya Nuri.
“Neng, akang ini sudah menghadapi banyak orang dengan berbagai latar belakang dan karakter. Tapi, untuk menemui bapakmu, akang pikir ini akan sangat sulit. Kira-kira apa yang ingin beliau tanyakan kepada akang, jangan-jangan kita akan segera dinikahkan.”
Rona menatap mata Nuri dalam-dalam dan coba menerangkan penampakan gugupnya “Aku sering kali merasa bingung, bagaimana kekaguman ini bermula, kamu selalu bisa membangkitkan kantuk mataku di malam hari, ada resah, gelisah dan keringat bercucur kala membuntuti bayangmu yang sibuk menari-nari. Bagaimana jika bapakmu bertanya tentang masa depan, sementara pikirku masih tersandung ranting-ranting kecil masa lalu”
Nuri terperangah dengan kata masa lalu yang diungkap Rona “apa yang salah dengan masa lalumu Kang, menurutku, tidak baik jika Akang terus merasa buruk diri dengan hal yang sudah lama ditinggalkan, ini kesempatan bagi kita untuk menjenguk masa depan” papar Nuri penuh harap.
Mereka diam, tatap mata keduanya memantulkan banyak harapan, angin menggetarkan payung mimpi yang mengembang di atas keduanya. Belum ada kata, hanya denting-denting kecil terdengar dari gelas Goyobod yang diaduk Nuri dan sesekali membenturkan sendok itu pada ujung gelas. Suasana dingin dan teduh, tak ada ekspresi berlebihan di antara keduanya, hanya lamunan dan mata yang hilang tujuan.
“Kenapa aku harus gugup dan sebingung ini untuk bertemu Bapaknya Nuri, apa sekujur tubuh ini belum cukup siap untuk memikul tanggungjawab dengan rasa itu, rasa yang mengejutkan jantung dan membangkitkan kantukku” ujar Rona di dalam hati.
Nuri begitu sibuk memperhatikan gerak tubuh kekasihnya yang tak lagi biasa-biasa saja, ia seolah melihat bangunan rapuh yang menunggu rubuh, hatinya disesaki tanya “apa semua lelaki begini, ketika ia akan menghadap pemilik kepingan hatinya, apa yang mereka ragukan, apa yang mereka takutkan, apakah cinta bukanlah modal yang cukup untuk tanggungjawab itu?.”
“Kang, jujur saja, keadaan ini tidak begitu aku sukai. Aku tidak melihat kang Rona yang biasanya tangguh dan menggebu-gebu dalam memperjuangkan mimpinya. Kang, jika akang merasa masa lalu akang yang membuat akang belum siap untuk jadi imam, aku tidak masalah. Tapi tolong jelaskan tentang masa lalu akang itu, ada baiknya aku mengetahuinya” Nuri berujar tanpa memikirkan dirinya yang mulai terlihat gelisah.
“Bukan, sayang. Bukan soal masa lalu itu. Tapi soal mimpi yang kamu bilang selalu aku perjuangkan tadi. Aku takut, perasaanku ini hanya mimpi yang tak pernah berjumpa pagi. Aku mencintaimu.” Rona mencoba menenangkan kekasihnya yang mulai gelisah
“Maksudnya?” Nuri mulai sedikit terbakar api curiga
“Sayang, kamu tahu masa laluku tidaklah jelas, di perantauan ini aku hanya sebatang kara, pendaki bukit cinta yang megah. Sedang statusmu, putri kerajaan yang disambut dengan dengan berbagai perhiasan dan dinding-dinding kaca. Kita jauh berbeda, bapakmu adalah pengusaha yang menguasai banyak gunung-gunung batu, hidup mewah dan berkuasa” papar Rona.
“Kenapa akang bicara begitu, akang sendiri yang sering bilang cinta tak kenal kasta, cinta selalu membabi buta, cinta adalah serangan yang tak bisa diduga-duga. Kenapa hari ini akang seolah menantang itu semua. Kang, seandainya akang belum siap jadi imam, aku yang sedang menyederhanakan cintaku ini berharap akang adalah lelaki yang mengisi kekosongan dan merapatkan barisan salatnya, itu lebih dari cukup bagiku” Nuri mencoba menyorotkan cahaya penyemangat pada diri kekasihnya.
“Tenanglah, aku tidak pernah main-main dengan perasaan ini. Aku tidak akan membiarkan harapanmu itu patah, lelaki dekil ini akan berjuang seperti biasanya, mungkin aku tidak terlalu akrab dengan yang namanya kemenangan. Tapi, di sekujur tubuh kekasihmu ini tidak ada ruang kecuali untuk yang namanya perjuangan. Aku akan datang malam ini.” Ujar Rona, dengan mata yang penuh keyakinan.
Mendengar kalimat terakhir ucapan kekasihnya itu, Nuri terdiam, ada ketersipuan, pipinya kemerahan, ada bahagia yang hampir leleh di binar matanya. “Aku menunggumu, Kang. Akan kupastikan Kopi yang kau minum malam ini adalah kopi terbaik yang pernah kamu nikmati dan kopi yang diseduh oleh kekasihmu ini.” Ujar Nuri yang sedang dikepung bahagia. “Sudah jam lima Kang, Aku pulang dulu, kali ini tidak usah diantar, persiapkan diri Akang. Aku mencintaimu.” Nuri beranjak dan menjabat tangan kekasihnya yang masih dingin. Berkeringat.
Lapang Paris memang romantis, suasananya terlalu baik untuk sepasang kekasih yang melarikan diri dari gerahnya kesibukan kota, dari masalah yang bertumpuk, dan lipatan-lipatan jenuh yang kerut di dahi. Rona memperhatikan Nuri yang melambaikan tangan sebelum menaiki angkot biru langit di seberang jalan. Dia tak membalas lambaiannya.
“Ya Tuhan, aku tidak berharap seberuntung pemeran utama di banyak sinetron cengeng negeri ini, cinta ditampilkan layaknya serangkaian kebetulan. Aku ingin datang sebagai lelaki yang memiliki tujuan, aku ingin cinta ini sebagai perjuangan. Aku ingin berperang, bahkan menahan sepersekian detik napasku untuk mengucapkan namanya. Kuatkan kakiku yang gemetar diterpa cintanya, jadikan aku angkatan bersenjata yang siap berdarah-darah” gumam Rona di dalam hati. Ia beranjak membayar Es Goyobod, kemudian pergi menuju kosannya.
Hari telah senja, sebentar lagi magrib datang, menurunkan gelap, menyelimuti siang yang lelah dipenuhi warna dan cahaya. Azan berkumandang, gang kecil menuju kosan Rona tampak begitu membosankan dengan gapura bambu yang menua dan rapuh, warna merah putih Agustusan terlihat memudar, usang bersama tulisan 17 agustus 1945 yang luntur oleh kikisan waktu.
Setibanya di kosan Rona bergegas melangkah ke kamarnya, sebuah rahim yang melahirkan banyak ide-ide liar di kehidupannya, terutama puisi. Ia bergegas ke kamar mandi dan berwudhu. Sebelum mengahadap pemilik detak semesta ini, Allah SWT.
Selepas salat, Rona kembali membayangkan awal pertemuannya dengan Nuri “Ah Nuri, sebelum berkunjung ke dalam dirimu, hidupku tak pernah terasa selengkap ini” gumamnya di hati. Menunggu Isya Rona menyempatkan diri menulis sebuah puisi
Cinta adalah unggun api
Perciknya mendekam di katup mata
Nyala dan nyala
Abadi di tengah laju angin
Bersemayam di tumpukan daun
Diselimuti kenangan
Ditetesi masa depan
Cahaya membangunkannya
Gelisah mencicip pahit Vodka
Tersungkur di bait-bait doa
Nyala dan nyala
Rona memiliki buku catatan kecil, setiap kali muncul hal-hal aneh di benaknya termasuk puisi, ia selalu bergegas untuk menuliskannya. Ia senang sekali memenjarakan berbagai gagasan dan idenya di buku tersebut, kecil kemungkinan bagi mereka untuk melarikan diri.
Waktu yang dinanti tiba, Rona gemetar memegang stang motornya, Ia membayangkan wajah Bapaknya Nuri, pengusaha batu yang terkenal dengan sebutan Juragan Jaim. Memang nama Jaim begitu akrab di telinga masyarakat kota itu, pengusaha kaya raya yang berperawakan tegap dan gagah, selain itu dia juga aktif di salah satu partai politik yang sedang berkuasa . Nuri merupakan putri satu-satunya, dia pewaris tunggal keluarga itu yang hatinya telah dirampok Rona. Jiwa kepemimpinan selintas tampak pada diri Nuri mungkin itu pun temasuk salah satu hal yang bapaknya wariskan.
Sebuah gerbang besar menyambut kedatangan Rona, dua orang penjaga bergegas membuka pintu gerbang setelah melihat kedatangannya. Rona memasuki halaman rumah Nuri yang begitu luas, ada banyak kendaraan yang terparkir dan terlihat begitu lelah setelah seharian dipaksa bekerja.
Tiba di depan pintu rumah, Rona menggumamkan banyak sekali kalimat yang dia sendiri tidak paham maknanya, kegelisahannya melebihi batas, rasa gugup yang menimpanya sudah tak wajar lagi. Yang tersisa hanya jiwanya sebagai seorang lelaki yang harus memaksakan diri untuk mengetuk pintu, tidak ada pilhan, sudah tidak mungkin untuk balik kanan.
Sebelum Rona mengetuk pintu, Nuri kekasihnya telah membuka pintu terlebih dahulu, sepertinya Nuri merasakan kehadiran kekasihnya. “Akang, sejak kapan akang disini, kenapa tidak mengetuk pintu, silahkan masuk kang, bapak sudah menunggu akang” ucap nuri.
“Belum lama, Neng, tadinya mau mengetuk pintu. Eh, pintunya sudah Neng buka lebih dulu. Inilah cinta.” Rona berusaha menikam kegugupannya.
Nuri tersenyum dan membawa kekasihnya masuk. Tapi, Rona merasa begitu asing dengan suasana yang ia rasakan, rasa itu mungkin sebuah peralihan dari ruang kosan yang hanya memliki luas sekitar 4×4 meter memasuki ruang megah sebuah rumah yang mungkin bisa untuk bermain bola atau membuat kolam renang mewah.
“Kang, duduklah, aku akan memanggil bapak terlebih dahulu, seperti janjiku, malam ini aku akan menyuguhkan kopi tebaik yang diseduh oleh kekasihmu ini” ucap Nuri yang mempersilakan kekasihnya duduk dan berbegas memanggil bapaknya.
Rona panik, matanya mondar-mandir memperhatikan berbagai hal di sekitarnya, ia duduk sambil meletakkan kedua tangan di antara kedua pahanya, sesekali ia menghentak-hentakkan kakinya di ubin. Rona melihat sebuah pigura besar berbingkai kayu yang diukir. Di dalamnya ada Juragan Jaim, istrinya beserta Nuri yang kira-kira masih berusia di bawah sepuluh tahun, gambar itu memunculkan aura yang begitu kaku dan menegangkan. Terlalu formal untuk sebuah foto keluarga.
Beberapa menit berselang, juragan Jaim sudah hadir di ruang tamu, Rona terkejut dan lekas berdiri untuk berjabat tangan, tidak ada keramahan di sana, hanya empat mata yang saling menikam satu sama lain, Rona perlahan merasakan suatu hal yang berbeda, suasana nampak tidak begitu bersahabat.
“Sudah berapa lama kenal Nuri?” Juragan Jaim memulai percakapan
“Kurang lebih sudah dua tahun pak.” Jawab Rona singkat
“Begini saja, langsung kepada intinya. Saya tidak punya banyak waktu. Saya belum memiliki keinginan untuk mencari pendamping bagi anak saya Nuri. Lagi pula Nuri sedang fokus dengan kuliahnya, saya tidak mau hal itu terganggu. Saya sudah bertemu banyak kalangan, selintas dari penampilanmu saja, saya pikir kamu bukan lelaki yang pantas untuk anak saya.” Tanpa basa basi, juragan Jaim melempar penjelasan sekaligus penolakan terhadap hubungan Nuri dan Rona.
“Tapi, pak “ sanggah Rona yang sedikit terbata-bata dan gugup.
“Sudahlah, kamu tidak perlu menjelaskan apapun, saya tidak butuh itu. Mulai hari ini tolong jauhi putri saya, jika kamu memaksa maka saya tidak akan segan untuk bertindak lebih jauh” Juragan Jaim benar-benar tidak memberikan ruang dan kesempatan bagi Rona, jangankan untuk memiliki putrinya, untuk menjelaskan keberadaannya pun sudah tidak ada harapan.
Rona terpukul, tak menyangka akan begitu luka perasaannya malam itu, tanpa pikir panjang Rona pamit dengan perasaan yang berdarah-darah. Bahkan dirinya belum sempat bertemu Nuri lagi dan menikmati segelas kopi yang telah jadi janji. Malam itu, semesta begitu jahat padanya, angin dingin seolah menghardik dan memaki-maki, Rona pergi membawa dendam yang menyalakan api.
Air matanya jatuh, dahinya basah, motor yang dikendarainya terasa begitu berat melaju, Ia bergumam “Pantas saja Aan Mansyur dalam puisinya menulis; kejahatan ada di mana-mana, di kota-kota atau di kata-kata, atau pada segala sesuatu yang kau sebut kita. Dalam bentuknya paling sempurna, dia bernama kebahagiaan. Bapakmu terlalu jahat Nuri, dia telah menghakimi kehidupanku, suatu hari aku akan memburu keangkuhannya dengan pecahan cinta yang dia hempaskan”.
Di perjalanan pulang, Rona menyempatkan diri untuk mampir di warung kopi langganannya, segelas kopi Tubruk Toraja dipesannya, sedang di radio lagu Malaysia berjudul Terpaksa Aku Lakukan terdengar seolah kebetulan
Terpaksa
Terpaksa aku lakukan
Bukan niat untuk meninggalkanmu
Cinta yang kini aku alami
Tiada lagi aku miliki
Kutau engkau menyayangi aku
Biarlah biar aku yang mengalah
Hatiku masih sayang padamu
Apalah daya takdir menentukan
Padamu Tuhan Ku memohon doa
Agar kau bahagia di samping dia
Aku ingin melihat engkau bahagia
Jangan hampakan orang tuamu
Berakhirlah sudah kisah cinta kita
Yang kita bina sewaktu bersama
Akan aku kenang kenangan cinta berdua
Biar menjadi sejarah hidupku……
Belum habis lagu tersebut diputar, pramusaji menghamipiri Rona “Kang, lagunya kita pindahkan ke Dangdut saja, ya, Kang. Silahkan kopinya diminum, nanti dingin.” Rona hanya mengangguk, diam, dan tak membalas kata. Ia pun menyeruput kopi pesanannya lalu menitikkan air mata.
***
“Nuri, malam itu, aku pulang bagai prajurit yang kalah perang (melarikan diri). Secuil pun bapakmu tidaklah memikirkan perasaanku. Ia menikamkan kata-kata tajam padaku berkal-kali, luka menganga, dendam perlahan membara. Kamu mungkin tidak tahu kalau aku hari ini aktif di salah satu partai yang mejadi lawan politikmu” Rona mencoba menjelaskan alasan penolakannya sambil sesekali menendang-nendang kerikil yang berhamburan di tengah alun-alun itu.
“Perbedaaan tidak pernah jadi masalah bagiku, Kang!” jelas Nuri.
“Bagimu mungkin tidak, tapi bagi bapakmu mungkin itu hal lain. Lagi pula, kematian bapakmu adalah alasan terkuat bagiku!”
“Kenapa, Kang. Ada apa dengan kematian Bapak?” tanya Nuri.
“Di bulan kematian bapakmu, ia sering kali muncul di televisi, kehadirannya membuka luka lama yang seutuhnya belum pulih. Tahun-tahun persembunyianku tak pernah lepas dari bayangmu, ada saja kangen yang mengetuk pintu, lagi pula tidak ada luka dalam yang sembuh sempurna. Selalu ada saja bekas, sayangnya, bekas ini aku rawat kembali hingga dendam membumbung tinggi, menyalakan api.”
“Aku paham, Kang. Begitu sakit perasaan akang waktu itu, tapi apakah tidak ada celah maaf baginya, bahkan setelah kematiannya?”
“Tidak Nuri, Karena kematiannya aku merasa tidak bisa memberi maaf kepada siapapun bahkan kepada diriku sendiri!” Ucap Rona.
Langit terlihat semakin gelap, Nuri begitu sedih, telinganya dipenuhi cerita luka, keberadaan Rona ternyata membuka banyak ruang kesedihan. Termasuk peristiwa kematian bapaknya yang menyisakan banyak tanda tanya. Keduanya hanya diam dan melangkah sambil memperhatikan kenangannya masing-masing. Angin dingin membawa aroma hujan dari bagian bumi lain.
“Di hari kematian bapakmu, aku merasakan kegelisahan yang ada pada dirimu, aku menyaksikan banyak panggilan tak terjawab di telpon genggamnya, semua panggilan itu berasal darimu” Rona kembali berbicara sambil sesekali melihat dalam-dalam ke arah Nuri.
“Bagaimana Akang bisa tahu, di hari kematian Bapak, aku berusaha menghubunginya?” tanya Nuri.
“Jelas saja aku tahu, Nuri. Karena akulah yang membunuh bapakmu, akulah lelaki yang menancapkan pisau di kedua matanya serta menggorok lehernya, hingga dirinya terjelembab jatuh seperti perasaanku waktu itu, berdarah-darah seperti cinta yang dia hempaskan waktu itu. Tewas. Setelah itu aku melihat di tangannya telepon genggam bergetar menampilkan namamu, jika kamu ingin jawaban atas panggilan tak terjawab itu biarlah aku yang menjawabnya” sejenak Rona berhenti bicara, Hujan perlahan jatuh “Nuri, jawabannya adalah Hentikan Perjuanganmu!”.
Hujan jatuh begitu deras, ada banyak kesedihan yang berusaha disembunyikannya, Rona terdiam kaku, menghentikan langkahnya di bawah hujan. Sementara Nuri terus memacu langkahnya dipayungi ajudan menuju mobilnya, sekali lagi keduanya berpisah, tanpa ada kata dan tatap wajah. (*)