Oleh: Syamsudin Kadir
SILAHKAN tonton video, foto dan serupanya yang berseliweran di berbagai pemberitaan media massa dan media online bahkan youtube juga foto di berbagai group media sosial. Orang sejumlah banyak berkumpul di sebuah tempat atau bertumpah di jalan raya dengan jarak yang begitu dekat, tanpa masker dan nyaris tanpa ada teguran.
Mungkin ada yang bermasker tapi terlihat hanya terikat di leher, tidak menutup mulut dan hidung. Lalu sisanya tanpa memakai masker. Sehingga sangat mungkin tertular virus Corona atau Covid-19. Apalagi jarak yang begitu dekat. Suasananya juga ramai. Siapa yang menggaransi bebas dari paparan virus? Itu tentu saja sangat mungkin tertular virus yang mematikan ini.
Katanya mesti jaga jarak, pakai masker dan jaga kesehatan, terutama di tempat umum; bahkan tak boleh mengumpulkan massa banyak di sebuah tempat untuk tujuan apapun. Tapi kok masih mengumpulkan massa banyak tanpa jaga jarak, tanpa bermasker, dan beramai di tempat banyak debu. Ini benar-benar tontonan tergolong gila dan biadab!
Memang peserta Pilkada Serentak dan para pendukungnya sudah jadi vaksin bagi Covid-19 ya? Memangnya protokol kesehatan dan berbagai aturan lainnya hanya berlaku bagi rakyat yang tak bertenaga di hadapan apa yang disebut oleh sebagian kalangan sebagai pesta para penipu itu? Atau memangnya Covid-19 itu sudah selesai, lalu tak usah dianggap ada atau tak usah dicegah lagi penyebarannya?
Bila direnungi sejenak, terutama menyaksikan fenomena semacam ini, saya jadi berpikir begini: pesta politik seperti Pilkada Serentak malah jadi medan sekaligus pesta pembodohan yang paling nyata. Publik luas dipaksa untuk taat protokol kesehatan ini itu, tapi para elite politik dan penyokong mereka malah memperkosa aturannya dengan sengaja dan telanjang.
Sampai kapan kalian terjebak terus dalam kungkungan demokratisasi yang dipaksa secara dangkal kepada publik luas, pada saat yang sama kalian berpesta ria dalam memperkosa setiap norma atau aturan yang ditentukan? Kalian memaksa publik luas untuk mentaati semua aturan pada saat kalian sedang menegasikannya secara telanjang pula?
KPU, KPUD dan Bawaslu yang menonton hal demikian, apakah tak punya standar sehingga fakta semacam itu dianggap biasa saja? Kepada aparat penegak hukum seperti pihak kepolisian, saya perlu bertanya: apakah hal semacam itu tidak termasuk pelanggaran terhadap protokol kesehatan, sehingga tak ada tindakan tegas?
Pilkada Serentak yang mestinya pesta penentu siapa yang akan memimpin berbagai daerah ke depan, malah dirayakan dengan pola norak atau bebal. Aturan dibuat oleh mereka sendiri dan dipaksa untuk diindahkan oleh publik luas, padahal mereka sendiri tak mengindahkannya. Benar-benar sebentuk aksi norak dan bebal.
Di banyak tempat, seorang ibu yang baru kembali dari pasar bisa ditilang gegara lupa pakai masker. Tukang sapu di emperan toko bisa kena pasal gegara tidak bermasker. Ada juga guru sekolah yang dihadang aparat gegara lupa masker, padahal si guru sedang pergi ke tempat jual masker untuk membeli masker. Dan masih banyak lagi cerita dan pengalaman lainnya.
Tapi ini pada musim pendaftaran pasangan bakal calon peserta Pilkada Serentak, orang berkumpul ramai malah tak diapa-apakan bahkan dianggap biasa saja. Bahkan terkesan dibiarkan begitu saja. Di situ ada aparat, ada pejabat, ada komisioner KPUD dan Bawaslu serta banyak orang yang konon otaknya berisi, tapi malah tak menegur dan tak melakukan tindakan apa-apa. Mungkinkah otak mereka juga terjebak pada orasi dan janji para pasangan bakal calon peserta Pilkada Serentak dan pendukung mereka?
Pilkada Serentak pun bisa-bisa bergeser dari momentum memilih pemimpin menjadi pesta para bandit. Sebuah pesta yang seharusnya berpijak pada azas taat aturan malah dimulai dengan fenomena yang tak layak. Yaitu mereka yang haus kekuasaan dan sengaja tak tahu menahu bencana non alam: Covid-19 yang kini masih menghantui negara kita.
Pilkada Serentak mestinya menjadi pesta yang dirayakan dengan ramai tapi damai dengan tetap memperhatikan aturan yang berlaku, terutama di masa pandemi ini, ini malah dalam banyak kasus kadang sangat tak adil. Dan ini yang bikin kesal: aturan hanya berlaku dan diperuntukkan bagi warga biasa yang tak punya hubungan politis dengan para elite politik atau yang memegang tongkat kekuasaan.
Bayangkan saja, warga biasa dipaksa bermasker, tak boleh berkumpul ramai di sebuah tempat untuk tujuan apapun, dan berbagai aturan lainnya, ini malah bebas bertingkah tanpa ada penegakan hukum. Pilkada Serentak pun seperti sengaja dirayakan dengan norak dan bebal oleh mereka yang bisa jadi norak dan bebal! (*)
(*) Syamsudin Kadir adalah Penulis buku “Membaca Politik Dari Titik Nol”