Oleh: Sari Ramadani
PEMBAKARAN hutan yang terjadi di tanah Papua membuka fakta bahwa daerah tersebut sedang berada di bawah cengkraman asing. Pasalnya, wilayah yang disebut sebagai salah satu hutan hujan dengan keanekaragaman hayati lebih dari 60 persen tersebut terancam akan berganti menjadi lahan sawit milik perusahaan asing asal Korea Selatan.
Sebuah investigasi visual yang dirilis pada Kamis (12/11) menunjukkan perusahaan raksasa asal Korea Selatan “secara sengaja” menggunakan api untuk membuka hutan Papua demi memperluas lahan sawit. Perusahaan Korea bernama Korindo tersebut merupakan salah satu perusahaan sawit dengan lahan terluas di daerah pedalaman Papua. Korindo ditengarai melanggar hukum dengan membakar hutan, namun mereka membantah tudingan tersebut. (bbc.com, 12/11/2020).
Masyarakat suku Malind, yang tinggal di pedalaman Papua, perlahan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung. Mereka sedih karena hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Sementara, ketua marga Kinggo dari suku Mandobo, Petrus Kinggo, berkukuh mempertahankan hutan adatnya di Distrik Jair, Boven Digoel. Dia menolak hutan adatnya dijadikan kebun kelapa sawit. Dia mengatakan sagu yang jadi makanan pokok masyarakat Papua lambat laun tergusur kebun kelapa sawit.
Anak usaha perusahaan Korea Selatan (Korsel), Korindo Group, menguasai lebih banyak lahan di Papua daripada konglomerasi lainnya. Perusahaan ini telah membuka hutan Papua lebih dari 57 ribu hektare, atau hampir seluas Seoul, ibu kota Korsel. (news.detik.com, 14/11/2020).
Dilihat dari tangkapan gambar satelit di seluruh Merauke, mereka mengatakan konsesi Korindo merupakan wilayah terpanas yang terpantau sejak 2012 sampai 2015. Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik menilai pemerintah harus meminta pertanggungjawaban Korindo terkait penemuan ini.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani menegaskan pihaknya memberikan perhatian terhadap kasus ini. Meskipun demikian, pihaknya masih harus memastikan kebenaran dari hal tersebut. Ia pun masih mempelajari dan mendalami dugaan itu (cnnindonesia.com, 13/11/2020).
Cengkraman penjajahan asing makin terasa sejak pemerintah mengeluarkan berbagai macam kebijakan yang sangat menyengsarakan rakyat, terlebih dalam bidang ekonomi. Selain belum mampu membangkitkan perekonomian nasional, sejumlah kebijakan justru menjerumuskan Indonesia makin dalam pada jurang ekonomi kapitalis. Yang mana pada sistem ekonomi kapitasi, sang pemilik modal lah yang akan mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kepentingan umum.
Tanah Papua memang dikenal memiliki kekayaan alam tak terkira. Memiliki sumber daya alam yang banyak yaitu, kekayaan mineral, minyak, gas, perkebunan, termasuk juga hasil hutan yang membawa Papua sebagai daerah di Indonesia dengan hutan terluas yaitu 40.546.360 hektare.
Namun, kekayaan alam yang banyak rupanya tak menjamin kesejahteraan hidup bagi masyarakat setempat. Nyatanya kekayaan alam di tanah Papua menjadi cikal bakal sasaran eksploitasi korporasi oleh berbagai pihak yang mengakibatkan masyarakat setempat masih hidup dibawah garis kemiskinan, pendidikan rendah, terpinggirkan, bahkan terabaikan.
Pemerintah yang dianggap memiliki hak dalam mengatur hutan pun dengan mudahnya memberikan izin bagi perusahaan asing untuk menguasai salah satu aset negara ditanah Papua yang seharusnya adalah milik umum.
Pemanfaatan lahan hutan pun tak lagi memperdulikan lingkungan dan masyarakat sekitar. Pasalnya pembakaran hutan yang terjadi selain dapat merusak lingkungan juga berdampak pada masyarakat sekitar karena sagu yang menjadi makanan pokok masyarakat Papua, dikhawatirkan lambat laun akan tergusur dan digantikan oleh kebun kelapa sawit.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem Islam, yang mana dalam sistem Islam seorang Khalifah (pemimpin) akan memberikan jaminan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat.
Selain itu, khalifah (pemimpin) juga akan memberikan penjagaan terhadap alam, mengelolanya semaksimal mungkin tanpa merusaknya yang kemudian hasil dari pengelolaan tersebut akan dikembalikan lagi kepada umat (masyarakat).
Pengelolaan hutan sebagai harta milik umum pun berada di tangan negara bukan swasta atau individu. Karena hutan termasuk ke dalam harta kepemilikan umum, bukan milik individu atau negara. Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).
Dalam sistem Islam pun negara wajib melakukan pengawasan serta mencegah kerusakan hutan dan lingkungan sekitarnya. Negara juga akan memberlakukan sanksi tegas terhadap pelanggaran hutan seperti pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang diperbolehkan, serta hal-hal lainnya yang dapat merusak hutan dan lingkungan sekitarnya.
Sanksi yang diberlakukan bisa berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya harus memberi efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi kejahatannya dan hal yang serupa pun tak akan terulang kembali maka dengan itu, tak ada celah bagi asing untuk menguasai kepemilikan umum begitu juga dengan individu.
Wallahu’alam Bisshowwab.
Penulis adalah Aktivis Muslimah tinggal di Medan