Oleh: Ai Siti Nuraeni
(Penulis adalah Anggota Komunitas Muslimah Rindu Surga)
PERSOALAN ketersediaan pangan memang menjadi masalah penting yang harus pemerintah perhatikan, terutama saat pandemi. Untuk menyelesaikan masalah ini perlu program yang baik dari pemerintah dan dukungan positif dari masyarakat.
Salah satu program yang tengah dipersiapkan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil adalah program Petani Milenial 4.0. Tak tanggung-tanggung 5.000 pemuda berpengalaman dalam bidang pertanian akan diseleksi untuk bisa bergabung dalam program ini.
Ridwan pun menjelaskan bahwa kedepannya akan ada bantuan dari Pemprov Jawa Barat dalam penyediaan lahan, benih, pupuk hingga pemasarannya. (Mudanesia.pikiran-rakyat.com/Selasa, 9 Februari 2021)
Program ini ditanggapi positif oleh generasi milenial, terbukti sudah ada 6.000 orang yang mendaftar yang 87 persen di antaranya adalah laki-laki, jumlah ini masih bisa bertambah karena proses pendaftaran masih dibuka. Setelah pendaftaran para calon petani muda ini akan melewati proses seleksi administrasi, skrining teknis di perangkat daerah, lalu calon terpilih akan dilatih sebelum terjun ke bidang pertanian, peternakan, perikanan, atau perkebunan.
Dilihat dari proses tersebut tentu muncul harapan agar hadirnya program ini bisa membawa pengaruh positif dalam perekonomian rakyat dan membantu masyarakat yang tengah kesulitan terutama saat pandemi sekarang.
Namun Sekretaris Komisi II DPRD Jabar Yunandar R Eka Perwira menilai program tersebut belum punya konsep yang jelas, plot anggarannya minim dan yang terpenting Program Petani Milenial ini belum masuk Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jabar 2018-2023, sehingga dinas terkait akan kebingungan untuk merealisasikannya.
Melihat kenyataan yang terjadi kita bisa melihat bahwa Program Petani Milenial ini terkesan dipaksakan saja karena mana bisa sebuah program direalisasikan jika anggarannya saja tidak direncanakan.
Lalu jika bukan pemerintah yang mendanainya maka akan terbuka celah bagi para korporat untuk mendanai program ini. Sayangnya jika korporat sudah ikut dalam suatu program tentu arah berjalannya program tersebut akan disetir agar sesuai dengan kepentingan mereka.
Pada akhirnya program yang ada ini bukannya murni untuk meningkatkan produktivitas para kaum milenial atau mencapai ketahanan pangan melainkan justru untuk membantu para korporat mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
Jika pemerintah memang ingin memajukan pertanian daerahnya seharusnya bukan hanya generasi muda dengan pengalaman minim yang dibantu melainkan semua petani harus mendapatkan kemudahan dalam menjalankan usahanya.
Dengan demikian pemerintah harus mampu mendukung semua petani dengan ketersediaan benih, bibit, pupuk, pestisida dan lahan yang terjangkau. Menciptakan iklim pasar yang ramah akan petani dalam negeri bukan mendahulukan impor dari luar. Petani harus ditingkatkan kemampuannya dengan berbagai macam pelatihan agar bisa bersaing dengan petani luar.
Inilah yang seharusnya dilakukan agara terwujud ketahanan pangan dalam negeri yang kuat dan mandiri yang tidak tergantung pada impor. Dengan begitu pula profesi sebagai petani akan banyak diminati oleh rakyat termasuk generasi muda. Maka program seperti Petani Milenial yang bersifat sementara dan terbatas ini tidak perlu dilakukan, karena iklim usaha pertanian sudah berjalan baik dan menjanjikan.
Namun sayangnya iklim usaha pertanian pada saat ini memang sangat menyusahkan para petani karena keberpihakan kebijakan negara lebih mementingkan pemilik modal besar. Bagi petani kecil dengan lahan terbatas tidak ada ruang bagi mereka untuk berkembang. Inilah watak dari sistem kapitalisme yang dijalankan dibanyak negara muslim di dunia.
Kehadirannya yang hampir berdiri 100 tahun ini tidak mampu mewujudkan kesetaraan dan kesejahteraan bagi para petani. Sebaliknya malah semakin memperparah kondisi di negeri-negeri muslim karena penjajahan ekonomi yang dilakukan segelintir oknum penguasa licik dan pengusaha rakus. Kapitalisme juga memandang bahwa pertanian hanya dianggap sebagai salah satu cara menghasilkan pundi-pundi rupiah atau materi belaka.
Berbeda dengan Islam yang menganggap pertanian sebagai satu hal yang penting, selain sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat juga menjadi tanda kebesaran Allah yang akan memberikan banyak ibrah dalam kehidupan. Hal tersebut tertulis dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu. Dengan air (hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.” (Q.S an-Nahl ayat 10-11)
Selanjutnya karena pertanian menjadi tiang utama dalam ketahanan pangan negeri maka segala proses pertanian akan diperhatikan betul dalam negara Islam. Caranya adalah dengan menyediakan anggaran yang memadai untuk mendukung petani dalam menyediakan benih berkualitas, teknologi canggih, dan mempermudah penyediaan penunjang pertanian yang baik seperti pupuk dan pestisida. Anggaran tersebut berasal dari pemanfaatan sumber daya alam, fa’i, dsb.
Negara dalam Islam juga akan mengatur pasar sedemikian rupa agar ramah bagi para petani dalam negeri. Impor tidak akan dilakukan selama petani dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan pasar. Tidak akan dibenarkan jika ada yang menimbun barang atau menjatuhkan harga pasar. Dengan begitu hasil panen petani akan dihargai dengan pantas.
Selain itu negara akan menciptakan berbagai pelatihan agar setiap kepala keluarga memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mencari nafkah termasuk dalam bertani. Hal itu tidak akan luput dari perhatian negara karena memastikan masyarakat tercukupi kebutuhannya memang merupakan tugas utama negara dalam Islam.
Islam punya mekanisme istimewa yang berbeda dengan apa yang dijalankan dalam sistem kapitalisme, contohnya seperti konsep baitul mal dan ihyaul mawaat. Dengan adanya baitul mal warga negara yang memerlukan modal untuk usahanya termasuk usaha pertanian akan diberikan dengan mudah dan tanpa riba bahkan bisa jadi dihibahkan.
Adapun dengan konsep ihyaul mawaat ialah seorang muslim menempati tanah yang tidak ada pemiliknya lalu memakmurkannya dengan menanaminya dengan pohon dan tanaman atau mendirikan sebuah bangunan di atasnya atau menggali sebuah sumur di dalamnya, lalu tanah itu dikhususkan baginya dan menjadi miliknya. Ihyaul mawaat hukumnya boleh, berdasarkan sabda Rasulullah Saw,
“Barangsiapa yang menghidupkan (menggarap) tanah yang mati (tidak bertuan), maka tanah itu menjadi miliknya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 14226 dan at-Tirmidzi, no. 1379. Hadits ini termasuk hadits shahih)
Semua mekanisme ini hanya mungkin terjadi dalam daulah Islam yang menerapkan aturan Islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam aspek ekonomi dan pertanian. Aturan Islam ini tidak bisa diterapkan hanya sebagian saja karena satu sama lain saling berkaitan. Dengan demikian penerapan aturan Islam ini harus diwujudkan secara kaffah dalam bingkai khilafah’alaa minhaajin nubuwwah.
Wallahu a’lam bish shawaab. (*)