Oleh: Ine Wulansari
(Penulis adalah Pendidik Generasi, tinggal di Bandung)
INDONESIA termasuk salah satu negara yang mempertahankan lembaga pendidikan tradisional, yakni pendidikan melalui pondok pesantren. pendidikan yang berbasis Islam ini, sarat akan tantangan arus modernisasi. Salah satu tantangannya adalah yang berkaitan dengan eksistensi, yang lambat laun makin terlupakan dari perhatian pemerintah.
Banyak lembaga pesantren saat ini yang menggantungkan harapannya pada pemerintah. Seperti harapan salah satu pimpinan Pondok Pesantren Maaul Huda, KH. Jajang Abdul Mulyana agar pemerintah membina pesantren dan memberdayakannya dalam bidang ekonomi. Sehingga santri semakin berkualitas dan berdaya saing.
Untuk menghasilkan santri yang berdaya saing tentu bukanlah hal yang mudah terutama era pesatnya industri dan teknologi saat ini. Sedikit saja berubah arah, maka tujuan hakiki mencetak calon ulama akan bergeser. Terlebih dengan adanya Perda Pesantren ataupun kurikulum berbasis 4 pilar kebangsaan.
Di satu sisi, adanya Perda Pesantren, tentu menjadi angin segar untuk kemajuan pesantren itu sendiri karena ada dukungan fasilitas dan pendanaan yang mudah serta mampu direalisasikan secara optimal. (PortalBandungTimur, 3 Februari 2021)
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, telah memainkan peran yang sangat penting dalam mencetak alim ulama dan tokoh mujtahid pemberani, terutama saat realitas menghadapkannya pada jihad melawan kolonial penjajah (pra kemerdekaan RI).
Namun sayang, keberhasilan pesantren dalam mencetak generasi berkualitas tak dibarengi dengan dukungan fasilitas memadai dari pemerintah. Justru yang timbul saat ini, fokus pemerintah terhadap pesantren adalah pengawasan ketat agar kurikulumnya sejalan dengan keinginan pemerintah, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Kebhinekaan.
Tujuan ini merupakan program yang dicanangkan pemerintah agar Islam moderat (moderasi Islam) sukses merasuk ke dalam jiwa umat muslim, dan menjauhkannya dari penerapan Islam secara utuh.
Dengan kondisi ini, perangkat ponpes harus mewaspadai program dari pengusung kapitalisme sekuler yang berupaya menyimpangkan Islam agar tidak terwujud generasi rabbani yang taat syariat secara total. Termasuk di dalamnya pemberian gelar Islam dengan sebutan Islam moderat untuk membedakan dengan Islam radikal. Moderat diterima, radikal disingkirkan.
Hal ini tentu saja akan membawa dampak berbahaya bagi pesantren. Berharap menghasilkan sumber daya manusia unggul, justru dengan hadirnya moderasi Islam akan menyebabkan kerusakan kepribadian pada generasi. Sebab generasi akan dijauhkan dari akidah Islam yang merupakan perkara mendasar dalam menentukan tujuan hidup. Tanpa dasar akidah, pendidikan hanya sebagai proses transfer ilmu saja, bukan proses mendidik generasi.
Inilah salah satu akibat diterapkan sistem pendidikan kapitalis sekuler saat ini, yang akan melahirkan generasi kurang adab, minim akhlak sementara gejala islamofobia terus ditampakkan dari hulu hingga hilir.
Selanjutnya, dengan adanya kebijakan pendidikan tinggi yang menunjang penguasaan keahlian terapan tertentu yang digencarkan pemerintah, juga semakin mengerdilkan nilai sumber daya manusia. Oleh sebab itu, pesantren sebagai tempat pendidikan yang mencetak generasi mulia yang bertakwa, tak akan berhasil jika sistem kapitalis sekuler terus dipertahankan atau masuk program pesantren.
Islam dengan seperangkat aturan sempurna, mengatur seluruh kehidupan manusia termasuk pendidikan. Pendidikan dalam Islam memiliki tujuan membentuk manusia yang berkepribadian Islam, menguasai pemikiran Islam yang mendalam, menguasai ilmu-ilmu terapan, dan mempunyai keterampilan yang berdaya guna.
Kurikulum dalam Islam memiliki tiga komponen utama yaitu : pertama, pembentukan kepribadian Islam. Kedua, penguasaan tsaqafah Islam. Ketiga, penguasaan ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan).
Dalam Islam, negara wajib mengatur seluruh aspek yang berkaitan dengan pendidikan. Bukan hanya kurikulum, akan tetapi pendidikan yang diselenggarakan oleh negara, dapat diakses dengan mudah oleh rakyat, serta negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas yang memadai sebagai sarana pendidikan untuk mencerdaskan umat.
Sirah Nabi saw. telah menggambarkan bahwa negara Islam memberikan jaminan pendidikan secara gratis bagi seluruh warga negara. Dengan fasilitas yang menunjang dilengkapi kesejahteraan serta gaji bagi para pendidik sangat diperhatikan negara.
Semuanya itu merupakan kewajiban yang dilaksanakan oleh kepala negara. Keseriusan negara Islam dalam mewujudkan pendidikan yang unggul, telah menorehkan tinta emas sebagai pusat ilmu pengetahuan dan mencusuar peradaban dunia.
Sungguh, pendidikan Islam yang disandarkan pada sistem ideologi yang kokoh, yakni akidah Islamiyah akan menghasilkan generasi cemerlang dan berkualitas. Generasi yang lahir dari pendidikan Islam terbukti memberikan hasil gemilang bagi peradaban Islam. Seperti Ibnu Sina dengan nama lengkap Abu Hassan Ali bin Sina sebagai seorang ilmuwan Islam, filsuf, dan dokter. Bukan hanya itu, Ibnu Sina dikenal juga sebagai seorang penulis produktif dalam bidang filsafat dan kedokteran.
Oleh dunia modern Ibnu Sina dikenal sebagai bapak pengobatan dunia modern awal. Selain itu ada al-Khawarizmi atau Muhammad bin Musa al-Khawarizmi merupakan seorang ahli dan tokoh penting dalam bidang matematika, astronomi, astrologi, dan geografi asal Persia.
Berkat penemuannya, al-Khawarizmi dikenal sebagai bapak aljabar yang sampai saat ini ilmunya masih dipergunakan. Inilah dua ilmuwan Islam dari banyak ilmuwan yang telah lahir sebagai generasi warasatul anbiya yang membawa Islam pada kegemilangan. Sabda Nabi saw.:
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. At-Tarmidzi)
Wallahu a’lam bish shawab. (*)