Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Menjadi Pendidik Hebat” dan “Melahirkan Generasi Unggul”
DARI dulu, jilbab itu pakian yang terlihat indah, menyamankan dan menjaga pemakainya dari banyak gangguan. Penggunanya pun merasa terlindungi dan merasa risih bila menanggalkannya. Jangan kan di kota-kota, di pelosok negeri atau di kampung-kampung pun orang betapa bangga mengenakan jilbab.
Anak-anak begitu bangga mengenakannya tanpa sedikitpun rasa ragu dan malu. Bukan sekadar dalil sosial yang mendasari mereka, tapi sebentuk hidayah atau petunjuk Allah-lah yang membuat mereka tergerak untuk memakai dan membelanya.
Di berbagai daerah yang minoritas muslim, wanita atau muslimah dari kalangan Ibu begitu nyaman mengenakan jilbab. Tak ada rasa ragu dan tak ada rasa takut. Begitu juga pelajar atau siswi (muslimah), mereka begitu semangat dan bangga mengenakan jilbab di sekolah dan tempat-tempat umum. Tak ada rasa ragu dan tak ada rasa takut. Sebab umat non muslim pun sangat toleran dan menghargai hak beragama umat muslim terutama muslimahnya. Di sini terlihat indah, bukan saja di saat mengenakan jilbab tapi juga pada saat mempraktikan toleransi.
Di sebagian besar kalangan, terutama anak-anak sekolahan apapun jenis dan level sekolahnya, merasa malu bila tak berjilbab dan menjadi aib tersendiri bila tak mengenakan jilbab. Minimal mereka memakai kerudung sebagai pertanda bahwa mereka merasa lebih terhormat dan terjaga bila auratnya ditutup dan tidak terlihat oleh siapapun di luar sana.
Maka tidak heran di berbagai momentum mereka begitu terjaga dan terlihat lebih indah. Anak-anak gadis itu tidak mau dan merasa malu bila aurat terutama dadanya dipamer dan terlihat orang. Mereka belajar menjaga diri dengan menjalankan syariat-Nya.
Kini, konon ada pejabat yang merasa risih dan aneh dengan jilbab. Sampai mengeluarkan pernyataan tak bermutu dan kebijakan yang sama sekali tidak bijak dan tak berbasis pada nurani. Merasa bahwa jilbab dan atau kerudung adalah simbol agama yang tak perlu dijadikan sebagai aturan yang mengikat para siswi di sekolah negeri/sederajat.
Jilbab dianggap sebagai domain agama bukan domain sekolah dan bukan domain kepala sekolah terutama yang negeri. Sangat terlihat sekali akalnya tercemari virus islamopobia sehingga nalarnya pun menjadi dan bertambah tumpul.
Saya melihat ada yang tak beres di sini. Sebab dari dulu biasa-biasa saja dan orang nyaman-nyaman saja. Tak ada masalah dan memang bukan masalah. Tetiba sekarang dianggap masalah dan dipermasalahkan.
Ancaman sana-sini tak karuan padahal belum paham masalahnya dan memang seperti tak mau tahu. Upaya antipati dibangun secara masal di berbagai media. Semuanya seperti umbaran sampah di tempat sampah. Mengapa tetiba mereka menjadi alergi dengan jilbab dan berupaya menepikannya secara dangkal?
Saya juga melihat ada yang aneh, belakangan mereka begitu getol mengkampanyekan pentingnya wakaf, perlunya zakat, infak dan sedekah, serta berbagai ajaran agama atau syariat yang tentu saja berkaitan dengan uang atau aset, tapi jilbab yang tak berkaitan dengan uang malah tak dihiraukan bahkan berupaya untuk ditiadakan. Minimal digugat sana-sini dengan dalih murahan yang terlihat wah padahal dibangun di atas argumentasi liberal dan sekali lagi nalarnya tumpul.
Bayangkan saja, seragamnya dihina dan berupaya untuk ditiadakan karena sebuah pemahaman bahwa itu syariat bukan bagian dari proses pembelajaran. Ternyata memang karena pada seragam tak ada uangnya. Berbeda dengan bank syariah, dana haji-umroh, zakat, infak dan sedekah, serta wakaf yang pasti ada uangnya.
Bahkan uangnya besar, asetnya juga besar. Begitulah jadinya bila syahwat dan serakah berkolaborasi dalam irama akal tumpul. Mereka sibuk menikmati kekayaannya lalu menepikan syariatnya. Itulah tindakan praktis dari islamopobia.
Bila sudah tak ada rasa malu dan tak takut tertimpa bencana, silahkan segera bikin SKB perihal tak ada shalat Jumat bagi siswa SMAN/Sederajat dan SMPN/sederajat. SKB dikeluarkan karena pada jam demikian adalah jam belajar bukan jam untuk shalat. Kan shalat Jumat itu syariat alias syariah bukan perintah pemerintah dan bukan instruksi kepala sekolah. Kalau konsisten dengan nalar tumpulnya, silahkan bikin SKB yang lebih gila.
Bila perlu, bila dirasa lebih atau paling negarawan dan nasionalis, silahkan dibuat juga SKB perihal tak adanya shaum pada bulan ramadan bagi siswa dan siswi SMAN/Sederajat dan SMPN/Sederajat, sebab shaum ramadan adalah perintah Allah alias syariat bukan perintah pemerintah dan bukan instruksi kepala sekolah. Jangan ragu atau khawatir, sekalian bikin SKB agar orangtua di rumah tidak mengajarkan anak-anak perempuannya untuk menutup aurat termasuk mengenakan jilbab.
Pertanyaan lain muncul, mengapa ada pejabat yang menutup aurat? Bukan kah aurat itu terminologi agama sekaligus berkaitan dengan syariat agama, khususnya Islam? Mestinya, kalau konsisten dengan nalarnya yang tumpul, dibikin juga SKB perihal tak boleh ada pejabat yang menutup aurat. Sebab menutup aurat bukan perintah kementrian dan bukan tugas pejabat, tapi perintah agama. Biar terlihat konsistensinya, agar semakin terlihat juga nalar tumpulnya. Publik juga ingin tahu konsistensi pejabat dalam memahami ajaran agama.
Kita memang menyaksikan semakin banyak tingkah dan sikap aneh alias naif di kalangan tertentu beberapa tahun terakhir. Mengaku paling negarawan tapi akalnya tumpul dalam memahami makna dan pesan dasar negara yaitu Pancasila.
Seluruh silanya tak merintangi ajaran agama, bahkan senafas dengan ajaran agama. Bila ditilik lebih dalam lagi, Pancasila justru mengafirmasi nilai-nilai Islam. Atau apakah pendiri bangsa pada saat merumuskan Pancasila menghendaki anak kerurunan mereka tidak menutup aurat atau tidak mengenakan jilbab di sekolah? Siapapun bakal menjawab tidak demikian. Sebab para tokoh adalah negarawan yang memahami latar sosial bangsa ini.
Jadi, bila ada pejabat yang membenturkannya secara terbuka dalam bentuk pernyataan tak bermutu dan aturan yang juga tak bermutu, maka bisa dipastikan ada yang keliru atau ada yang tak beres. Bisa diduga kuat pernyataan disampaikan dan aturan semacam itu dibuat pada saat nalarnya tumpul. Sebab perumus Pancasila sendiri adalah para ulama dan tokoh yang paham agama. Mereka lebih paham kondisi sosial dan dinamika di masyarakat. Tidak seperti pejabat yang lahir kemarin sore yang bisa jadi miskin literatur juga malas baca.
Lalu bila nilai agama ditepikan secara pelan-pelan, entah karakter dan nilai apa yang hendak dihadirkan dalam dunia pendidikan kita. Saya percaya betul bahwa tak ada yang memaksakan kehendak dalam beragama, sebab semua orang sudah waras dan bisa membaca berbagai literatur.
Tapi proses pendidikan adalah proses transfer dan pembinaan nilai-nilai kebaikan. Bila sejak dini sudah dipahamkan bahwa jilbab tidak penting maka ujungnya mereka nanti bakal kehilangan nilai-nilai. Atau para pejabat itu sudah bosan melihat orang menutup aurat atau berjilbab gegara tumpukan uang dianggap lebih indah?
Saya tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya bila istri atau anak gadis pejabat tertentu pergi ke tempat pesta tanpa menutup aurat dengan alasan bahwa tempat pesta bukan ka’bah dan bukan masjid. Selain dengan beralasan bahwa negeri ini bukan negara agama dan tak ada kewajiban menutup aurat.
Di sini bukan nalarnya saja yang tumpul, tapi hatinya juga ikut tumpul. Itu pun bila mereka masih bisa membedakan mana aurat dan mana uang. Bila sebaliknya atau tidak bisa membedakan, biarkan mereka tergila-gila di nalar dan panggung itu!
Tumpulnya akal memang tidak bisa diukur dengan variabel yang kaku seperti rendahnya pendidikan. Sebab mereka yang berpendidikan tinggi pun malah terpapar virus nalar tumpul dan jauh lebih tumpul. Sebabnya sederhana yaitu karena cara menalarnya malah ambigu dan menghasilkan sesuatu yang juga ambigu.
Ambiguitas yang diformalkan dalam berbagai pernyataan dan aturan tak bermutu pun menjadi semacam pameran terbuka atas tumpulnya akal juga nalar itu. Begitu naifnya manusia bila serakah pada uang dan terpapar virus islamopobia, tampilannya terlihat berakal tapi ternyata nalarnya tumpul! (*)