Oleh: Uqie Nai
(Alumni Branding for Writer 212)
DAMPAK pandemi sepertinya masih enggan beringsut dari negeri ini. Satu persatu permasalahan yang dihadapi individu, masyarakat bahkan pemerintah terus mencuat tak terkecuali Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Di Jawa Barat sendiri, tepatnya di Kabupaten Bandung, PMKS ini telah menjadi masalah tersendiri yang harus dicari solusinya. Baik PMKS itu bermodel pemulung, anak jalanan, pengamen, peminta-minta berkostum badut atau lainnya jelas menambah pekerjaan rumah untuk pemerintah daerah Kabupaten Bandung khususnya.
Menurut Anggota Komisi D DPRD Kabupaten Bandung, Yayat Sumirat banyaknya PMKS yang ada di Kabupaten Bandung sebagai akibat pandemi Covid-19. Kebanyakan adalah warga luar kabupaten yang diangkut dengan kendaraan tertentu kemudian ditempatkan di wilayah Kabupaten Bandung. Pihaknya akan meminta Satpol PP dan Dinas Sosial untuk segera melakukan penertiban agar tidak timbul opini bahwa kondisi ini ada pembiaran dari dinas. (Dikutip dari laman dara.co.id, Senin, 15/3/2021)
Harapan Semu Kesejahteraan dalam Sistem Kapitalisme
Bagaimanapun solusi yang ditawarkan oleh pemerintah terkait PMKS tak bisa dilepaskan dari akar masalahnya. Menjamurnya PMKS di Jawa Barat atau daerah lainnya yang menjadi objek urbanisasi misalnya, merupakan akibat dari penanganan Covid-19 tak tersolusikan secara cepat dan tepat.
Bimbang menetapkan lock down dan karantina wilayah untuk warga sakit dan sehat telah memberi ruang masalah semakin besar. Bukan hanya masalah ekonomi, sosial, budaya tapi juga hukum. Diperparah lagi dengan kebijakan new normal life demi pertumbuhan ekonomi ala kapitalis membuat kenyamanan serta keamanan dari wabah semakin utopis.
PMKS yang berasal dari dalam atau luar daerah, mereka tetaplah rakyat yang membutuhkan uluran tangan negara. Mereka juga tak ingin hidup di jalanan, meminta belas kasihan orang lain untuk menopang hidup.
Adalah hal manusiawi ingin hidup dalam kondisi normal, tercukupi serta penuh ketentraman. Jika PMKS hadir ke pusat-pusat kota, karena modernisasi telah menjadi magnet tersendiri untuk penduduk desa mengadu nasib. Urbanisasi pun semakin masif. Namun apa hendak dikata, hidup masyarakat saat ini ‘jauh panggang dari api’. Padahal amanat dalam Pasal 34 Ayat 1, UUD’45 menyebutkan: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Maka seharusnya, kasus PMKS pun adalah tanggung jawab negara untuk mengatasinya terlebih lagi jika keberadaan mereka muncul sebagai sebab akibat dari sistem yang diadopsi negara dalam pengambilan kebijakan, tidak meratanya pembangunan, serta tata kelola dengan sistem pemerintahannya, yakni sistem demokrasi-kapitalisme.
Inilah gambaran hidup dalam himpitan kapitalistik. Harapan tinggal harapan. Negara yang digadang-gadang mampu memberikan kesejahteraan, nyatanya bukan untuk rakyatnya yang papa tetapi untuk mereka yang kaya.
Maka, sampai kapan pun masyarakat tak akan sejahtera jika pengaturan urusan publik didasarkan pada keuntungan materi yang lahir dari rahim kapitalisme. Hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyatnya pun tak ubahnya hubungan transaksional. Ada untung dijunjung, jika rugi dilewati.
Kesejahteraan Hakiki dalam Institusi Islami
Kegagalan sistem kapitalisme mengatasi beragam persoalan masyarakat bermula karena menafikan konsep kemaslahatan secara konfrehensif. Kemiskinan dan masalah sosial hadir lebih banyak karena sistem.
Berbeda dengan Islam. Sebagai agama yang menyeluruh, syariatnya pun bersifat menyeluruh. Bukan hanya urusan ekonomi yang bersifat material tetapi dikuatkan juga pembangunan secara nonmaterial seperti spiritual, akhlak, sosial, budaya, hukum dalam balutan akidah Islam.
Konsep yang dimiliki Islam akan direalisasikan dalam kebijakan seorang kepala negara. Yaitu seorang imam/pemimpin yang mengatur urusan publik sesuai tuntunan syara’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Konsep ini telah dimiliki Islam yang bisa diimplementasikan pemimpin dalam kondisi normal maupun pandemi.
Dalam kondisi normal, Islam telah memberikan arahan pada siapapun yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan kepentingan umat, terlebih lagi saat wabah melanda. Negara sebagai institusi penerap syariat akan memastikan rakyatnya tercukupi pangan, sandang dan papan tanpa kecuali. Negara dalam sistem Islam memiliki solusi jitu atasi wabah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. dan Khalifah Umar bin Khattab ra.
Rasulullah mempraktikkan social distancing dan karantina wilayah untuk warga sehat dan sakit (lepra). Tidak boleh ada yang masuk atau mendekati wilayah yang terpapar dan tidak boleh siapa pun keluar dari wilayah tersebut.
“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, maka jangan kalian memasukinya. Dan jika wabah terjadi di tempat kalian berada, maka jangan keluar darinya.” (HR. al-Bukhari)
Demikian pula yang dilakukan Umar bin Khattab ra. saat Tha’un Amwas menyerang wilayah kekuasaannya yang menelan puluhan ribu jiwa. Umar sebagai kepala negara fokus mengatasi cara penanganan wabah.
Dipisahkan, dipantau, diberikan pengobatan serta pelayanan maksimal individu per individu. Bahkan mengerahkan kas negara dan kas daerah untuk menunjang pelayanan tersebut hingga yakin semua rakyatnya mendapatkan hak secara merata. Sementara warga yang sehat tetap bisa melakukan aktivitasnya secara normal.
Pemimpin ala Rasulullah atau khalifah ar Rasyidah (tertunjuki) yang mementingkan masalah umat secara detil, kepala per kepala, dari kota hingga pelosok desa hanya dijumpai dalam sistem pemerintahan Islam. Tanggung jawabnya yang besar melahirkan sikap adil dan amanah. Ketakutannya pada Allah Swt. terwujud dalam berbagai kebijakan riil yang ditetapkan untuk melayani rakyat.
Baik kebutuhan mendasar ataupun tambahan semisal pendidikan, kesehatan, keamanan, perlindungan, tempat tinggal, kepemilikan, perhatian dll. akan diberikan secara optimal. Pun demikian dengan pembangunan. Negara akan menjadikan pembangunan sesuai kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, berdaya guna, merata dan menunjang kemajuan Islam.
“Seorang imam itu adalah pelayan (penggembala), dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyat).” (HR. Al-Bukhari).
Pelayanan negara Islam sungguh tak ada bandingannya dengan peradaban barat dengan sekuler kapitalismenya. Kapitalisme memunculkan orang miskin baru, masalah baru dan segudang turunannya. Sedangkan ideologi Islam melahirkan individu mandiri, kuat secara akidah dan wawasan keilmuan, sehingga tak terjebak dengan arus modernisasi sekuler kapitalistik seperti saat ini ketika syariat Islam jauh dari kehidupan umat.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab.