Oleh:Rifka Nurbaeti, S.Pd
(Anggota Komunita pegiat literasi)
MENTERI Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi mengungkapkan alasan pemerintah membuka kembali impor garam sebanyak 3 juta ton pada tahun ini. Hal itu berkaitan dengan kuantitas dan kualitas garam lokal.
Ia menjelaskan, pada dasarnya garam impor tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan industry, karena kualitas garam lokal belum sesuai dengan yang dibutuhkan industri.
“Garam itu kualitasnya berbeda. Di mana garam kita yang dikerjakan PT Garam dan petani rakyat ini belum bisa menyamai kualitas garam industri tersebut,” ujar Lutfi dalam konferensi pers virtual, Jumat (19/3/2021). (Kompas.com)
Jika terealisasi seluruhnya, impor 2021 ini juga akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Menurut data UN Comtrade, impor garam terbesar RI pernah dicapai pada 2018 sebanyak 2,839 juta ton dan 2011 2,835 juta ton.
Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI), Jakfar Sodikin menyayangkan keputusan impor garam yang terus berlanjut, apalagi disertai pembatalan target swasembada. APGI menilai impor garam akan semakin membuat petambak terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor.
Sepertinya bukan kali ini saja petani garam mengalami kerugian besar akibat kebijakan impor garam. Janji swasembada garam pernah disampaikan petinggi negeri, tapi hasilnya masih terus menjadi pekerjaan rumah bersama. Apa solusinya? Jawabnya, belum ada, petambak garam malah kian terpuruk akibat penerapan sistem buruk ini.
Mendag menilai persoalan garam merupakan peluang bagi pelaku usaha dalam negeri untuk memperbaiki dan mengembangkan industri garam, sehingga bisa menekan ketergantungan impor garam.
Lagi-lagi pemerintah menganggap masalah bisa diatasi dengan terlibatnya para pengusaha. Tugas memperbaiki struktur industri garam nasional diberikan pada pengusaha bukan jadi tanggung jawab penguasa. Penguasanya, apakah hanya menjadi stempel legalitas suatu kebijakan saja? Ambil jalan “potong kompas” dianggap lebih efektif menyelesaikan permasalahan garam.
Begitu miris nasib petani garam. Terus menangis karena hasil garamnya tak laku di pasaran, kalah saing dengan garam impor. Slogan “Cintailah produk-produk Indonesia” sering didengungkan, tapi yang terjadi produk negeri sendiri disingkirkan diganti dengan produk luar. Inikah yang dinamakan cinta produk negeri?
Rendahnya produksi garam lokal hanyalah efek dari kurangnya pengurusan negara dalam hal produksi garam nasional. Jika alasan produksi garam rendah lantaran tidak semua pantai bisa dijadikan lahan garam, mestinya pemerintah memetakan potensi serta peluang produksi garam. Pembacaan terhadap aspek ini bisa menjadi acuan dalam mengambil kebijakan yang jelas dan terukur.
Sejak dulu, Indonesia memiliki dua musim, yaitu kemarau dan hujan. Prediksi terhadap cuaca mestinya dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan produksi garam di musim kemarau dan penghujan. Negara seharusnya melakukan perencanaan agar produksi garam tidak terhalang akibat cuaca. Bisa dengan rekayasa teknologi atau semisalnya.
Adapun mengenai mutu garam, hal itu tergantung sejauh mana upaya negara menfasilitasi dan membekali para petani dan industri garam dengan teknologi mutakhir untuk meningkatkan produksi dan kualitas garam nasional.
Dalam Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah Islam), seorang Khalifah wajib memberikan perhatian besar terhadap setiap urusan rakyatnya. Seluruh kebutuhan dasar setiap rakyat dalam Khilafah dijamin oleh Islam. Jaminan ini telah ditetapkan oleh Islam sebagai kebijakan ekonomi Khilafah, baik dalam bentuk mekanisme ekonomi maupun nonekonomi.
Kebijakan itu antara lain, pertama, khilafah memastikan agar produksi domestik negara Khilafah tinggi dan bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya. Khilafah menetapkan larangan menyewakan lahan pertanian atau membiarkan lahan pertanian tidak dikelola lebih dari tiga tahun. Negara juga melarang praktik riba dalam perdagangan karena bisa merusak perekonomian. Negara akan memastikan industri kepemilikan umum tidak dikelola swasta, baik domestik atau asing.
Kedua, dengan tingkat produksi yang tinggi, terdistribusikannya barang dan jasa dengan baik di tengah-tengah rakyat. Negara turut mengawasi harga barang agar tidak bebas naik dan turun yang bisa memengaruhi daya beli masyarakat. Sehingga, petani, penjual, dan pembeli tidak mengalami kerugian dan seluruh kebutuhan pokoknya terpenuhi.
Inilah cara yang ditempuh Khilafah untuk menyejahterakan rakyat dengan mekanisme ekonomi yang jelas dan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat. Hal ini tak lain karena penerapan sistem ekonomi Islam bukan penerapan ekonomi kapitalisme yang hanya memikirkan keuntungan para kapitalis dan kepentingan penguasa. (*)
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi