Oleh: Uqie Nai
(Alumnus Branding for Writer 212)
INGIN merasakan suasana khusyuk di bulan mulia Ramadan sepertinya ‘jauh panggang dari api.’ Satu persatu pemberitaan dari mulai berita lokal hingga internasional memunculkan beragam rasa. Rasa geram, sedih, kecewa dan khawatir. Sebut saja berita tawuran remaja, prostitusi, kekejaman mayoritas terhadap muslim minoritas yang berpuasa, dan penyebaran virus yang tetap ada.
Satu lagi berita yang membuat geram dan marah umat Islam adalah datang dari Joseph Paul Zhang. Joseph dikenal sebagai youtuber yang belakangan viral karena pidatonya menistakan agama Islam dengan mengaku sebagai nabi ke-26, menghina Nabi Muhammad serta menghina Allah Swt. yang diunggahnya melalui akun youtube miliknya. Laknatullah alaih.
Dilansir dari fokusatu.com (18/4/2021), penistaan tersebut diunggah dalam sebuah forum diskusi zoom yang berdurasi sekitar tiga jam dua puluh menit. Tak hanya menistakan agama Islam, Joseph juga menantang untuk dilaporkan ke pihak kepolisian sebagai penista agama dan berjanji akan memberi sejumlah uang kepada siapa saja yang bisa melaporkannya.
“Kalo anda bisa laporan atas penistaan agama gua kasih loh satu juta maksimum lima laporan, supaya jangan bilang gua ngibul,” kata Joseph dalam video unggahannya Sabtu (17/4/2021).
Dalam unggahan yang diberi judul ‘Puasa Lalim Islam’ tersebut Joseph menghina Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut jika Allah sedang dikunci di Kabah hingga mengatakan bahwa umat Islam dibodoh-bodohi oleh ulamanya, salah satunya mengenai tindakan rudapaksa.
Liberalisme sebagai Akar Masalah Penistaan Berulang
Kasus penistaan yang terus berulang dan menjadi konsumsi publik, menunjukkan bahwa para pelaku semakin berani menantang kemarahan umat Islam hingga menyepelekan sanksi hukum yang ada.
Apa yang disampaikan Joseph Paul Zhang sama kejinya dengan apa yang diucapkan Presiden Prancis, Macron atau apa yang ditulis majalah Charlie Hebdo dan pelaku lainnya, karena mereka adalah produk dari liberalisme.
Liberalisme seakan menjadi jalan mulus bagi mereka yang ingin menampakkan kebencian serta kedengkian terhadap Islam. Hal ini dikondisikan oleh negara yang juga mengadopsi paham serupa. Sekalipun ada tindakan, hanyalah tindakan ala kadarnya tanpa berefek jera. Kecaman, bui dan denda misalnya, tak menyurutkan mereka untuk berhenti. Bahkan dengan mudah payung hukum bernama hak asasi manusia dijadikan dalih kebebasan mereka.
Setiapkali muncul penista agama, pejabat publik, ormas beserta umat Islam di seluruh dunia mengecam pelaku, meminta pemerintah setempat bertindak, ditangkap dan dihukum. Lalu apa yang terjadi kemudian? Pelaku meminta maaf, bebas dan tanpa penyesalan.
Fakta bermunculannya penista agama dengan ungkapan yang semakin keji dan kotor telah menegaskan bahwa pangkal masalah kebebasan berbicara dan berperilaku tersebut bersumber dari rahim yang sama, yakni kapitalisme sekuler. Hampir mayoritas dunia mengadopsi paham batil ini dalam sistem pemerintahannya. Jadi, mana mungkin kasus serupa tidak akan terulang? Akan ada berapa banyak lagi pelaku penista tanpa adanya sanksi tegas?
Memutus Pelaku Pencela dengan Terapkan Syariat dan Sanksi Tegas
Sejak bercokolnya paham kufur bernama kapitalisme di tengah umat Islam, satu persatu musuh-musuh agama Allah menampakkan aksinya tanpa ragu-ragu. Kaum muslim pun yang mendapati agamanya dihina, nabinya yang mulia dinista bahkan Allah Azza wa Jalla Sang Pencipta, Zat Mahasempurna direndahkan, hanya bisa mengecam dan menangis perih.
Kaum muslim tak punya tempat mengadu untuk mendapat keadilan selain hanya bisa bermunajat. Semoga sosok penjaga segera tiba. Bukan para pemimpin yang saat ini ada. Mereka, sebagai kepala negara muslim tak satu pun memiliki kemampuan menunjukkan kekuatan. Bahkan persatuan umat Islam kini telah tercerai-berai yang menyebabkan kuffar penjajah semakin berani menindas.
Secara umum, hukuman atas pelaku penghinaan atau penistaaan agama Islam, terhadap Nabi Muhammad saw. dan Allah Swt. adalah hukuman mati. Baik dilakukan secara langsung atau tidak langsung (lelucon), baik pelakunya muslim ataupun nonmuslim.
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah telah menjelaskan batasan tindakan orang yang menghujat Nabi Muhammad saw., yaitu kata-kata yang bertujuan meremehkan dan merendahkan martabat beliau, sebagaimana dipahami kebanyakan orang, terlepas perbedaan akidah mereka, termasuk melaknat dan menjelek-jelekkan (Lihat: Ibn Taimiyah, Ash-Sharim al- Maslul ala Syatimi ar-Rasul, I/563).
Menurut Khalil Ibn Ishaq al-Jundiy, ulama besar mazhab Maliki, siapa saja yang mencela Nabi saw., melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli dengan sifat yang bukan sifat beliau, menyebutkan kekurangan pada diri dan karakter beliau, merasa iri karena ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya, menisbatkan hal-hal yang tidak pantas kepada beliau, mencela, dll. Maka hukumannya adalah dibunuh (Lihat: Khalil Ibn Ishaq al-Jundiy, Mukhtashar al-Khalil, I/251).
Bagi umat Islam, hukum menghina Rasul saw. jelas haram. Pelakunya dinyatakan kafir. Hukumannya adalah hukuman mati. Meskipun Rasul pernah memaafkan Yahudi yang mencelanya, namun itu fase awal dakwah Islam dan kewenangan beliau-lah untuk memaafkan atau tidak. Sementara saat ini, kaum muslim tidak layak mewakili baginda Rasul untuk memaafkan pelaku penistaan.
Al-Qadhi Iyadh menuturkan, ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan seterusnya. Ibn Mundzir menyatakan, mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi saw. adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih dan Imam as-Syafi’i (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 428).
Pada zaman Nabi saw. ada seseorang yang amat marah kepada isterinya karena terus menerus menghina Nabi saw. Akhirnya, sang suami membunuh isterinya tersebut. Ketika kabar ini sampai kepada baginda Nabi saw. dan pria ini mengakui perbuatannya, beliau bersabda:
“Saksikanlah bahwa darah perempuan yang tertumpah itu sia-sia (tidak ada tuntutan).” (HR Abu Dawud)
Kerinduan akan datangnya bala bantuan, mengerahkan pasukan dan mengancam pelaku penistaan semakin menggelora manakala kisah peradaban gemilang beraksi nyata.
Pada masa Kekhilafahan Utsmani, pada akhir 1800-an, sultan Abdul Hamid II, pemimpin kuat terakhir Utsmani, mengetahui bahwa ada drama komedi tentang kehidupan Nabi Muhammad saw. yang dipertunjukan dalam sebuah teater di London, Inggris. Bagi Abdul Hamid II pertunjukan tersebut adalah bentuk penghinaan terhadap nabi yang mulia, Muhammad saw.
Tak berselang lama, Abdul Hamid menulis surat ultimatum kepada Inggris agar pertunjukan drama itu dihentikan segera sebelum memicu kemarahan kaum muslim. Inggris yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Sultan Abdul Hamid II mengetahui kepribadiannya. Sosok sentral yang diakui dunia. Dibelakangnya ada kekuatan besar yang siap syahid begitu komando diserukan. Ruh keimanan yang berkobar dalam jihad akan menggetarkan musuh di manapun mereka berada. Maka Inggris pun segera menghentikan drama tersebut.
Begitulah gambaran saat umat Islam ada dalam naungan institusi Islam. Pemimpinnya menjadi pelindung rakyat dan penjaga kemuliaan Islam. Inggris yang saat itu termasuk negara besar begitu takut dengan isi surat yang ditulis Abdul Hamid akan berwujud perang. Sementara kaum muslimin yang ada di bawah komandonya akan menjadi singa Allah di medan perang. Siap meluluhlantakkan bumi yang di dalamnya ada sosok penista.
Apa yang dilakukan Khalifah Abdul Hamid II adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai kepala negara. Ia berkewajiban memberikan rasa aman untuk kaum muslim dan nonmuslim yang ada dalam perlindungannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, untuk mengembalikan kewibawaan Islam dan pemeluknya, tidak cukup dengan wujud kerinduan, akan tetapi harus dibangun kesadaran berpikir umat secara menyeluruh agar institusi penerap syariat segera ditegakkan. Hanya ini satu-satunya solusi menggempur paham kapitalisme liberalis yang menjadi sumber penistaan terus berulang. Wallahu a’lam bi ash Shawwab. (*)
Catatan: Isi diluar tanggung jawab redaksi