Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Pendidikan Ramadan”)
SETIAP kita terutama sebagai umat Islam tentu sangat gembira dengan datangnya Ramadan. Ramadan 1442 H bertepatan pada akhir April dan Mei 2021. Walau kegembiraan kita diselingi oleh bencana non alam: Covid-19, kita tetap optimis bahwa Ramadan tahun ini bisa kita jadikan sebagai momentum untuk membenah diri kita dalam banyak hal, terutama dari dosa dan salah yang kerap kita lakukan. Baik yang kita lakukan secara sengaja maupun yang kita lakukan secara tidak sengaja.
Ya setiap kita pasti pernah melakukan dosa dan salah. Tak ada diantara kita yang suci bak malaikat seperti tak ada diantara kita yang kotor bak setan. Kita manusia biasa yang sangat mungkin melakuka dosa dan salah. Itu sudah kodrat kita sebagai manusia atau anak-cucu Adam. Namun, sedikit sekali manusia yang menyadari dosa dan menemukan kesalahan yang dilakukannya.
Betul kata pepatah, semut di seberang di lautan kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Padahal, kemampuan menyadari dosa dan mengetahui kesalahan pribadi adalah gerbang awal untuk melakukan perbaikan. Ibarat orang sakit, selama penyakitnya belum ditemukan, maka jangan berharap untuk bisa disembuhkan. Di sini kuncinya adalah sadar dan tahu diri.
Sayangnya, ketimbang menyadari dosa dan menemukan kesalahan sendiri, tidak sedikit orang yang membanggakan diri dan bahkan sok suci. Padahal, akibatnya sangat fatal, yakni melanggengkan diri dalam kesesatan dan kemaksiatan. Jangankan bertaubat menyucikan diri, alih-alih tenggelam dalam kubangan dosa dan salah. Astaghfirullah…
Dalam al-Quran surat al-Kahfi ayat 104-105 Allah berfirman, “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya (104); Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (105)”
Karena itu, ketika kelak Allah menyodorkan raport merah amalnya di dunia, kedua matanya akan terbelakak dan kagetan. Penyesalannya pun luar biasa. Bahkan kalau bisa, dia berharap bisa dihidupkan kembali ke dunia meski sedetik saja. Ada banyak ayat atau firman Allah yang membincang perihal ini dalam al-Quran.
Namun nasi sudah kepalang jadi bubur. Pintu taubat telah terkunci. Sebesar apapun penyesalan, sama sekali tidak akan berarti. Sementara itu ia menghadap gugatan Illahi, semua lidah kelu. Setiap mulut terkunci. Sedangkan seluruh anggota tubuh tampil menjadi saksi. Akhirnya, semua dakwaan pun tak terbantahkan. Kemudian vonis Allah atas nasib serta status hamba-hamba-Nya pun dijatuhkan.
Allah berfiman, “Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka Kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis), dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Agar tidak mengalami petaka tragis di depan pengadilan Allah, dalam al-Quran Allah mewanti-wanti kita atau manusia untuk senantiasa mengadili dirinya sendiri. Pengadilan pribadi inilah yang akan menyelamatkan manusia di hadapan pengadilan Illahi.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Berkenaan dengan pengadilan pribadi, sesuai dengan perintah tersebut, sahabat nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam Umar bin Khatab pernah menegaskan, Hendaklah kalian menghisab diri sebelum dihisab. Timbanglah diri sebelum ditimbang. Sungguh, orang yang ringan hisabnya pada hari Kiamat adalah kalian menghisab hari ini seolah-olah kalian menimbangnya pada hari yang agung.
Berbeda dengan Umar, Ibnu Qudama mengibaratkan muhasabah tersebut dengan perilaku seorang pedagang yang senantiasa menghitung untung-rugi. Karena menurutnya kehidupan dunia pada dasarnya ajang transksi antara manusia dengan Rabb-nya. Allah membeli segenap amal kebajikan, jiwa dan raga manusia dengan surga. Agar neraca perdagangan itu tidak merugi, maka kualitas kelayakan amal tersebut setiap saat mesti dievaluasi. Khawatir terlalu banyak ucapan dan perbuatan yang tak sesuai dengan standar yang ditetapkan Allah.
Secara umum kalau ditelisik paling tidak ada beberapa manfaat bila dilakukan muhasabah diri. Pertama, menyingkap aib dan kelemahan diri sendiri kita sendiri. Orang yang tidak mampu menyingkap aib diri sendiri, maka dengan sendirinya tidak akan mampu menghilangkannya. Sekiranya merasa tak mampu melakukannya, bisa dilakukan dengan meminta bantuan orang lain untuk menunjukkannya.
Berkenan dengan hal tersebut agaknya Umar bin Khatab adalah teladannya. Beliau sendiri adalah sahabat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dikenal tegas dan tak kenal kompromi. Namun untuk hal nasehat dan memperbaiki diri, beliau patut kita tiru. “Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang menunjukkan kepadaku aib-aibku!”, begitu ungkap Umar bin Khatab.
Kedua, mengetahui hak-hak Allah. Pengetahuan ini akan menyadarkan kita bahwa selama ini betapa banyak hak-hak Allah alias kewajiban kita yang belum kita penuhi. Betap banyak nikmat Allah yang kerap kita ingkari ketimbang kita syukuri. Setelah itu, timbullah penyesalan dan ketulusan untuk bertaubat. Dan terbukalah pintu ketaatan, ketundukan, dan harapan yang besar atas rahmat dan ampunan Allah.
Ketiga, terbukanya peluang untuk memperbaiki hubungan diantara sesama manusia. Perusak utama keharmonisan hubungan diantara sesama manusia adalah sikap egois seperti merasa menang atau benar sendiri. Egoisme inilah yang membatasi kita untuk melihat kesalahan diri kita sendiri, alih-alih menyibukkan diri mencari kesalahan orang lain.
Melalui muhasabah kita dituntun untuk melihat kesalahan-kesalahan diri kita secara jujur dan lapang dada. Sikap seperti ini adalah kunci pembuka hubungan antara sesama kita hingga lebih mesra. Tumbuhlah bibit-bibit persaudaraan dan menyingkirkan segala dendam kesumat juga kedengkian yang memang tak perlu.
Keempat, melepaskan diri dari sifat-sifat nifak. Biasanya, untuk menutupi rasa gengsi, orang yang bersalah selalu membela diri. Padahal nuraninya memberontak sakit. Itulah sifat nifak yang sesungguhnya. Ya dengan menghisab diri sendiri, kita akan terdorong untuk menyelaraskan ucapan dan perbuatan. Sehingga kita tak menjadi manusia yang bermuka dua alias munafik.
Mengingat hikmahnya begitu kaya, maka setiap kita mesti menyempatkan diri untuk menggelar pengadilan diri atau pribadi, melakukan muhasabah atau instropeksi diri. Upaya tersebut akan menjauhkan kita dari sikap sombong dan rasa benar sendiri. Sehingga, setiap kesalahan secara ksatria akan langsung diakui dan diperbaiki, terutama oleh diri kita sendiri.
Dengan demikian, terhindarlah kita dari watak setan yang setiap melakukan kesalahan selalu mencari kambing hitam alias menyalahkan orang lain sebagai biang atau penyebab. Akibatnya, makin lama makin ada perbaikan; bukan tersesat atau makin jauh menyimpang dari kebenaran yang sangat kita rindukan.
Walau dilanda bencana non alam berupa Covid-19 yang konon telah melayangkan banyak nyawa manusia di seluruh dunia, Ramadan 1442 yang bertepatan dengan April-Mei 2021 kali ini adalah momentum terbaik bagi kita untuk terus menerus mengevaluasi diri. Tak ada alasan untuk tidak mengevaluasi diri. Justru kondisi semacam ini adalah monemtum terbaik untuk melakukan sebanyak mungkin evaluasi diri.
Ya, menjadi pengadilan awal bagi kita. Bangun kesadaran penuh bahwa kita adalah manusia biasa yang mungkin terjebak dalam dosa dan salah. Dan, sebaik-baik pendosa dan penyalah adalah yang bertaubat dan memohon ampun kepada Allah serta memohon maaf kepada sesama manusia. Mudah-mudahan Allah selalu membimbing dan memberkahi usaha kita dalam membenahi diri secara jujur dan apa adanya. (*)