Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Membaca Politik Dari Titik Nol”)
DANA Desa adalah sebuah kebijakan anggaran negara yang diperuntukkan secara khusus untuk pembangunan Desa. Memang, butuh ‘modal’ besar untuk itu. Total dana desa yang dikucurkan dalam periode lima tahun (2015-2019) saja misalnya mencapai Rp 257 triliun dengan jumlah alokasi tiap tahun yang selalu ditingkatkan.
Pada tahun 2015 alokasi Dana Desa mencapai Rp 20,7 triliun. Anggaran dana desa dari tahun ke tahun terus meningkat sekian kali lipat. Saya tidak tahu pasti berapa alokasinya untuk tahun 2020 dan 2021. Silahkan cek sendiri di berbagai lembaga atau website resmi kementrian terkait.
Jumlah anggaran yang besar tentu saja mencerminkan sebuah keberpihakan yang maksimal, dan terbukti keberpihakan itu tidak salah arah. Pengucuran dana desa telah menjejakkan hasil yang nyata dalam mendongkrak perekonomian desa dan warga. Hingga beberapa tahun ini, terbangun hampir 1 juta unit sarana air bersih, lebih dari 158.000 kilometer jalan desa, jembatan, irigasi, embung, dan puluhan ribu PAUD, polindes, serta posyandu.
Dana desa juga banyak melahirkan kewirausahaan masyarakat desa dengan bentuk produk pangan hingga ekowisata. Hasil-hasil pencapaian yang sudah terkonfirmasi tersebut kiranya akan menjadi bantahan telak bagi sejumlah kritik yang menyebut penyaluran dana desa selama ini hanya membebani keuangan negara tanpa hasil nyata.
Hanya saja kritik pedas perlu didengar agar para pengguna dana yang tergolong besar terebut tidak “menangis” belakangan gegara terlibat kasus korupsi atau dipenjara. Sebab dalam banyak kasus, ada yang menyesal dan menyalahkan para pengkritik mengapa tak menyampaikan sejak awal. Padahal sudah diingatkan jauh-jauh hari. Tapi ya begitulah, namanya serakah, selalu tergiur dan ingin mengambil jatah haram dengan cara yang juga haram alias melanggar hukum.
Dulu, negeri ini tekun merawat ketimpangan sosial dengan pola pembangunan ekonomi yang cenderung berpihak ke perkotaan. Perdesaan, apalagi yang berada di luar Pulau Jawa, hampir tak tersentuh tangan-tangan pembangunan. Di saat ekonomi kota bersolek, desa justru terus-menerus tampil sebagai potret buram kemiskinan.
Di desa, kemiskinan diwariskan turun temurun karena minimnya keberpihakan negara dan nihilnya anggaran untuk menggerakkan perekonomian desa. Rakyat desa dibiarkan tanpa inisiatif karena seluruh inisiatif datang dan digerakkan dari atas. Akibatnya, penataan ekonomi di Indonesia menjadi berantakan dengan ketidakmerataan yang luar biasa dan nyata di berbagai tempat.
Belakangan Desa sudah bisa meningkatkan pembangunan yang berdampak pada berdayanya ekonomi masyarakat. Produktifitas Desa pun berdampak pada menurunnya angka pengangguran. Warga masyarakat yang tergolong usia produktif yang dulunya menjadi bagian dari masalah kini menjadi pembawa solusi. Walau tak seluruhnya, namun ada dampak baik dari pengelolaan Dana Desa yang produktif. Sehingga diharapkan memberi dampak positif yang berkelanjutan.
Paradigma itu mulai bergeser ketika dana desa hadir dan digulirkan. Ada perubahan dari pemerintah dalam cara memandang perdesaan. Desa tak lagi hanya dianggap sebagai pelengkap geografis, tapi mulai diperlakukan selayaknya pilar kekuatan ekonomi nasional. Pelan-pelan desa diberdayakan. Infrastruktur ekonomi perdesaan diperbaiki. Potensi dan inisiatif desa dioptimalkan.
Namun, itu bukan berarti pemerintah boleh besar kepala, lalu tak memberi perhatian serius pada penyalahgunaan Dana Desa. Harus diakui, masih ada kebocoran kecil di sana-sini dari pengalokasian Dana Desa. Justru itulah pekerjaan rumah paling berat pemerintah saat ini, pengawasan dan evaluasi. Anggaran kecil saja mesti diawasi betul penggunaan dan pemanfaatannya, apalagi ini dana mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Atau rerata sekitar Rp 1 milyaran per tahunnya.
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah kajian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengindentifikasi empat celah penyelewengan dana desa di Indonesia. Keempat celah itu terdapat pada regulasi, tata laksana, pengawasan serta kualitas, dan integritas SDM yang mengurus dana desa. Poin-poin itulah setidaknya yang bisa menjadi pijakan pemerintah dalam mengawasi penggunaan dana desa.
Selain itu, perlu dipastikan pula bahwa perputaran Dana Desa itu tetap berada di wilayah perdesaan. Jangan sampai desa hanya jadi tempat singgah Dana Desa, tetapi sesaat kemudian menguap lagi ke kota. Jika itu bisa dilakukan, Dana Desa tak hanya akan menjadi solusi mengatasi kemiskinan perdesaan dan meminimalkan ketimpangan. Ketika efektivitasnya terjaga, Dana Desa bakal menjadi instrumen pencegah urbanisasi dari desa ke perkotaan yang hingga kini masih terjadi.
Dana Desa begitu besar, mesti berdampak bagi pembangunan Desa. Jangan sampai Dana Desa tidak berdampak apa-apa. Jangan sampai kondisi Desa begitu-begitu saja. Pembangunan sekaligus kondisi infrastruktur Desa mesti terlihat ada perubahan. Bahkan kegiatan yang menggerakkan ekonomi masyarakat Desa pun mesti terlihat. Bila tidak, maka bisa diduga ada penyelewengan Dana Desa.
Naifnya, di beberapa tempat dan momentum, suara kritik masyarakat dan elemen civil society dianggap angin lalu. Bahkan dianggap “sok suci” oleh Kepala Desa dan perangkat Desa juga mereka yang tidak paham UU Desa. Padahal faktanya Dana Desa memang sangat tidak produktif bagi keberlanjutan pembangunan dan kemajuan Desa. Kebutuhan primer masyarakat terkait pengembangan ekonomi pun nyaris tak disentuh.
Bila kondisi Desa begitu-begitu saja maka bisa diduga dengan kuat bahwa Dana Desa tidak produktif bahkan bisa diduga digunakan untuk kepentingan oknum tertentu. Ini adalah momentum bagi penegak hukum terutama KPK untuk menelisik lebih jauh Dana Desa dari berbagai sisinya. Penggunaan Dana Desa yang menyimpang adalah biang terhambatnya laju pembangunan Desa.
Padahal Dana Desa diperuntukkan bagi kebutuhan pembangunan Desa. Sektor ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur adalah diantara aspek yang sangat terkait dengan Dana Desa. Dana Desa adalah darah sekaligus nyawa kemajuan Desa. Bila disalahgunakan maka Dana Desa berubah menjadi dana dosa.
Dana Desa dengan jumlah yang cukup besar per tahunnya sejatinya dapat dimanfaatkan dengan baik. Alokasinya bisa diperuntukkan bagi kebutuhan yang juga produktif dan berdampak jangka panjang. Seperti penguatan Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes, pengaspalan jalan, pengadaan air minum bersih dan masih banyak lagi.
Dana Desa sama sekali bukan untuk kepentingan Kepala Desa atau aparat Desa yang bersifat personal. Kecuali yang memang ditentukan UU Desa dan atau aturan lainnya untuk itu. Dana Desa bukan dana bisnis Kepala Desa dan aparaturnya. Dana Desa bukan bank pinjam bagi Kepala Desa dan keluarganya untuk kepentingan jangka pendek dan sesaat. Dana Desa adalah dana umum atau masyarakat. Dana Desa bukan sumber korupsi baru Kepala Desa dan komplotannya.
Bila Dana Desa malah disalahgunakan maka ini adalah alarm bagi Kepala Desa dan aparaturnya. Mungkin saat ini aman-aman saja, tapi suatu saat bakal terkena atau terjerat hukum. Penjara menanti para Kepala Desa dan siapapun yang terlibat dalam penyalahgunaan Dana Desa.
Peringatan semacam ini memang terlihat sepele, namun menyepelekan hal-hal yang sederhana semacam ini adalah bagian awal dari jebakan hukum. Semoga Dana Desa tak berubah menjadi dana dosa. Saya sekadar warga biasa, belajar menyampaikan pendapat sekaligus mengingatkan sesama anak bangsa. Sebab yang dipenjara gegara tak menghiraukan kritik dan nasehat sesama pun sudah banyak. Tidak ingin mendekam di penjara kan? (*)