Oleh: Irma Faryanti
(Member Akademi Menulis Kreatif)
MENDUNG hitam kembali menyelimuti suasana hati jemaah haji Indonesia. Karena untuk kedua kalinya niat mereka untuk beribadah haji urung terlaksana. Pemerintah Arab Saudi kembali menutup akses bagi jemaah internasional dan hanya menggelar ibadah haji bagi jemaah domestik seperti penduduk lokal dan para ekspatriat yang telah berada di negara tersebut. Adapun alasan yang mendasarinya adalah dikarenakan tren penularan virus Corona masih tinggi.
Dalam pesan singkatnya, Duta Besar RI untuk Saudi, Agus Maftuh Abegebriel menyatakan bahwa tahun ini tidak ada haji internasional. Hanya jemaah domestik yang diperkenankan, itu pun jumlahnya dibatasi yaitu maksimal 60 ribu jemaah dengan usia 18 hingga 65 tahun yang telah mendapatkan vaksin Corona. (CNNIndonesia.com Sabtu 12 Juni 2021)
Pemerintah Saudi telah melakukan pembatasan ibadah haji hanya untuk penduduk asli dan warga asing yang berada di sana sejak 2020. Hal ini dimaksudkan untuk meredam penularan virus Corona. Pemerintah Indonesia juga sudah kedua kalinya memutuskan untuk tidak mengirim jemaah haji dengan pertimbangan yang sama.
Pembatalan haji oleh pihak kerajaan Saudi bukan kali ini saja terjadi, bahkan kejadian serupa pernah berlangsung beberapa kali. Menurut data “the Saudi King Abdul Aziz Foundation for Research and Archives” ibadah haji pernah 40 kali ditiadakan dalam sejarah peradaban manusia. Adapun alasan pembatalan dikarenakan berbagai faktor seperti: wabah penyakit, konflik, aktivitas bandit, perampok, dan alasan lainnya. (Suara.com 3 Juni 2020)
Tidak dipungkiri, semakin hari penyebaran wabah semakin menjadi. Penanganan yang tidak tepat kembali menjadi biang keladi. Khususnya di negeri ini, andai saja sejak awal rantai penyebaran virus dihentikan dengan lockdown, mungkin tidak akan meluas separah ini. Namun sayangnya penguasa masih mempertimbangkan untung rugi dan mengabaikan keselamatan negeri, tindakan lockdown dianggap sebagai hal yang bisa merugikan perekonomian negara. Mal, pasar, tempat wisata dibiarkan beroperasi seperti biasa, tanpa ada jaminan keamanan bagi kesehatan masyarakat.
Kebutuhan masyarakat di tengah wabah yang seharusnya menjadi tanggung jawab penguasa sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Mereka dibiarkan mengais rejeki di tengah ancaman bahaya pandemi. Hal ini diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan sehingga penyebaran semakin susah dikendalikan. Inilah yang menjadi kendala utama hingga rukun Islam yang kelima harus urung terlaksana.
Haji adalah ibadah yang hukumnya fardhu bagi setiap muslim yang mampu (istitha’ah). Mampu secara fisik dan berada dalam kondisi sehat, agar dapat melaksanakan rukun haji dengan sempurna. Juga mampu secara harta agar dapat berangkat ke tanah suci, memiliki bekal selama melaksanakan ibadah dan meninggalkan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan.
Syariat Islam telah menetapkan bahwa seorang penguasa/imam berkewajiban mengurus pelaksanaan dan keperluan jemaah haji. Mengingat kedudukan seorang penguasa adalah mengurusi urusan rakyatnya. Sebagaimana diungkap dalam sebuah hadis:
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al Bukhari)
Sejarah mencatat besarnya perhatian dan pelayanan seorang penguasa muslim kepada para jemaah haji. Sebagai tamu Allah mereka dilayani dengan baik tanpa ada embel-embel bisnis, investasi ataupun meraup keuntungan. Karena adanya kesadaran bahwa semua itu adalah sebuah kewajiban.
Contoh pelayanan penguasa terhadap ibadah haji yang paling masyhur adalah pada masa kepemimpinan Khalifah Harun ar Rasyid yang pernah mengirim 300 rakyatnya untuk pergi haji. Seluruh biaya pembelanjaan barang dari mulai pakaian dan perlengkapan haji lainnya ditanggung oleh Khalifah. Bekal yang diberikan pun melimpah dengan harga yang tidak murah. Sebuah teladan kepemimpinan yang seharusnya dicontoh oleh para penguasa akhir zaman.
Berbeda dengan kondisi normal pada umumnya, pelaksanaan haji pada masa pandemi membutuhkan penanganan khusus. Ibadah haji masih bisa tetap dilaksanakan dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, mengawasi ketat pelaksanaan protokol kesehatan selama pelaksanaan haji, memberikan vaksin bagi para jemaah, serta menyediakan sarana kesehatan dan tenaga medis yang memadai.
Jadi solusinya bukan menutup pelaksanaan ibadah haji, karena itu berarti telah manghalangi jemaah yang hendak beribadah ke Baitullah. Akan tetapi yang bisa dilakukan adalah ikhtiar penghentian penyebaran dengan melakukan 3 T (testing, tracing dan treatment) yaitu pengetesan, pelacakan dan perlakuan. Jemaah yang terbukti sakit akan dirawat hingga sembuh dan yang sehat akan diizinkan melaksanakan ibadah haji.
Ibadah haji tidak bisa dilepaskan dari pengurusan seorang penguasa karena terkait dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan untuk tujuan komersil atau sekedar mencari keuntungan. Sayangnya, saat ini ibadah haji harus diserahkan pengurusannya pada negara masing-masing akibat tidak adanya kesatuan kepemimpinan. Sehingga yang terjadi adalah konflik kepentingan bukan persatuan dan kesatuan umat Islam.
Di bawah kepemimpinan Islam, seorang penguasa muslim akan melayani tamu-tamu Allah sesuai dengan tuntunan syariat Islam agar pelaksanaan haji bisa terlaksana sempurna tanpa adanya kendala walaupun di tengah wabah yang mendera.
Wallahu a’lam Bishawwab
Catatan: Isi di luar tanggung jawab redaksi