Oleh: Salma Rufaidah, S.Sos
(Pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandunh)
MASYARAKAT terus dibuat resah dan gelisah. Jauh dari ketenangan dan kenyamanan. Saat berita penambahan penderita Covid 19 semakin meningkat, kegelisahan semakin bertambah setelah pemerintah mengumumkan rencana kenaikan pajak pendidikan dan sembako. Beban hidup yang semakin berat bukannya dikurangi tapi malah ditambah dengan varian baru. Tak ayal membuat hal ini membuat geram banyak pihak.
Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta khususnya kepada Kementrian Keuangan untuk tidak mengenakan pajak pendidikan dan harga sembako karena akan menyebabkan kenaikan harga dan menyebabkan kenaikan inflasi.(antaranews.com).
Namun hal tersebut ditanggapi pemerintah melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draf tersebut merupakan wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini.
Dalam keterangan lainnya, akun @FaktaKeuangan meluruskan bahwa pendapat pajak mencekik rakyat tidaklah benar. Ia menegaskan bahwa menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong.Menurutnya, yang mampu membayar pajak, namun kontribusinya rendah, bisa semakin disiplin pajak untuk membantu mereka yang kurang mampu atau rakyat kecil. (www.cnnindonesia.com).
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan sebelumnya dari Menteri Keuangan. Ia menyatakan pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tujuannya agar dapat menaikkan pendapatan negara sehingga diharapkan target pajak pemerintah tercapai dengan perkiraan tumbuh di akhir tahun 2021 sekitar 8,37 persen,. https://ekonomi.bisnis.com/
Berkaca dari hal tersebut, bila utang dan pajak menjadi tumpuan APBN, maka ujungnya akan berpengaruh terhadap rapuhnya kedaulatan bangsa. Mengapa? Utang yang tinggi akan mengguncang perekonomian nasional. Apalagi di saat pandemi ini, pajak akan semakin menekan masyarakat ke bawah. Ironisnya pada saat yang sama, mereka dilukai kebijakan relaksasi pajak bagi barang mewah..Dunia sudah terbalik!
Pajak dalam sistem ekonomi selain Islam merupakan salah satu urat nadi (lifeblood) pendapatan negara. Seorang pakar ekonomi menyatakan bahwa negara yang menjadi objek penerapan ekonomi kapitalis, pajak hanya dijadikan alat eksploitasi negara terhadap rakyat. Hasil pajak digunakan untuk membayar utang negara, bukan kembali kepada rakyat. Sehingga tak heran bila berbagai pungutan/ pajak begitu gencar dilakukan , sekalipun itu pada warga miskin
Bagaimana pandangan sistem ekonomi Islam mengenai pajak?
Sistem pemerintahan Islam, sangat luar biasa dalam pengelolaan harta. APBN akan diatur sehingga kaum muslimin memperoleh haknya, terlepas ada atau tidaknya kebutuhan.
Ada 9 sumber pendapatan negara yang tetap dan masuk ke baitul mal, yaitu (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad.
Sedangkan sumber pendapatan yang tidak tetap, artinya pendapatan ini bila dibutuhkan akan menjadi fardhu kifayah bagi kaum muslimin dan terbatas hanya kebutuhan yang insidental saja atau tidak rutin.
Aturan Islam menetapkan adanya kewajiban dan pos yang harus berjalan dari dana baitul mal. Namun bila kas tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi dharar bagi seluruh kaum Muslim.
Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak/ dharibah. Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk menutupinya.
Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal, adalah: biaya jihad, biaya industri perang ( termasuk industri dan pabrik yang dibutuhkan, agar bisa memproduksi alutsista yang diperlukan), pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibn sabil, tetapi jika di Baitul Mal, dana dari pos zakat tidak ada, maka kewajiban tersebut wajib dipikul oleh kaum muslim, melalui instrumen pajak dan bersifat insidental.
Pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru, dan semua pihak yang memberikan pengabdian kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum Muslim, biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air dan sebagainya, jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama biaya penanggulangan bencana alam, kecelakaan dan sejenisnya, maka, instrumen pajak bisa digunakan untuk membiayai penanggulangan bencana alam, kecelakaan, dan sebagainya, bila baitul mal mengalami kekosongan.
Inilah kewajiban dan pos yang wajib dibiayai oleh kaum Muslim, baik ketika ada maupun tidak ada dana di Baitul Mal. Maka, ini merupakan kewajiban dan pos yang bisa dibiayai melalui instrumen pajak, meski bersifat incidental
Islam memiliki keunggulan tersendiri dibanding aturan lain. Kewajiban pajak hanya diambil dari kaum muslim yang mampu saja. Bila ada kaum muslim yang mempunyai kelebihan harta setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak.
Dalam sistem Islam, khilafah tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan untuk masyarakat, seperti biaya keamanan, pendidikan dan kesehatan. Bahkan dalam pembuatan SIM, KTP, KK dan sebagainya. Hal itu semua karena tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam pemerintahan Islam, rakyat bukanlah hisapan darah yang tak pernah henti seperti kapitalis. Tapi obyek yang mendapatkan prioritas dalam pemenuhan kebutuhannya. Dalam literatur diungkapkan Ibnu kholdun bahwa tanda-tanda kehancuran negara bila pajak terus semakin besar dipungut.
Ini tidak akan terjadi bila negeri yang kita cintai ini menerapkan aturan Islam yang akan membawa kondisi penuh berkah di dunia dengan segala isinya. Wallahu ‘alam
Catatan: Isi di luar tanggung jawab redaksi.