Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Membaca Politik Dari Titik Nol”)
POLITIK selalu menarik untuk diperbincangkan. Apalah lagi membincang tingkah laku dan aksi politik para politisi, selalu tergoda untuk membincangkannya. Politisi pun bagai artis, bahkan artis kalah pamor, gegara berbagai media lebih aktif memberitakan para politisi dalam segala seginya.
Diantara berita yang kerap dinisbatkan kepada politisi adalah keterlibatan sebagian mereka pada kasus-kasus pelanggaran hukum terutama kasus korupsi APBN dan APBD. Tak semua memang, namun gegara sebagian itulah yang membuat publik kerap dibikin geram dan marah.
Lagi-lagi, para politisi juga partai politik dimana mereka bernaung pun kerap menjadi tema perbincangan publik. Dalam konteks demokrasi, hal semacam itu sangat wajar saja. Itu menunjukkan bahwa kran kebebasan berpendapat ternyata dibuka lebar. Dan, itu juga berarti warga negara sudah memiliki sensitifitas pada urusan yang layak mereka ketahui.
Hanya saja, bila berita perihal politisi yang tersangkut korupsi semakin banyak, itu pertanda ada yang perlu dibenahi dalam politik kita. Politisi yang terpapar kasus korupsi bukan saja merusak citra partai politik dimana dia berasal, tapi juga citra politik di hadapan publik yang semakin buruk.
Sehingga para politisi yang demikian itu bisa dikatakan kehilangan rasa cinta pada diri juga sesama warga negara. Padahal cintalah yang mendorong nurani politisi untuk menyampaikan dan memenuhi janji-janji politik serta melayani publik ketika kelak menjabat. Dengan begitu, politik akan semakin hambar bila politisi kehilangan ruh cinta. Aksi politik para politisi pun tak menarik lagi untuk disaksikan.
Rupanya H. Zaenal Muttaqin, sosok pengusaha muda yang muncul di berbagai berita media beberapa waktu terakhir, paham betul betapa rasa cinta pada diri sendiri dan sesama warga negara itu adalah modal penting dalam berpolitik. Ia seperti paham betul bahwa dengan cinta maka ikhtiarnya untuk terjun di Pilkada Kota Cirebon mendatang bakal mendapat dukungan banyak warga Kota Cirebon.
“Saya akan terus terjun bertemu warga, menemukan apa yang mungkin mereka butuhkan, lalu dibantu semampu saya. Ikhtiar saya adalah berbagi pada sesama,” ungkap sosok yang akrab disapa HMZ ini.
Dari tradisi kepemimpinan Amerika Serikat, kita mengenal ungkapan menggugah, inspiratif dan sangat jenial pemimpin terkenal negara itu, Jhon F. Kenedy. Beliau pernah mengatakan, “Jangan bertanya apa yang diberikan negara kepadamu, tapi bertanyalah apa yang kamu berikan untuk negaramu?”
Secara sederhana Kenedy hendak mengisyaratkan bagaimana selayaknya politisi menunaikan perannya dalam melaksanakan kehendak sekaligus mandat publik. Dalam konteks masa-masa menjelang Pilkada, sudah saatnya politisi untuk fokus dengan agenda-agenda yang mungkin dilakukan ke depan.
Walaupun hal ini terkategori janji politik, hal ini justru sebagai upaya sederhana dan awal dalam mengenalkan diri ke ruang publik. Sebab mengenalkan diri itu bukan saja nama dan profesi, tapi juga hal-hal yang terkait kontestasi konten: visi-misi dan program kerja yang ditawarkan.
Bagi mereka yang sudah mendapat amanah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Cirebon, misalnya, lebih baik fokus dengan tugas dan fungsinya sebagai lidah rakyat dengan tanggungjawab konstitusional sebagai pelaku di lembaga: legislasi, penganggaran dan pengawasan atas lembaga eksekutif, dalam hal ini pemerintah kota (Pemkot) Cirebon. Apalah lagi mereka yang baru menjabat di lembaga legislatif daerah, akan lebih elok bila mereka fokus memenuhi janji politik pada masa Pileg (17 April 2019) silam di era ini dan ke depan. Minimal satu periode ke depan, hingga pada Pilkada mendatang.
Maknanya, DPRD Kota Cirebon mesti menepikan kerja dan kinerja yang mengarah kepada kepentingan pribadi dan golongan, sebab ada tugas lebih besar yang mestinya dijejakkan : melaksanakan secara tulus tugas dan wewenang yang dititipkan publik pada Pileg lalu yaitu menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan.
Mengafirmasi Kenedy, politisi terutama yang kini sedang menjabat selayaknya hanya fokus pada pernyataan ini : saya mesti melakukan sesuatu untuk kepentingan publik tercinta. Itulah praktik terbaik sebagai bukti cinta pada amanah publik, dalam hal ini mandat warga Kota Cirebon pada Pileg 2019 lalu.
Lebih mendalam dari Kenedy, pemimpin terkenal dalam garisan sejarah umat manusia lintas peradaban, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah menarasikan makna terdalam sebuah kepemimpinan atau mandat publik dengan ungkapan beliau, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.”
Menyaksikan berbagai perhelatan demokrasi terutama pengalaman berbagai Pilkada yang sudah berlalu di banyak daerah (propinsi, kabupaten dan kota) beberapa tahun lalu (2010, 2015, 2017 dan 2018), dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya, mengharuskan kita untuk bertanya, masih adakah cinta dalam politik kita?
Dalam politik, kata Arvan Pradiansyah (2009), satu hal yang kita butuhkan, lebih-lebih jika menyaksikan fenomena elite politik sekaligus warga negara secara umum akhir-akhir ini, adalah cinta. Apa yang diungkap oleh penulis buku “Kalau Mau Jadi Bahagia, Jangan Jadi Politisi” tersebut tentu sangat tepat dan tentu perlu kita tagih secara terus menerus kepada para politisi kini dan ke depan.
Tirani, adalah momok atau praktik politik tiranik alias ketidakadilan dalam sejarah manusia yang selalu berkoalisi dengan politisi yang kehilangan cinta. Tapi momok semacam ini tetap bisa dilawan. Kekuatan yang bisa melawannya adalah cinta (love). Cinta adalah kutub jiwa yang berlawanan dengan tirani. Ia lahir dari respek dan penghargaan atau keadilan kepada publik.
Manakala kekuasaan mendapatkan sentuhan cinta, wajahnya segera berubah : gurat-gurat kekejaman, culas dan manipulasi segera berganti jadi garis-garis semangat hingga kerentaan dari politisi yang lelah mengayomi dan melayani rakyatnya.
Jika cinta adalah tindakan memberi, maka dari sanalah datangnya semua kebajikan dalam diri para politisi: mendengar, memperhatikan, menelisik, peduli, simpati, empati dan selanjutnya bila kelak mendapat mandat publik untuk memimpin mereka juga mesti meneguhkan kerja untuk melayani, memberi, melindungi dan menyejahterakan.
Jadi, hanya dalam genggaman cintalah arogansi politisi bisa berubah jadi alat untuk meghadirkan kedamaian dan kesejahteraan publik. Di sana sang “Aku” bukan lagi kuda liar yang setiap saat bisa melompat dari kandang dengan energi kekuasaan dan hegemoni kepentingan kelompok politik tertentu.
Jika sebagai warga Kota Cirebon kita sudah memiliki cinta, maka saat ini dan ke depan kita punya kesempatan dan tugas sejarah untuk menagih secara tulus dan masif kepada para politisi yang hebat-hebat itu: mana cintamu?
Secara khusus, kita berharap agar HZM yang sudah mempraktikkan politik cinta pada ranah praktis dalam bentuk aksi sosial dalam beragam bentuknya, seperti bakti sosial, menebar bantuan, silaturahim pada sesama dan sebagainya, selama ini, terus meningkatkan kualitas cintanya. Ikhtiar berbagi pada sesama adalah wujud cinta yang paling sederhana namun berdampak luas. Sungguh, politik di Kota Cirebon butuh sentuhan cinta semacam itu. Ya, warga Kota Cirebon sejatinya butuh sentuhan cinta. (*)