Oleh: Ummi Nissa
(Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga)
TIDAK dapat dimungkiri bahwa dampak pandemi mengakibatkan lemahnya sektor ekonomi. Hal ini dirasakan terutama oleh masyarakat kelas bawah. Ditambah penanganan pengendalian wabah yang cenderung tidak berpihak bagi rakyat kecil menunjukkan gagalnya pemerintah dalam memenuhi rasa keadilan.
Sebagaimana yang dikabarkan beberapa hari terakhir bahwa Komisi VI DPR RI menyetujui pemerintah untuk memberikan suntikan modal baru dengan skema Penyertaan Modal Negara (PMN). Kebijakan ini diusulkan oleh Menteri BUMN, Erick Thohir sebesar Rp72,449 triliun.
Persetujuan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VI, Aria Bima. Ia pun menambahkan bahwa pembahasan lebih lanjut akan dilakukan pada masa sidang setelah Nota Keuangan Tahun Anggaran 2022 disampaikan oleh Presiden RI pada Rapat Paripurna. (tribunnews.com, 14/7/2021)
Skema suntikan dana untuk perusahaan plat merah sungguh telah menyakiti hati rakyat kecil. Di tengah pandemi yang masih berkecamuk, masyarakat miskin pun menjerit memohon uluran bantuan demi menyambung hidup. Akan tetapi di sisi lain pemerintah justru lebih memilih menggelontorkan dana bagi 12 perusahaan negara di berbagai sektor.
Meskipun negara telah mengalokasikan dana untuk bantuan sosial yang dianggap sebagai bentuk kepeduliannya terhadap rakyat, tetapi kenyataanya masih belum mampu memenuhi rasa keadilan. Masih banyak rakyat yang belum mendapatkan bantuan karena tersandung masalah administrasi. Belum lagi banyak di antara yang terpapar virus harus kehilangan nyawa setelah bergelut dengan problem minimnya alat kesehatan. Juga tak sedikit di antara yang sedang isoman (isolasi mandiri) meregang nyawa sebab luput dari perhatian.
Anggaran negara yang dialokasikan untuk menambah modal perusahaan BUMN jelas tidak ada kaitannya dengan penanganan dampak Covid-19, sehingga tidak efektif untuk mengatasi pandemi. Semestinya anggaran bantuan sosial diperluas jangkauannya bagi seluruh rakyat yang membutuhkan terutama yang terdampak wabah, bukan hanya yang terdata oleh DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), tetapi juga rakyat yang membutuhkan layanan kesehatan dimana saat ini lebih membutuhkan.
Inilah realitas negeri yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis sekuler. Kebijakan penguasa senantiasa berpihak pada konglomerat yang memiliki modal besar. Cenderung abai terhadap rakyat kecil.
Dalam sistem ini yang mampu bertahan hidup adalah mereka yang kuat secara materi (kaya). Sementara rakyat kecil dan lemah materinya (miskin) semakin sulit. Tidak salah jika ada ungkapan yang kaya semakin kaya sementara yang miskin semakin miskin.
Kondisi tersebut disebabkan aturan dalam sistem kapitalis sekuler memisahan nilai-nilai agama dari urusan kehidupan. Akibatnya kebijakan yang dikeluarkan penguasa dibuat berdasarkan kepentingan segelintir orang yang memiliki kekayaan (modal). Sehingga saat menilai sebuah aturan itu baik dan buruk hanya menggunakan kacamata kepentingan manusia.
Sebagai makhluk tentunya memiliki sifat terbatas dan serba kurang, manusia cenderung berubah-ubah dalam membuat aturan. Sebab tidak mengetahui hakikat yang baik untuk dirinya sendiri. Terkadang memandang sesuatu itu baik hanya karena manfaat materi semata. Sebaliknya memandang sesuatu itu buruk karena tidak bermanfaat. Inilah karakter manusia yang serba kurang.
Hal ini berbeda dengan aturan Islam. Sebagai agama yang sempurna Islam mengatur urusan kehidupan manusia secara adil dan menyeluruh, mulai dari akidah, ibadah, ekonomi (muamalah), hukum, sampai pemerintahan. Semua aturannya bersumber dari Allah Swt. yang Maha Mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk bagi makhluknya. Sebagaimana firman Allah Swt.:
“…Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Dalam sistem Islam negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara merata individu per individu. Baik rakyat yang ekonominya cukup, terlebih rakyat kecil yang ekonominya pas-pasan. Jangan sampai terjadi nyawa melayang akibat tidak terpenuhi kebutuhan. Negara wajib menjamin seluruh kebutuhan rakyat baik dalam kondisi normal apalagi dalam kondisi pandemi seperti saat ini.
Dalam aturan Islam ada pos anggaran pendapatan dan pengeluaran negara yang tercatat di lembaga yang dinamakan baitumal. Di lembaga ini anggaran dialokasikan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Pada saat terjadinya wabah anggaran negara diprioritaskan untuk penyelesaian pandemi terlebih dahulu hingga tuntas.
Penguasa dalam Islam akan memfokuskan anggaran untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang terdampak wabah. Dengan adanya kebijakan lockdown menjadikan masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhannya, pada kondisi ini negara wajib hadir dalam melindungi rakyatnya.
Selain itu negara wajib mengalokasikan anggaran untuk berbagai layanan kesehatan. Mulai dari pemeriksaan dini, pelacakan dan pengobatan, penyediaan tenaga kesehatan, rumah sakit dan lain-lain yang merupakan sarana dan prasarana kesehatan demi menyelamatkan nyawa seluruh rakyatnya. Agar kondisi cepat pulih dan wabah segera tertangani.
Untuk itu maka negara tentu wajib memprioritaskan semua kebijakan anggaran ke arah pengendalian wabah demi kemaslahatan dan keselamatan rakyat secara umum. Tidak seperti kebijakan saat ini yang mengeluarkan dana untuk perusahaan di saat rakyat sangat membutuhkan.
Dalam sistem Islam negara berperan untuk melayani dan mengurus seluruh kebutuhan rakyat secara adil untuk seluruh rakyatnya baik yang miskin maupun yang kaya. Tidak hanya untuk kaum muslimin tetapi juga nonmuslim.
Kemampuan aturan Islam dalam memenuhi rasa keadilan telah teruji. Terbukti saat aturannya diterapkan secara sempurna dalam kancah kehidupan selama lebih dari 13 abad umat merasakan kehidupan yang adil dan sejahtera.
Wallahu a’lam bishawab.
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi