Oleh: Ummu Munib
(Pemerhati Masalah Sosial)
RANCANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini sedang hangat diperbincangkan masyarakat. Sebenarnya RKUHP bukanlah hal yang baru, karena pada 2019 pengesahannya ditunda pasca gelombang aksi mahasiswa yang turun ke jalan.
Mereka menuntut pembatalan pengesahan RKUHP yang dinilai penuh kontroversi, sehingga Presiden menyatakan pengesahan RKUHP ditunda dalam rangka meredam aksi protes masyarakat terhadap RKUHP yang akan menggantikan KUHP warisan Belanda.
UU ini awalnya berlaku di wilayah Jawa dan Madura saja. Kemudian setelah terbit UU Nomor 73 Tahun 1958, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sejak 20 September 1958.
Sebuah hal yang wajar ketika terjadi pro dan kontra di masyarakat atas RKUHP ini. Mereka menganggap penerapan hukum KUHP buatan Belanda ini membawa kepada penerapan hukum yang tidak adil. Publik beberapa bulan lalu dikejutkan atas vonis 4 (empat) tahun penjara terhadap IBHRS dalam kasus swab Rumah Sakit UMMI.
Beliau dianggap bersalah lantaran melanggar Pasal 14 Ayat 1 UU No 1 Tahun 1946 tentang keonaran. Salah satu kuasa hukum IBHRS, Achmad Michdan menilai bahwa putusan vonis penjara ini dianggap berlebihan dan zalim. Pasalnya kasus yang dilakukan IBHRS adalah kasus protokol kesehatan bukan kebohongan yang menimbulkan keonaran. (suara.com, 24/06/2021)
Ironis dengan vonis terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis 10 tahun penjara. Pinangki harus membayar denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun hukuman Pinangki dipangkas dari 10 tahun menjadi 4 tahun oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada sidang banding, Senin (14/6/2021).
Meskipun telah terbukti bahwa Pinangki menerima uang suap 500 ribu dolar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra dan melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dolar AS atau setara Rp 5,25 miliar.
Bukti lainnya Pinangki bersama Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa, hal ini merupakan pemufakatan jahat bersama. (kompas.com, 15/6/2021)
Sungguh miris ketika memutuskan hukum dengan hukum buatan manusia. Bisa dianggap adil oleh satu pihak namun dirasa zalim oleh pihak lain. Dimana penilaian baik dan buruknya adalah standar manusia yang sifatnya relatif .
Itulah sejatinya hidup di alam yang menerapkan sistem kapitalisme sekularisme. Sistem yang berpihak kepada kaum kapitalis ketika membuat aturan. Diperparah dengan asas pemisahan agama dari kehidupan.
Agama dipakai pada ranah ibadah semata. Padahal menyerahkan hukum pada tangan manusia adalah kesalahan besar, karena manusia dilahirkan serba lemah dan terbatas bahkan penuh hawa nafsu.
Begitu juga dengan Revisi KUHP, sudah menjadi wacana sejak 20 tahun lalu, tetapi hingga kini tidak kunjung disahkan. Pasal-pasal kontroversial muncul dalam RKUHP ini, di antaranya pasal penghinaan kepada presiden dan wapres, penghinaan terhadap peradilan, kumpul kebo, penodaan agama, aborsi, marital rape, gelandangan, dan lain-lain.
Sebagai contoh pasal tentang pengenaan denda bagi kaum gelandangan. Bunyi Pasal 432 RKUHP menyatakan ” Setiap orang yang bergelandangan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp1 juta.” Padahal menjadi gelandangan itu bukanlah sebuah cita-cita setiap orang.
Mereka pasti tidak menginginkan menjalani kehidupan di jalanan. Naluri manusia pasti menginginkan hidup sejahtera. Sudahkah negara menjalankan mandat Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara? Semestinya mereka dipenuhi kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatannya.
Alhasil RKUHP dibuat dengan tujuan menggantikan KUHP buatan kolonial Belanda adalah sebuah kemustahilan untuk bisa menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah. Sebab, keduanya merupakan hasil karya tangan manusia.
Alih-alih menjadi solusi, justru malah menumbuhkan masalah baru. Terbukti bahwa manusia tidak mampu mengatur kehidupan dengan pandangannya sendiri. Hukum itu bisa berubah-ubah sesuai kehendak dan kepentingan. Hal ini tentu menyalahi fitrah manusia.
Melihat sisi rapuh dan lemahnya produk hukum produk manusia, maka dibutuhkan undang-undang atau hukum yang mampu menyolusikan secara tuntas persoalan yang muncul saat ini. Solusi produk kapitalisme sekularisme hanya menyentuh cabang, namun sistem kapitalisme sekularisme itu sendiri yang menjadi akar masalahnya tidak tersentuh cenderung dibiarkan begitu saja.
Berbeda dengan Islam, sebagai sebuah agama sekaligus merupakan sistem hidup. Islam mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh sistem lain. Inilah beberapa keunggulannya:
Pertama, sifat syariat Islam universal dan abadi. Tidak lekang oleh zaman dan waktu. Al-Qur’an dan Sunah merupakan sumber penetapan hukum. karenanya aturan ini tidak mungkin berubah-ubah mengikuti kehendak manusia.
Allahlah yang berhak membuat hukum. Tidak ada hak bagi manusia untuk membuat dan menyusun aturan sendiri. Allah Swt. berfirman dalam surat Yusuf ayat 40, yang isinya menyatakan bahwa keputusan itu hanyalah milik Allah, yang wajib disembah. Itulah agama yang lurus.
Kedua, wakil rakyat atau dikenal dengan majelis umat berfungsi melakukan muhasabah terhadap kebijakan penguasa. Mereka dipilih untuk menyampaikan kepentingan umat. Menampung keluhan masyarakat untuk disampaikan kepada penguasa, dan memberi masukan kepada penguasa meski masukan hal tersebut tidaklah mengikat penguasa.
Ketiga, hukum Islam sangat terukur dan jelas. Hukumnya berlandaskan pandangan syariat Islam. Sedangkan standar penilaian dalam kapitalisme sekularisme adalah manusia.
Keempat, dalam Islam kedaulatan tertinggi berada di tangan syariat Islam. Hanya Allah Swt. sebagai pemilik otoritas membuat hukum baik dalam perkara muamalah, ibadah, pakaian, makanan, dan uqubat (sistem persanksian). Setinggi apapun kedudukan manusia, dipandang sama sebagai makhluk yang wajib patuh dan tunduk dan pada hukum Allah.
Dengan demikian dalam Islam tidak akan ada celah hukum yang akan menindas atau menzalimi pihak lain. Bahkan tidak akan bisa memaksakan kehendaknya kepada yang lain. Ketika yang ditegakkan aturan Allah, maka keadilan akan tercipta. Pemenuhan hak dan kewajiban akan terlaksana dengan baik. Sebab, hukum Allah tidak mengenal kepentingan politik. Karena syariat Allah diterapkan bertujuan untuk memberi kemaslahatan bagi umat manusia di dunia dan di akhirat. Mahabenar Allah yang berfirman,
”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya selain hukum Allah Swt bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah (5): 50)
Wallahu a’lam bhi-ash shawab.
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi