Oleh: Irma Faryanti
(Member Akademi Menulis Kreatif)
KESEDIHAN masih enggan beranjak dari kehidupan umat Islam di negeri ini. Betapa tidak? Setelah beberapa waktu lalu ibadah haji ditiadakan karena penyebaran virus yang kembali melonjak tinggi, ibadah lain yang identik dengan hari raya idul adha pun konon dilarang untuk dilaksanakan.
Hal ini terungkap dari pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menyampaikan keputusan Kemenag untuk meniadakan shalat Idul Adha 1422 H. Hal tersebut ditetapkan karena aktivitas tersebut dapat menimbulkan kerumunan yang nyata dilarang pasca pemberlakuan PPKM darurat.
Pemerintah menegaskan bahwa ketentuan melarang melakukan peribadatan di tempat ibadah bukan hanya berlaku bagi umat Islam saja, agama yang lain pun harus menjalankannya selama berada pada zona PPKM. (Liputan6.com 2 Juli 2021)
Tidak hanya shalat Idul Adha yang dilarang, aktivitas takbiran yang biasa dilakukan malam sebelum hari raya pun tidak diperkenankan. Masyarakat diminta melakukannya di rumah masing-masing, tidak di masjid, berkeliling mengadakan arak-arakan melalui konvoi kendaraan ataupun berjalan kaki.
Begitu juga dengan penyembelihan hewan kurban, Yaqut menyatakan harus dilakukan di tempat terbuka dan hanya disaksikan oleh pihak yang berkurban. Sementara pembagian daging kurban bisa dilakukan dengan membagikan kupon dan membagikannya langsung ke rumah-rumah warga.
Menyikapi ketetapan tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menyeru masyarakat untuk mengikuti ketentuan pemerintah. Karena menurutnya, ada 3 pihak yang berwenang dalam memutuskan perkara Idul Adha di tengah pandemi seperti ini yaitu MUI yang melihat dari sudut pandang keagamaan, cendekiawan dari sisi medisnya dan pemerintah dari sisi pelaksanaan negara yang wajib dipatuhi oleh masyarakat.
Mirisnya, pelarangan tidak berlaku pada kegiatan konstruksi yang diizinkan berjalan 100 persen selama PPKM darurat Jawa-Bali yang dilaksanakan sejak tanggal 3-20 Juli tersebut. Adapun pada sektor non-esensial seperti perkantoran, diterapkan Work From Home (WFH) atau bekerja di rumah 100 persen.
Sementara sektor esensial yang meliputi: keuangan, perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan yang tidak menangani karantina Covid-19 serta orientasi industri ekspor, jumlah karyawan yang diizinkan bekerja hanya 50 persen. Tentu dengan syarat memenuhi protokol kesehatan yang ketat.
Demikianlah, seiring meluasnya wabah yang semakin menjadi-jadi, kebijakan yang dibuat pun seakan hilang kendali. Masyarakat dibuat bingung dalam menentukan sikap. Bak makan buah simalakama, memaksa keluar mereka terancam mati, tak keluar pun nyatanya tidak ada yang menjamin kebutuhan perut secara pasti. Peraturan secara sembarang diberlakukan, tanpa memberi jaminan tercukupinya segala keperluan.
Tabiat penguasa yang sepertinya tidak mau repot dalam mengayomi, menjadikan tanggung jawab yang diembannya hanya sebatas perhitungan untung dan rugi. Sektor-sektor yang dianggap bisa mematikan ekonomi dibiarkan berjalan walaupun keselamatan rakyat harus dikorbankan. Kebijakan yang cenderung tebang pilih menyisakan kecewa bagi rakyat kecil yang tidak berdaya.
Padahal, berlarutnya pandemi tidak bisa dilepaskan dari kelalaian penanganan wabah sejak awal. Pemerintah yang menolak menerapkan lockdown dengan alasan akan mengganggu perekonomian masyarakat, lebih memilih kebijakan seperti social distancing, PSBB dan taat prokes untuk mencegah penyebaran wabah.
Sementara di sisi lain berbagai kegiatan yang bisa memicu terjadinya kerumunan semisal tempat wisata, pusat perbelanjaan, dan pelayanan publik masih dibiarkan terbuka. Sehingga samar antara si sehat dan si sakit, akibatnya penularan pun tidak bisa dihindari.
Anehnya, yang justru dijadikan bidikan adalah hal-hal terkait peribadatan umat Islam. Masyarakat dihimbau untuk shalat di rumah saja, masjid-masjid ditutup, haji dibatalkan, shalat idul Adha ditiadakan bahkan penyembelihan hewan kurban pun serba tidak jelas pelaksanaanya. Karena kekhawatiran akan terjadinya penyebaran virus, pelaksanaan ibadah pun harus dikorbankan dan dihentikan untuk sementara waktu.
Andai sejak awal wabah ini ditangani dengan benar maka tidak akan terjadi pandemi yang berlarut-larut. Penanganan yang benar hanya akan dapat dijumpai dalam Islam. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya yang lebih melakukan lockdown, memisahkan wilayah yang terdampak dengan yang aman dari wabah.
Disertai dengan jaminan kebutuhan yang ditanggung oleh negara sehingga masyarakat yang berada di daerah wabah bisa fokus sembuh dan ancaman penyebaran pun akan bisa tertangani.
Peran besar seorang penguasa dalam mengatasi wabah menjadi kunci dari segala permasalahan. Hal inilah yang dimiliki oleh para pemimpin di masa keemasan Islam. Mereka adalah sosok yang takut akan Rabbnya dan menyadari bahwa kedudukan mereka kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, sebagaimana hadis Rasulullah:
“Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, kembali pada Islam menjadi solusi yang tidak bisa ditawar lagi. Sistem Islam memposisikan penguasa sebagai pengurus urusan umat yang akan mengayomi serta memelihara seluruh kebutuhan, keselamatan bahkan nyawa rakyatnya. Dengan berpijak pada hukum syariat di seluruh aspek kehidupan, maka berbagai problematika pun akan terselesaikan. Demikian pula halnya ketika menghadapi wabah, penguasa akan mampu menyelesaikan dengan baik sesuai ajaran Islam.
Sekalipun negara harus mengambil tindakan darurat di tengah wabah, apa yang terjadi tidak akan serumit saat ini. Apalagi hingga harus mengorbankan kewajiban, mencegah umat dari melaksanakan ibadah.
Masyarakat juga akan lebih siap menghadapinya karena kondisinya aman terkendali. Mereka tidak berada dalam kondisi collaps dan terpuruk secara ekonomi karena seluruh kebutuhannya tercukupi, keamanan, kesehatan bahkan nyawa pun mendapat perhatian penuh dari negara.
Jadi kuncinya terletak pada sosok penguasa pengayom umat. Sehingga wajar permasalahan wabah mampu tertangani dan tersolusikan dalam sebuah sistem pemerintahan Islam. Tidakkah kita merindukannya? Semoga Allah menyegerakan pertolonganNya.
Wallahu a’lam Bishawwab
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi