MAJALENGKA, fajarsatu – Geliat literasi di Kabupaten Majalengka semakin tampak seiring lahirnya banyak buku karya sekelompok komunitas atau pun karya antologi wadah kreatif seperti Asosiasi Guru Penulis (AGP) PGRI Majalengka, yang baru saja melahirkan buku bunga rampai tentang Majalengka yang berjudul Majalengka Wajahmu Kini.
Wakil Bupati Majalengka, Tarsono D Mardiana mengapresiasi penuh lahirnya buku sebagai bagian dari gerakan literasi.
“Degap-degap nafas literasi di Majalengka sesungguhnya sudah terasa sejak jauh-jauh hari. Jika di sekolah, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) menjadi penggejot semangat guru-guru (bukan hanya guru bahasa, akan tetapi juga guru maple lainnya), maka di masyarakat justru lebih hidup dengan bermunculannya teman-teman bacaan masyarakat (TBM). Hal yang pantas diacungi jempol adalah, TBM perorangan maupun kelompok. Dan rata-rata mereka menghidupi diri sendiri. Kerja sama yang dijalin dengan pihak-pihak tertentu membuat kehidupan TBM terus berlangsung. Artinya –tanpa menyebut pembiayaan-, mereka mampu mengelola buku dan menambah koleksi, dan berbagai cara lainnya agar TBM tetap diminati masyarakat,’ kata Tarsono.
Menurutnya, jika kemudian TBM dan perpustakaan sekolah dikombinasi dengan apik, maka akan tumbuh masyarakat literasi yang komplit. Kombinasi dimaksud adalah saling mengisi dan saling melengkapi, semisal saling memberikan informasi keberadaan TBM dan perpustakaan sekolah, baik koleksi buku, program-program yang dikembangkan di dua pusat literasi itu.
Wabup prihatin, minat baca pada sat sekarang ini sedang turun drastis. Daya baca memang kuat, namun minat baca kurang. Dia sepakat apa yang ditulis Jejeh Juariasih, salah seorang, penyumbang tulisan pada buku ini. Neraca tidak seimbang. Penyebab utama berkurangnya minat baca salah satunya adalah dengan munculnya gaway yang menawarkan berbagai kesenangan hidup dan secara otomatis dan cepat membuat manusia menjadi malas bergerak banyak, termasuk membaca. Anak-anak, dan bahkan kita, lebih memilih membaca status orang, atau menulis status sendiri di medsos, ketimbang memilih konten bacaan. Jagankan yang serius, yang ringan pun kadang enggan menjamah.
Tarsono yang andil dalam kata pengantar buku itu menyebut kepesatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang susah dibendung. Produk gaway pun semakin menjadi-jadi, dan membuat kita harus ‘memilih’ yang terbaik menurut minat dari sekian banyak merk yang ditawarkan, dengan kapasitas dan akseletasi yang saling mengguli satu sama lain. Akan tetapi, dibalik semua gegap gempita itu, justru kita makin terusik dengan kesadaran untuk tetap mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara yang santun.
Menulis naskah, baik fiksi ataupun nonfiksi, adalah kerja konvensional yang tetap diakui sebagai yang paling santun dari semuanya. Dan, dengan jumawa kita bisa menyatakan, bahwa menulis merupakan urgensi kegiatan literasi yang akan hidup di sepanjang zaman. Bukankah pengetahuan dan teknologi lahir dari sebuah konsep tertulis?
“Kerja menulis, menurut hemat saya, adalah kerja berkelanjutan yang link perjalannya jelas. Penulis adalah produsen literasi yang menyediakan berbagai kemasan bacaan yang kelah bacaannya hadir di berbagai media, baik offline maupun online. Dengan semikian karya penulis hadir di dua dunia yang berbeda, yakni dunia nyata dan dunia maya. Bahka ada keyakinan, bahwa jika karya di dunia nyata (offline) sebuah karya bisa hilang, aus, atau dirusak, maka betapa banyak sekarang upaya digitalisasi karya tulis, terutama karya tulis lama yang dikhawatirkan akan musnah karena zaman,” papar dia.
Wabup juga menyebut, para penulis sesungguhnya adalah penyeimbang neraca literasi. Dengan terus menulis, apa pun yang ada di benak kita, fiksi maupun nonfiksi, adalah kerja mengejawatahkan kaeseimbangan itu. Maka teruslah menulis, tak peduli seberapa banyak tulisanmu dibaca, akan tetapi yang lebih penting adalah, seberapa bermanfaat tulisanmu hadir untuk kehidupan. Sebab, ilmu pengetahuan yang sesungguhnya adalah kita, tidak yang lain. Teknologi di sisi lain, adalah bentuk kreativitas manusia yang kemudian berdampak secanggih apa pun teknlogi, jika eksetensinya tanpa dibarengi otak dan pikiran manusia, hanya akan tinggal sebagai makhluk tanpa arti.
“Majalengka, saat ini membutuhkan manusia-manusia creator yang tangguh, yakni manusia-manusia berbudaya yang cerdas memahami keadaan, tanggap merespon kebutuhan. Jika pada sistem politik dan biokrasi sudah jelas penanggungnya, maka di wilayah sistem kebudayaan lainnya harus muncul para pemikir guna menjadi penyelaras pola pikir dan pola kebijakan,” katanya lagi.
Wabup pun memuji pata guru dan para pegiat literasi adalah manusia-manusia tangguh itu. Inilah saatnya kita tampil di muka, tidak hanya berdiri mematung dan menonton. Jika selama ini guru disibukkan dengan kerja administrasi di kelas, mengajar, mendidik, menjalankan rutinitas tugas sehari-hari, maka saat ini guru bisa berpikir liar. Dan ini sudah dilakukan para guru di banyak tempat di Indonesia, sudah banyak di antara mereka yang kesengsrem menulis. Ada asosiasi guru penulis (AGP), ada komunitas pendidik penulis, dan yang lain-lainnya. Bahkan ada yang menyengajakan diri mengikuti program bimbincegan menulis, workshop menulis, seminar menulis, di skusi karya, dan bahkan ada yang masuk dan menjadi anggota komunitas sastra.
Wabup Tarsono berharap, di Majalengka pun harus demikian. Guru harus tampil di depan, sebagai penebar pemikiran melalui tulisan. Ingat Ki Hajar Dewantara, beliau adalah guru, organisatoris, dan sekaligus penulis handal yang tulisan-tulisan diperhitungkan bahkan oleh penjajah Belanda sekali pun.
Di sisi lain, para pegiat literasi masyarakat, para pengelola TBM, adalah pula sosok-sosok pemikir dan pembaharu. Setidaknya mereka selalu mencoba menerapkan paradigma kepada masyarakat, bahwa membaca adalah gerbang membuka cakrawala dunia. Kepadanya pantas diberikan penghargaan, mengabdi tanpa henti, sebab kelak membawa arti. Pasti.
Jika sekarang guru dan pegiat literasi berbicara tentang kondisi Majalengka dan harapannya ke depan, bukanlah hal yang berlebihan. Bukan hanya karena terdorong oleh momen Hari Jadi Majalengla, namun prinsip dasar kebebasan mengemukakan pendapat menjadi naungan hukum yang kuat untuk keyakinan keabsahannya. Setidaknya, sedikit ataupun banyak, unek-unkek yang ada di dalam pikiran para penulis buku ini telah tersampaikan. Dan tentu saja gaung tulisan ini tidak hanya bergema di lingkungan para penulis sendiri, namun terdengar sampai kepada para pemangku kebijakan di Kabupaten Majalengka.
“Sebagai seorang yang berada di jajaran pimpinan di Kabupaten Majalengka, saya merasa salut dan mengacungkan jempol untuk para guru penulis Majalengka yang hebat. Semoga upaya kecil ini membuahkan hasil yang besar,” tegasnya.
Senada dengan Wabup Tarsono, Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan (DEKKMA) Kab.Majalengka Asikin Hidayat berharap tumbuh suburnya para penulis Majalengka dapat menggairahkan dunia literasi di Kab.Majalengka ke depan. (gan)