KEJAKSAN, fajarsatu – Komisi I DPRD Kota Cirebon dan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Cirebon membahas rencana kerja tahun 2022 yang berlangsung di ruang Serbaguna Gedung DPRD Kota Cirebon, Jumat (20/8/2021).
Sekretaris Komisi I, Tunggal Dewananto mengatakan, ada empat rekomendasi yang diberikan untuk menunjang rencana kerja DPMPTSP di tahun mendatang, yakni pemindahan kantor karena kondisi gedung yang dinilai kurang representatif, sehingga pelayanan kurang nyaman.
“Kedua, DPMPTSP juga harus memiliki mal pelayanan publik dalam satu gedung. Ini bisa saja diantisipasi dengan menyewa di mal atau lainnya. Karena DPMPTSP merupakan etalase Kota Cirebon. Bagaimana investor tertarik jika kantornya tidak nyaman,” ungkapnya.
Selanjutnya yang ketiga adalah persoalan regulasi, yakni peraturan daerah. Menurut politisi PPP tersebut, belum ada regulasi yang secara mendetail membahas Online Single Submission (OSS) berbasis risiko atau OSS Risk Based Approach (RBA), misalnya terkait Rencana Detail dan Tata Ruang (RDTR) digital dan teknis perizinan.
“Bakal berimplikasi hukum apabila dinas mengeluarkan izin, tetapi tidak dasari dengan regulasi baku yang ada di daerah. Memang ada perda lama, tapi belum ada revisi mendetail terkait OSS RBA,” ungkap pria yang akrab disapa Dewa.
Sedangkan rekomendasi keempat, kata Dewa, dukungan anggaran yang untuk menunjang semua pelayanan. “Dari ajuan yang diusulkan sebanyak Rp 9,5 miliar, tapi yang terakomodir hanya Rp 8,5 miliar. Secara ideal, angka yang diajukan juga kurang, tapi dinas memasang sesuai dengan ketersediaan anggaran yang tersedia,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris DPMPTSP, Icip Suryadi mengatakan, dalam rangka memberikan pelyanan terbaik pada masyarakat, terutama penerapan OSS RBA perlu ditunjang lebih baik dengan perlatan yang canggih dan kapasitas internet yang baik.
“Karena kita kerjanya memantau perkembangan investasi yang masuk di Kota Cirebon. Berapa perusahaan yang masuk kemudian dikoordinasikan dengan instansi teknis untuk pengawasan, pengendalian dan pembinaan,” ujarnya.
Perihal OSS RBA, lanjut Icip, sistem ini terdiri tiga risiko, yakni rendah, menengah dan tinggi. Indikator dari setiap resiko tergantung jenis usaha dan permodalan.
“Jadi misalnya ada perusahaan yang ingin investasi, mereka akan mengunggah semua dokumen di sistem OSS RBA. Kemudian sistem yang akan menentukan perusahaan tersebut masuk risiko rendah, menengah atau tinggi,” jelasnya.
Saat ini, kata Icip, DPMPTSP memang sudah menggunakan OSS RBA, namun belum rapi dan menyesuaikan pelaksanaan di daerah, termasuk belum ada aturan baku terkait sejumlah layanan dalam sistem OSS RBA.
“Sebagai contoh, layanan sistem informasi bangunan gedung (SIBG) milik pemerintah pusat. Namun saat ditanya ke pegawai di bagian IMB, ternyata belum terintegrasi dengan kita, bahkan orang pemerintah pusat mengakui itu,” kata dia.
Sedangkan perihal kantor DPMPTSP, Icip mengaku, selama ini memang kantornya paling kecil dibanding dengan daerah lain.
“Dulu sudah pernah diajukan ke BPPPPD (Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah, red). Karena kita juga sebenarnya ingin mengikuti perkembangan, memiliki gedung yang representatif dan nyaman,” katanya. (rilis)