Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Indahnya Islam Di Indonesia” dan “Kalo Cinta, Nikah Aja!”)
MENULIS adalah tugas sejarah. Begitu ungkap sebagian para bijak. Ia berpijak pada nilai dan prinsip keluhuran. Bahwa idealisme tak boleh terhempas karena realitas yang kadang absurd. Sebab tak sedikit yang terjebak pada hal semacam itu. Sesuatu yang penuh dengan kepentingan dan selera sesaat. Walau secara teknis konten tetap memadukan antar idealitas dan realitas, namun itu tak berarti meleburkan kejelasan tujuan pada syahwat pragmatisme.
Dalam konteks itulah dibutuhkan apa yang disebut dengan adaptasi atau kontekstualisasi. Konsistensi dan kesetiaan pada perspektif semacam itu bukan saja berat tapi juga penuh godaan. Sebab di sini bukan lagi soal melahirkan kata-kata atau tradisi menulis yang bisa jadi bisa dilakukan oleh siapa saja, tapi juga substansi ide dan narasinya.
Sejarah adalah pergulatan ide dan ide, narasi dan narasi, serta teks dan teks juga latar belakang dan konteksnya. Maka literasi tak melulu soal jumlah kata dan akumulasi produksi dokumen dalam bentuk buku dan serupanya. Literasi tidak saja berbicara tentang tebal dan tumpukan karya. Literasi juga berbicara soal produksi ide dan narasi yang adaptif dengan kebutuhan zaman.
Berikutnya, sejarah adalah akumulasi ide dan narasi generasi lintas zaman. Maka pergulatan hari ini sejatinya lanjutan atau mungkin bentuk adaptasi dari pergulatan di masa lalu dalam beragam konteksnya. Dari politik dan ekonomi hingga sosial bahkan juga ideologinya. Begitu juga sejarah masa depan, ia adalah akumulasi. Bukan saja tentang satu potret sejarah dan berbagai hal yang melingkupinya tapi juga dinamika dan pergulatan yang terjadi di dalamnya.
Maka menulislah karena memang mesti melakukannya, bukan sekadar ingin melakukannya. Karena sekadar ingin tak mampu menghadirkan karya yang terbaca. Kalau sekadar ingin namun tanpa bertindak, maka itu hanya masturbasi semangat dan kata-kata. Namun bila mesti melakukannya maka daya dorongannya begitu kuat, disukai atau tidak disukai tetap dan bakal terus berkarya.
Tak soal bila banyak berpikir tentang keagungan masa lalu sejarah, namun ia akan produktif bagi masa depan manakala ditalar secara mendalan bukan sekadar dirayakan. Kemampuan menalar akan menentukan apa dan bagaimana semestinya meretas masa depan sejarah baru. Dan menulis hanyalah salah satu episode dari begitu banyak episode yang dilakoni dalam pentas sejarah diri dan kemanusiaan.
Seingat saya, hingga kini saya baru menulis 41 buku dalam beragam tema. Beragam, sebab saya bukan ahli atau pakar di bidang tertentu. Saya menulis dengan baju bebas, pola terbuka dan tentu layak dikritik juga dibimbing oleh siapapun di luar sana yang hendak menunaikannya.
Baik dalam bentuk artikel maupun dalam bentuk buku juga dalam bentuk lain. Semuanya terdokumentasi dengan baik, walau sebagiannya hanya terdokumentasi dalam bentuk apa adanya sesuai ketersediaan media dokumentasi pada setiap tulisan ditulis.
Dalam hitungan kalender masehi, pada Ahad 8 Agustus 2021 lalu, saya genap berusia 38 tahun. Sebagai warga negara dari sebuah negara besar bernama Indonesia, kadang saya merenung tentang apa yang sudah saya lakukan atau kontribusikan.
Nyaris dalam usia demikian saya belum melakukan apa-apa. Apalah lagi saya bukan tokoh politik, bukan birokrat, bukan akademisi, bukan pengusaha bahkan saya tidak pernah melabel diri sebagai penulis dalam bingkai profesi. Saya hanya warga biasa yang belakangan tergoda untuk menulis tanpa beban dan rasa takut untuk berkarya.
Sekali lagi, bagi saya menulis adalah tugas sejarah. Mungkin bila dinisbatkan bagi bangsa dan peradaban umat manusia itu terlalu bombastis dan mewah. Maka saya menulis minimal untuk sejarah saya sendiri dan mereka yang mencintai saya tanpa tapi atau keraguan.
Saya sadar betul bahwa keterbatasan dan kelemahan diri tak boleh merampas kenikmatan dalam membangun imajinasi tentang masa depan. Justru itu dijadikan alasan paling kuat untuk terus mencicil sejarah. Minimal sebagai pembuka sekaligus pemantik satu karya untuk berbagai karya di masa yang akan datang. Ya saya sedang memulai dan insyaa Allah terus berlanjut.
Apalah lagi di keluarga saya, sejak dulu para leluhur hingga kini, saya benar-benar tak menemukan diantara mereka yang pernah menulis artikel atau buku. Bahkan mungkin belum ada yang punya ketertarikan pada dunia literasi terutama kepenulisan. Karena itu ketertarikan saya pada aktivitas kepenulisan menemukan relevansi dan konteksnya. Selebihnya, minimal bila saya kelak meninggal ada yang tersisa dan terkenang dari seluruh perjalanan hidup saya bersama orang-orang yang mencintai saya dan orang-orang yang saya cintai.
Terima kasih banyak kepada siapapun yang selama ini yang begitu ikhlas sekaligus tulus mendoakan, membimbing, mengarahkan, mengoreksi, membaca, dan menikmati berbagai tulisan saya dalam berbagai bentuk dan beragam tema; tak terkecuali dalam bentuk buku. Tanpa itu semua, saya tak bakal bisa ketagihan menulis.
Terima kasih juga kepada kalangan media massa dan media online yang telah memuat tulisan saya serta penerbit yang telah menerbitkan tulisan saya selama ini. Atas bantuan dan kerjasama dari semuanya, saya menjadi tak kehilangan optimisme dan percaya diri.
Selebihnya, pada kesempatan yang baik ini, pada momentum usia saya genap 38 tahun, saya mengajak siapapun: Mari menulis, mumpung masih muda atau waktu masih bersama kita. Karena esok atau lusa bisa jadi tak ada daya untuk sekadar mengungkapkan abjad walau sekadar satu persatu. Atau mungkin sudah tak ada lagi jatah hidup di alam dunia yang fana ini.
Maknanya, kita tak punya kesempatan lagi untuk menulis atau menghasilkan karya terbaik. Maka sekarang menulislah, minimal untuk mencicil sejarah kita masing-masing sehingga ia abadi! (*)