Oleh: Nurul Aini Najibah
(Aktivis Dakwah)
KRISIS akibat pandemi masih saja menimbulkan masalah di berbagai sektor, salah satunya sektor wisata. Disertai adanya kebijakan pemerintah yang menerapkan PPKM, membuat sektor ini menjadi salah satu korban kebijakan tersebut. H. Yosep Nugraha, Direktur Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung menyatakan keprihatinannya terhadap pandemi yang masih berlanjut. (galajabar.com, Kamis 19/8/2021)
Ia mengatakan bahwa jika PPKM ini masih diperpanjang, maka akan berdampak bagi destinasi wisata yang saat ini sedang tutup sementara.
Menurutnya kebijakan penutupan tempat wisata terus berlanjut, maka akan sangat berbahaya bagi masyarakat yang sisi ekonominya bergantung pada sektor pariwisata. Karena adanya sektor wisata ini adalah upaya untuk membangkitkan ekonomi masyarakat saat ini.
Realitas ini menunjukkan bahwa negara tidak piawai dalam memberi solusi untuk mengatasi wabah pandemi ini. Akibatnya, hampir seluruh sektor terkena imbas dari kebijakan-kebijakan negara.
Mereka hanya fokus untuk menggenjot sektor pariwisata, sementara dalam paradigma kapitalis pariwisata lebih banyak unsur madharatnya. Aktivitas pacaran, prostitusi, serta pengrusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan adalah beberapa contohnya. Alhasil, lahan produktif untuk pertanian, perkebunan semakin menipis, termasuk habitat makhluk hidup yang tinggal di dalamnya pun terganggu.
Tidak hanya itu, pariwisata telah menimbulkan masalah baru dengan hilangnya lahan pertanian, tempat tinggal, juga pengangguran. Sektor ini pun berdampak pada sedikitnya hasil produksi dari pertanian, sedangkan jumlah penduduk semakin hari semakin bertambah.
Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan. Sehingga menimbulkan kemiskinan dan kelaparan bagi rakyat.
Selain itu, demi untuk menarik wisatawan, budaya yang tidak sesuai dengan syariat malah dilestarikan. Bukan hanya itu, kebebasannya pun kian menyebar, menjalar pada warga sekitar.
Hingga akhirnya, budaya liberal semakin nampak di lingkungan wisata. Interaksi warga setempat dengan para pengunjung asing, telah menjadikan warga semakin terbuka terhadap budaya Barat. Mereka seolah dituntut menerima kebebasan tingkah laku para wisatawan asing yang pada akhirnya menjadi contoh bagi tingkah lakunya sendiri.
Inilah dampak diterapkannya sistem kapitalisme. Landasan berpikir dan bersikap hanya untuk keuntungan serta manfaat semata, sementara penanganan pandemi serta imbasnya tak menjadi prioritas. Dalam kondisi seperti ini, wajar bila asing banyak tingkah di negeri ini. Dan demi asing pula, penguasa rela memberikan segalanya untuk mereka.
Masuknya pengusaha-pengusaha asing ke Indonesia akan berdampak sangat besar. Indonesia akan menjadi obyek, bukan lagi sebagai subyek dalam pengelolaan kekayaan-kekayaan milik rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia akan menjadi hidangan para penguasa asing.
Ujung-ujungnya, bukan rakyat yang menikmati hasil kekayaan alamnya, tapi asing. Rakyat akan kembali gigit jari dengan kebijakan pemerintah ini. Alih-alih menyejahterakan, kebijakan ini akan menambah kemiskinan.
Adapun dalam pandangan Islam, sektor pariwisata ini dijadikan sebagai sarana dakwah bukan sumber keuntungan negara. Banyaknya kekayaan alam yang dijadikan sebagai obyek wisata, akan dijadikan sarana dalam menyebarkan Islam.
Bagi wisatawan muslim, setelah mereka dihadirkan keindahan seluruh ciptaan Allah Swt, maka akan semakin kuat pondasi keimanannya. Begitu pun bagi wisatawan non muslim, yang niat awalnya ingin menikmati keindahan alam, akan disuguhkan pula ajaran Islam.
Adapun interaksi warga sekitar dengan para turis, dengan semangat dakwah akan mewarnai para turis dengan budaya Islam. Begitu pun pemandu wisata yang sudah dipersiapkan, akan ditugaskan untuk menyebarkan pemahaman Islam. Maka, terjadilah transfer pemikiran di sana.
Memang satu-satunya upaya dalam mengatasi wabah ini adalah diterapkannya lockdown. Maka, sudah pasti masalah pariwisata dapat teratasi, sektor ini tidak perlu menjadi solusi untuk membangkitkan ekonomi rakyat.
Di sisi lain, berbeda halnya dengan negara liberal yang mempersilahkan asing untuk mengelola kekayaan alam yang melimpah. Islam menjaga kekayaan ini dengan membatasi kepemilikan. Karena islam menetapkan bahwa hukum asal kekayaan adalah milik Allah Swt., yang dikuasakan pada manusia dengan cara menerapkan hukum-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., yaitu:
“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”(HR Abu-Daud)
Oleh karena itu, Islam telah mengharamkan kekayaan-kekayaan milik rakyat dimiliki oleh asing. Semua potensi kekayaan alam yang menjadi sumber pendapatan penting negara akan dikelola negara dan ditujukan untuk kepentingan rakyat.
Kekayaan milik umum ini akan dikelola negara dengan baik, amanah, transparan, profesional dan penuh tanggung jawab. Hasilnya seluruhnya untuk kepentingan rakyat. Dengan sistem ini, bukan hanya rakyat Indonesia dengan alamnya yang kaya raya ini akan sejahtera, tapi juga seluruh umat di dunia, karena fungsinya sebagai kepemimpinan umum berjalan nyata.
Dengan demikian, tidak ada jalan lain untuk mengatasi segala problem di negeri ini kecuali dengan mengganti sistem yang rusak dengan sistem Islam. Dengan sistem Islam, semua pranata akan dibongkar dan diganti dengan sistem baru termasuk ekonomi kapitalisme berganti dengan ekonomi Islam, maka keadilan dan kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat akan dapat terjamin dengan sempurna.
Selain itu, Islam membangun pilar ketakwaan kepada seluruh rakyat termasuk pemimpin negara. Pemimpin dalam sistem ini akan memahami betul tanggung jawabnya mengatasi masalah umat, lalu memberi solusi komprehensif, agar kehidupan umat berjalan sesuai syariat. Pilar inilah yang menjadikan mereka bekerja hanya berdasarkan perintah dan larangan Allah Swt.
Wallahu a’lam bii ash-Shawab
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi