Oleh: Putriyana
(Aktivis Sosial
WABAH Covid-19 belum usai. Pada bulan Agustus 2021 kemarin tercatat lonjakan kasus aktif di 5 provinsi di luar pulau Jawa dan Bali. Daerah tersebut di antaranya adalah Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Papua, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Dilansir dari laman www.sindonews.com pada tanggal 8 Agustus 2021, Presiden Jokowi menyatakan bahwa adanya lonjakan kasus tersebut harus diwaspadai dan direspon secara cepat. Beliau meminta perhatian kepada seluruh pihak yang terkait temasuk pemerintah daerah untuk menerapkan testing, tracing, dan penurunan mobilitas serta penambahan ruang isolasi yang terpusat.
Wabah Covid-19 sudah hampir 2 tahun merebak di Indonesia, tapi belum ada titik terang kapan berakhirnya penularan virus tersebut. Ada kesan bahwa penanganan wabah ini cenderung tidak serius dan selalu terjadi kenaikan. Selain itu penanganan wabah di beberapa daerah di Indonesia sangat minim. Ini disebabkan karena kurang memadainya fasilitas layanan kesehatan dan kurang siapnya pemerintah daerah dalam menghadapi wabah ini.
Sejak awal, pemerintah meremehkan virus Covid-19 ini. Sehingga ketika virus sudah menyebar luas bahkan keluar pulau Jawa dan Bali, pemerintah terkesan kalang kabut dan sangat gagap dalam menghadapinya. Kebijakan PPKM yang dicanangkan pemerintah seolah tidak efektif untuk menekan penyebaran virus malah sebaliknya menyebar lebih masif ke wilayah lain. Meski adanya instruksi harus mematuhi protokol kesehatan penyebaran virus ini nyatanya tetap tak bisa dibendung.
Realitas ini menunjukkan bahwa rezim Demokrasi Kapitalisme terbukti gagal melindungi dan menyelamatkan nyawa rakyat. Sistem Kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai orientasi kebijakan tanpa memedulikan nyawa rakyatnya.
Sistem ini pula yang menjadikan negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya memelihara urusan masyarakat. Penguasa sibuk mengurus kepentingan dan kekuasaan mereka agar tetap eksis. Terbukti kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran yang justru berorientasi pada sektor ekonomi.
Diambil dari laman www.fiskal.kemenkeu.go.id, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menambahkan alokasi dana Rp 405,1 triliun untuk menanggulangi wabah Covid-1. Namun nyatanya hanya 75 triliun yang secara langsung berhadapan dengan wabah korona. Jauh lebih kecil dari anggaran untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebesar Rp110 triliun, pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp150 triliun, dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan, yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2020. Anehnya pembuatan Perpu ini tidak bisa diganggu gugat keberadaannya. Bahkan diklaim sebagai usaha untuk menyelamatkan uang negara dan pemberian imunitas pejabat. Padahal nyawa rakyat sudah di ujung tanduk menghadapi pandemi ini.
Sudah sangat terlihat jelas sistem Demokrasi Kapitalisme adalah sistem yang tidak berpihak pada rakyat. Sistem ini lebih berfokus pada penanggulangan ekonomi dibanding kesehatan rakyat. Selain itu sistem ini dilahirkan dari pemahaman sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) sehingga pengurusan kehidupan dijauhkan dari agama. Hal ini mengakibatkan bermunculannya sosok-sosok pemimpin yang merasa tak berdosa ketika lalai, abai atau tak tuntas dalam mengemban amanahnya mengurusi urusan rakyat.
Maka sejatinya rakyat membutuhkan sistem alternatif sebagai solusi yang telah terbukti mampu mengatasi pandemi dan mampu menyelamatkan nyawa rakyat. Dan sistem paripurna yang bisa mengatasi hal tersebut adalah sistem Islam.
Sistem Islam dengan segenap aturannya sudah terbukti 14 abad lamanya eksis mengurusi urusan umat dan juga bisa mengatasi pandemi. Syariat Islam telah menempatkan negara sebagai penanggung jawab urusan umat. Bukan negara yang berlepas tangan dari urusan umat seperti negara Demokrasi Kapitalisme saat ini. Sehingga ketika terjadi pandemi seperti sekarang, negara Islam adalah pihak terdepan untuk mengurusi rakyatnya.
Rasulullah saw bersabda:
“Seorang imam (pemimpin) adalah ra’in (penggembala) dan dia bertanggungjawab atas gembalaannya (rakyatnya)” (HR Bukhari)
Juga di dalam hadis lain diungkapkan:
“Siapa saja yang dijadikan Allah mengurusi suatu urusan kaum muslimin lalu ia tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak peduli akan kebutuhan, keperluan dan kemiskinannya.” (HR Bukhari)
Adapun bentuk tanggung jawab tersebut adalah negara Islam (Daulah) akan menjadikan keselamatan rakyat sebagai pertimbangan utama di atas kepentingan yang lain. Sikap pertanggungjawaban ini adalah bentuk keterikatan hukum syara. Terdapat di dalam hadis Rasulullah saw yaitu:
“Sungguh hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak”. (HR. Nasa’i 3987, Turmudzi 1455 dan disahihkan Albani)
Maka sejak awal terjadi pandemi, khalifah (pemimpin) akan memutus mata rantai penularan melalui lockdown lokal sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Kemudian negara akan memisahkan yang sakit dengan yang sehat. Langkah ini bisa mencegah penyakit menyebar dengan cepat dan tidak akan meluas ke wilayah lain, sehingga negara pun akan fokus menangani orang-orang yang terinfeksi. Selain itu negara akan menjamin seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan pasien secara gratis hingga sembuh dengan pelayanan yang prima dan utama.
Negara akan bertanggung jawab penuh juga dari sisi pemenuhan hajat asasi lainnya seperti sandang, pangan, papan dari rakyat yang terdampak. Hal ini hanya terjadi jika sistem yang digunakan adalah sistem Islam yang sempurna dan datang dari Allah Swt. Rahmatan lil Alamin pun akan teraih secara kafah dalam bingkai Khilafah. Karena hanya dengan khilafah saja wabah ini akan cepat selesai dan tidak akan mengabaikan pengurusan terhadap rakyat.
Wallahu a’lam biashawab.
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi