Oleh: Syamsudin Kadir
(Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jabar dan Penekun Kebijakan Publik di Pascasarjana Universitas Majalengka)
BERAKHIR pekan secara produktif adalah sebuah kondisi ideal yang sangat mungkin kita lalui. Baik dengan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan profesi maupun yang berkaitan dengan peningkatan kualitas diri pada aspek ilmu dan sebagainya.
Saya sangat bersyukur kepada Allah karena pada hari ini Ahad 24 Oktober 2021 saya bisa menghadiri undangan pengajian bulanan pekan ke-4 yang diadakan oleh PD. Persatuan Islam (Persis) Kota Cirebon-Jawa Barat. Terima kasih banyak kepada sahabat baik saya Pak Edy Setyo atas undangannya.
Pada acara yang dihadiri juga oleh jamaah PD. Kabupaten Cirebon dan sekitarnya ini menghadirkan narasumber tunggal Kang Dr. Latief Awaludin, M.A.,M.E. Acara yang diselenggarakan di Masjid Al-Falah, Kedawung, Kabupaten Cirebon-Jawa Barat ini mengangkat tema yang menarik yaitu “Peningkatan Ekonomi Umat Melalui Koperasi Syariah”. Sebuah tema pantikan yang perlu dikaji lebih mendalam oleh ummat Islam lintas organisasi.
Pada momentum ini Dosen STAIPI Bandung, DPS BPRS Baiturridho Pusaka, DPS Rumah Sakit Islam Ridhoka Salma Cikarang, DPS BMT Darut Tauhid Bandung dan Direktur BMT Berkah Umat ini menyampaikan prinsip dan nilai-nilai dasar muamalah dalam Islam, terutama dalam bentuk koperasi.
Di antara nilai dan prinsip-prinsip dasarnya diantaranya, pertama, halal. Kehalalan sebuah proses muamalah ditentukan oleh kesesuaian sebuah muamalah dengan syariat Islam. Karena itu, bermuamalah dengan sesuatu yang haram baik zat maupun akad atau caranya tidak diperkenankan. Sebab hal tersebut bukan saja diharamkan tapi juga mempengaruhi perjalanan kehidupan seseorang.
Kedua, adil. Keadilan muamalah adalah salah satu prinsip utama bermuamalah dalam Islam. Antara pengelola dan konsumen mesti bersama-sama bertanggungjawab dalam memajukan dan menikmati hasil aktivitas muamalah sesuai dengan aturan yang ditentukan secara bersama-sama. Tak boleh ada elemen yang dizolimi atau menzolimi. Hal ini menjadi standar yang perlu diperhatikan sejak awal, agar pada proses bermuamalah tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang merugikan.
Ketiga, maslahat. Hal lain, muamalah yang dilakukan mesti maslahat bagi semua. Tentu saja kemaslahatannya mesti diukur dari sisi syariat, bukan sekadar selera atau perasaan manusia. Kemaslahatan sebuah muamalah biasanya sangat dipengaruhi oleh manfaat sebuah aktivitas muamalah itu sendiri. Karena itu, filosofi bermuamalah bukan sekadar menggapai keuntungan sebesar-besarnya, tapi bermanfaat sebesar-besarnya. Bila pun memperoleh keuntungan yang cukup, peruntukannya tetap untuk kepentingan atau kemaslahatan bersama.
Keempat, ta’awun. Aktivitas ekonomi dan muamalah juga mesti berpijak pada konsep kerjasama atau ta’awun. Hal ini bermakna adanya kerja sama yang baik antar semua pihak yang terlibat untuk tujuan bersama yang sesuai dengan syariat. Segala hal yang menunjang suksesnya kerjasama antara pihak merupakan aspek penting yang mesti dijaga dengan baik oleh semua pihak.
Tidak boleh saling menepikan peran dan kontribusi masing-masing pihak yang terlibat, justru di sini semangat kolektivisme mesti digelorakan secara terus menerus. Segala hal mesti dimusyawarahkan dengan baik oleh semua yang terlibat atau pihak terkait.
Kelima, saling ridha. Saling ridha merupakan prinsip penting yang mesti juga dijaga dalam bermuamalah. Saling ridha bukan saja berlaku untuk salah satu diantara pihak tapi berlaku untuk semua pihak yang terlibat dalam kesepakatan bermuamalah. Secara sepintas prinsip ini terlihat sepele, namun dampaknya besar. Sebab pada dan oleh sebab saling ridha itulah ketenangan hati dalam bermuamalah muncul. Bahkan bakal mendatangkan keberkahan dari Allah yang memang sangat menghendaki ummat-Nya saling meridhai satu sama lain.
Menurut cendikiawan muslim yang lahir di Tasikmalaya, 14 september 1978 dan lulusan Pesantren Pajagalan 1998, S1 Syariah UIN Bandung 2002, S2 Syariah UIN Jakarta 2005, S2 Ekonomi Islam UGM Yogyakarta 2010, S3 Hukum Ekonomi Syariah UIN Bandung 2017 ini, ummat Islam perlu paham konsep bermuamalah.
Umat Islam perlu melek pada literasi termasuk literasi ekonomi ummat. Ummat Islam perlu mendalami ekonomi syariah dan berbagai jenis muamalah dalam Islam. Baik prinsip dan nilainya maupun teknik praktisnya. Hal ini dilakukan agar tidak terjebak pada berbagai aktivitas ekonomi atau muamalah yang haram atau dilarang agama.
Hal lain, menurut Anggota BPH DSN MUI dan Bidgar Ekonomi PP. Persatuan Islam ini, ummat Islam juga perlu menjajaki berbagai sektor ril yang berkaitan dengan kebutuhan ummat. Sebab ekonomi dan muamalah itu memang berurusan dengan hal-hal yang berkaitan langsung dengan kebutuhan sehari-hari ummat. Tradisi saling menolong atau membantu perlu ditingkatkan agar hubungan antar sesama tetap terjaga dengan baik. Sehingga ummat semakin kuat, solid dan kokoh.
‘Ala kulli hal, apa yang disampaikan oleh Kang Dr. Latif pada acara yang dimulai pukul 15.30 dan berakhir pada pukul 16.55 WIB ini pada intinya hendak menyadarkan ummat Islam terutama jamaah Persis agar semakin melek dengan ekonomi dan paham tentang konsep muamalah dalam Islam. Tak terkecuali dalam bentuk koperasi, bank, jual beli, pinjam meminjam, gadai dan sebagainya.
Ummat Islam sudah bukan saatnya lagi buta pada sistem dan konsep kehidupan termasuk pada aspek muamalah yang sudah digariskan oleh agamanya. Sebab ajaran Islam sudah begitu apik dalam mengatur semua hal termasuk berbagai jenis muamalah. Kalau saja literasi semacam ini digiatkan maka sangat mungkin ummat Islam menemukan takdir kejayaannya sebagai ummat yang maju, sehingga semakin berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia. (*)