Oleh: Uqie Nai
(Member AMK4)
DI ERA demokrasi saat ini peran ulama sangat besar dalam memperjuangkan eksistensi pesantren. Namun sebagai lembaga pendidikan yang dikenal pencetak generasi salih dan unggul secara Imtak (Iman dan Takwa) ternyata terkendala biaya. Keberadaannya pun seolah dianaktirikan dari lembaga pendidikan umum, baik secara finansial ataupun infrastruktur. Hal inilah yang disinyalir pendirian pesantren banyak menggunakan dana pribadi dan dana umat (donatur), padahal dulu kontribusinya terhadap negara bukan main-main, menjadi garda terdepan perjuangan melawan penjajah.
Perjuangan Ponpes yang dibantu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai inisiator RUU Pesantren hingga dorongan agar berbuah Perpres akhirnya tercapai. Yakni Perpres Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren yang mengatur dana abadi pesantren. Atas keberhasilan ini, Sekretaris Jenderal DPP PPP, Arwani Thomafi sampai menggelar acara mujahadah dan tasyakuran di Ponpes Ma’had Baitul Arqom Al Islami Kabupaten Bandung. (newsdetik.com, 16/9/2021)
Tanggung Jawab Negara Tak Perlu Perpres
Menjadi hal yang menggelitik untuk dikritisi ketika perjuangan Ponpes mengkader santri berkualitas harus dihadapkan pada sikap abai penguasa. Sebab, perhatian serta pelayanan yang mestinya diterima Ponpes tak kunjung ada. Mungkin bukan hanya Ponpes yang merasakan kondisi ini, lembaga pendidikan lain pun ada yang tak mendapat pengurusan pemerintah. Terlebih di tengah hadangan wabah, karut-marut dunia pendidikan semakin terasa, baik secara teknis maupun nonteknis.
Penguasa dalam institusi negara, seharusnya paham akan tanggung jawabnya memenuhi kepentingan rakyat tanpa harus diminta. Namun, inilah kenyataan di alam demokrasi kapitalisme yang membuat negara tak memiliki kesadaran akan hak dan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Rakyat hanya dianggap penting bila musim pemilu tiba, tapi begitu pemilihan usai, yang menjadi utama adalah pengusaha penyokong dana. Penguasa bisa dengan mudah membuat regulasi dan memberi fasilitas pada mereka, sementara untuk rakyat dibiarkan mencari solusi ala kadarnya.
Negara dalam cengkeraman demokrasi kapitalisme mendorong rakyat harus menuntut haknya terlebih dahulu melalui perundang-undangan. Begitu juga tentang keberadaan pesantren, baru diakui negara beberapa tahun terakhir melalui UU No. 18/2019. Padahal aturan yang memuat tanggung jawab negara memenuhi hak rakyat telah tersusun dalam UUD’45, salah satunya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sayangnya, UU ini belum mengakomodir pesantren sebagai lembaga formal dan seolah tak ada kewajiban apapun bagi negara memenuhi kebutuhan pesantren.
Dengan lahirnya Perpres No. 82/2021 bukan berarti kesejahteraan pesantren benar-benar terpenuhi. Pasalnya, sistem demokrasi kapitalisme tak memiliki perhatian penuh terhadap urusan agama. Jika pun satu pesantren sejahtera, belum tentu akan dirasakan sama oleh pesantren yang lain, terlebih jika pesantren berbasis ideologi Islam. Yaitu pesantren yang tidak menerima intervensi ataupun arahan pemerintah sekuler dengan program yang datang dari Barat, semisal moderasi. Bukankah sudah menjadi watak khasnya kapitalisme, saat negara memberi bantuan No Free Lunch?
Negara Berbasis Syariat Islam, Penuhi Hak Mendasar Masyarakat
Satu-satunya mewujudkan tanggung jawab negara tanpa diminta, adalah dengan mengganti sistem yang ada. Sistem yang akan menjadikan penguasa bertanggung jawab penuh melayani urusan publik, termasuk hak mendasar mereka berupa pendidikan. Sistem inilah yang disebut sistem pemerintahan Islam. Sebuah sistem yang berideologikan Islam, warisan yang datang dari Rasulullah Saw.
Seorang pemimpin dalam Islam dan juga rakyat yang menjadi warga negaranya, mengetahui betul aturan yang terkandung dalam syariat Islam. Mengajarkan tentang pentingnya ilmu dan keutamaannya, wajib hukumnya mencari ilmu, wajib pula mengamalkannya, juga peran pemimpin serta umat dalam kewajiban tersebut. Imam Syafi’i pernah berkata: “Belajarlah, karena tidak ada orang yang terlahir dalam keadaan berilmu.”
Dalam sebuah riwayat Imam ath-Thabrani, Rasulullah Saw. bersabda: “Belajarlah kalian dan mengajarlah. Dan hormatilah guru-guru kalian, serta berbuat baiklah kepada yang mengajarkan kalian.”
Keberadaan negara, di samping berkewajiban menciptakan lingkungan kondusif untuk pendidikan, ia juga hadir sebagai fasilitator dan regulator terlaksananya pembelajaran. Tak ada pemilahan ilmu dunia ataukah ilmu akherat, ilmu praktis maupun terapan. Yang pasti pembelajaran ini menjadi sarana peningkatan ketakwaan individu. Guru-guru yang kompeten, handal, amanah, dan berkepribadian Islam.
Tidak cukup sampai di situ, penghargaan negara terhadap guru dan karya mereka dipresentasikan dengan bayaran yang tinggi dan jaminan kesejahteraan luar biasa. Ditambah lagi ketersediaan bahan ajar, gedung, buku, laboratorium, perpustakaan, asrama dan fasilitas lainnya dengan nol biaya, membuat kenyamanan belajar terimplementasi dalam semangat membangun generasi dan peradaban gemilang Islam.
Jadi, masyarakat dalam kepemimpinan Islam tak membutuhkan Perpres agar negara bertanggung jawab ataupun mendesak adanya dana abadi pendidikan. Mereka hanya perlu saling menasehati dan saling introspeksi.
Kasih sayang yang terbentuk dalam jiwa kaum muslim menjadikan interaksi antara penguasa dan rakyat tanpa jarak. Sebab, yang membedakan di antara keduanya hanyalah tanggung jawab dan ketakwaannya. Sebagaimana firman Allah Swt.: ….”Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (TQS. al-Hujurat: 13)
Begitu pula dengan kesadaran bahwa kepeminpinan itu adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Hal ini sesuai sabda Rasulullah Saw.: “Seorang imam itu adalah raa’in (pemimpin), ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya (rakyat).” (HR. Bukhari)
Wallahu a’lam bi ash Shawwwab.
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi