Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa)
BEBERAPA tahun terakhir publik kerap mengkritik lakon sebagian media massa dan awaknya yang dinilai pro kekuasaan. Kekuasaan tak melulu Presiden, Menteri, DPR, DPRD, Gubernur, Bupati atau Walikota dan sebagainya. Tapi juga pengendali ekonomi atau elite media massa itu sendiri. Atau, paling tidak media massa hanya sibuk menebar berita dan iklan para politisi yang berhasrat untuk ikut pesta politik. Advokasi publiknya pun minim, bahkan terkesan enggan.
Mungkin di era serba bebas seperti ini boleh-boleh saja bertindak dan memilih langkah itu. Cuma saya sebagai pembaca dan sesekali menjadi penikmat framing media massa dan awaknya kadang kesal juga. Apalagi kalau awak media massa sibuk membela pejabat, itu bikin kesal banget. Soalnya apa? Lah pejabat diberi mandat oleh rakyat agar konsisten dengan mandat, bukan jungkir balik ke sana ke mari sesuai selera sendiri dan para donatur alias pengusaha yang membiayai langkah politiknya.
Ditambah lagi bila politisinya belum beres dengan mandat yang satu, eh malah sibuk mau kejar kursi mandat yang baru. Emang berbagai janji politik sudah mulai ditunaikan? Emang seabrek janji yang disampaikan secara berbusa-busa di musim kampanye Pileg, misalnya, sudah mulai digarap? Atau semua itu sekadar parade janji dan basa-basi? Pada kondisi demikian, kalau media massa atau awaknya malah menjadi corong pejabat atau politisi semacam itu dan enggan mendengar substansi suara dan kritik warga atau publik, warga juga jadi kesal dan bosan. Kesal dan bosannya bakal berjangka panjang dan pasti tersebar di basis massa dan berbagai level warga masyarakat.
Ya, kalau kalangan media massa enggan menebar daya kritis, karena bias interest atau kepentingan pemimpin atau redaksi media massa, misalnya; atau tak sesuai selera alias kepentingan awak media massa; biarlah warga atau netizen yang membuat dan menebar tulisan sendiri sebagai wujud kritik atas segala hal yang tak wajar.
Sekarang banyak mediumnya. Kalau media massa seperti media cetak dan online yang konon sering melabel diri sebagai arus utama (entah dapat dari mana tuh label) engga punya kepedulian terhadap suara dan rintihan hati publik, ya publik masih punya media lain. Ada media sosial seperti Website, Blog, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp dan serupanya. Semuanya gratis. Praktisnya, langsung menulis lalu publikasi.
Jadi, di saat keadilan berita dan opini serta framing media massa atau awak media massa dirasa tak sesuai selera publik, maka publik sejatinya punya media arus utamanya sendiri bahkan lebih update. Selain gratis, ini lebih bebas dan bisa diakses kapan saja. Selama sehari full, 24 jam. Namanya media sosial. Ya itu adalah media sosial. Tulisan lepas yang berisi kritikan bisa diungkap atau dishare di situ. Lagi-lagi, sangat gratis tanpa biaya iklan ini itu. Ini adalah era kemerdekaan netizen. Bersuara tanpa beban dan tak dihimpit rasa takut, katanya. Lagian ngapain takut?
Website, Blog, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp dan serupanya adalah lidah rakyat paling ampuh. Karena semuanya sekarang bisa diakses dan digerakkan dari kampung dan desa-desa. Di saat media massa atau awak media massa dinilai tak hadir sebagai pencerah dan pembela publik tapi malah menjadi penebar selera atau menjadi lidah pejabat publik, maka netizen akan menggunakan medianya sendiri. Media semacam ini lebih luas jangkauannya dan bisa diakses seketika di mana dan kapan pun.
Dan, hal ini yang penting untuk dicatat: media massa dan awaknya bisa-bisa dilupakan netizen atau pembaca. Saya tidak sedang menakut-nakuti media massa, tapi sekadar mengingatkan betapa netizen di zaman ini sangat kritis, merdeka dan bebas. Dengan daya kreasi dan inovasinya mereka bisa membuat media arus utama era baru ala mereka sendiri. Ini baru mantap dan luar biasa. Dengan daya kreatifnya netizen bisa menghadirkan tradisi kritis melalui laman media sosial yang mereka miliki, bahkan bisa jadi lebih update, faktual, kekinian dan relevan. (*)