Oleh: Ummu Munib
(Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial)
LIBURAN sekolah semester satu telah usai. Kini para pelajar sudah hampir satu purnama kembali memasuki bangku sekolah pada semester genap. Pada semester genap tahun ajaran 2021/2022 ini semua siswa wajib melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Orangtua atau wali peserta didik tidak lagi dapat memilih metode pembelajaran yang diinginkan.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jumeri selaku Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbudristek, dalam diskusi daring, Senin (3/1/2022). Ketetapan tersebut diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). (Republika.co.id, 4/1/2022)
Masih dari laman yang sama diberitakan bahwa terhadap kebijakan tersebut telah menuai kontra. Salah satunya datang dari Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ia mengatakan,“Ngeri-ngeri sedap, penerapan kebijakan PTM 100 persen saat Omicron makin merangkak. Kini Jakarta mencapai PPKM level II.” Untuk itu Tulus meminta agar pemerintah mencermati kebijakan PTM 100 persen, karena khawatir kesehatan murid dan guru malah dikorbankan demi PTM ini.
Kalau kita cermati, kebijakan PTM ini memang sudah direncanakan oleh pemerintah sejak setahun lalu, yaitu untuk beberapa daerah yang sudah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh satuan tugas Covid-19, dan memenuhi ketentuan yang diatur dalam SKB 4 Menteri yakni Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri tertanggal 21 Desember 2021 Nomor 05/KB/2021. Namun siapa sangka varian virus baru yang bernama Omicron datang melanda.
Menurut data Kementrian Kesehatan yang disampaikan oleh Siti Nadia Tarmidzi selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, mengatakan “Kasus Omicron yang dilaporkan sampai Kamis (27/1/2022) adalah 1.766.” (Merdeka.com, 27/01/2022)
Terhadap kebijakan PTM ini sungguh sebuah dilema bagi banyak pihak, terlebih para orangtua. Selama pandemi yang berlangsung kurang lebih dua tahun, mereka mendampingi pembelajaran anak secara daring dari rumah. Para ibu harus bekerja keras dan membagi waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pendampingan belajar. Bahkan mereka kerap membagi keuangan yang ada untuk membeli kuota demi pembelajaran daring.
Di sisi lain tak jarang anak-anak tidak optimal menyerap pelajaran. Mereka merasa bosan belajar tanpa kehadiran guru dan berjumpa dengan teman-teman secara langsung. Banyak siswa mengaku merasa kesulitan mengerjakan tugas-tugas sekolah di masa daring yang harus dikerjakan, sehingga para ibunya yang harus terjun membantunya. Tak hanya murid dan orangtua, kesulitan pun dialami para guru, salah satunya ketika tidak semua anak didik mempunya fasilitas untuk daring, maka guru kebingungan menyampaikan materi. Mereka harus mengunjungi rumah murid di tengah ancaman wabah. Kini orangtua awalnya merasa lega ada pembelajaran tatap muka, namun kelegaan itu sirna menjadi rasa was-was, mereka harus melepaskan anak-anak ke sekolah di tengah kehadiran Omicron yang bisa memangsa dimana urusannya lebih berat, yakni nyawa.
Memang pembelajaran tatap muka di tengah pandemi begitu riskan, untuk itu tidak boleh dilakukan sembarangan. Walaupun telah dilakukan vaksinasi kepada para guru, tenaga kependidikan serta para murid, namun risiko terjadinya penularan penyakit masih sangat tinggi. Untuk itu negara harus menjamin agar pembelajaran tatap muka ini dapat berlangsung aman. Salah satunya dengan menyediakan sarana dan prasarana di sekolah maupun di luar sekolah. Seperti sarana transportasi, kemudian pengawasan protokol kesehatan juga harus tetap dijaga. Memang pendidikan merupakan kebutuhan yang mendasar, namun kesehatan juga tak kalah penting. Sesuatu yang harus diutamakan terlebih saat pandemi masih melanda.
Pertanyaannya, akankah sistem Kapitalisme yang berasas manfaat menyediakan secara full sarana dan prasana untuk keamanan pelaksanaan PTM?
Jauh panggang dari api, berharap kepada sistem kapitalisme hanyalah harapan semu. Sistem ini sangat menghitung untung rugi, rasanya jauh untuk menyediakan fasilitas penunjang pendidikan yang aman. Dalih terbatasnya anggaran menjadi kendala utama. Negara tampak enggan mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan PTM secara maksimal. Bahkan anggaran pendidikan misalnya dipangkas untuk biaya inftrastruktur Ibu Kota Negara yang baru.
Itulah sejatinya watak Kapitalisme, dimana negara memosisikan diri sebagai pembuat kebijakan atau regulator saja. Campur tangan negara sangat minim dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Disamping itu problem anggaran kerap muncul karena prinsip kebebasan kepemilikan. Sumber daya alam yang melimpah sejatinya merupakan kepemilikan umum, pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta. Negara hanya mendapatkan pemasukan sebagian kecil saja, sehingga tidak ada dana yang cukup untuk memenuhi urusan rakyat secara maksimal, salah satunya pendidikan.
Diperparah dengan adanya asas sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Para pemimpinnya kian tak merasa berdosa ketika abai atas keselamatan dan nyawa rakyat, terbukti dengan tidak pernah mengambil opsi memutus secara total wabah sedari awal karena pemikiran kapitalistiknya. Tak heran jika pandemi terjadi berkepanjangan.
Berbeda dengan negara yang menerapkan aturan Islam. Islam mewajibkan penguasa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat sampai tataran individu baik sandang, pangan, dan papan. Dimana hal itu dipenuhi secara tidak langsung, yaitu dengan menciptakan berbagai lapangan kerja yang sangat luas.
Hal ini bukanlah sebuah utopis sebab dalam sistem Islam sumber daya alam adalah kepemilikan umum yang dikelola oleh negara dan haram diserahkan kepada pihak swasta apalagi asing. Sedangkan untuk kesehatan, pendidkan, dan keamanan akan dipenuhi secara langsung. Artinya, negara wajib menyediakan fasilitas sarana dan prasana tanpa ada pungutan biaya.
Selain itu, penguasa akan membuat kebijakan utama dalam menangani pandemi, yaitu karantina wilayah sehingga virus akan terlokalisasi karena tidak ada pergerakan yang signifikan antar daerah.
Sejarah mencatat bahwa Rasulullah saw. melakukan karantina wilayah, memerintahkan agar masyarakat menghindari wilayah yang terkena wabah dan untuk tetap berada di wilayah tempat tinggal. Beliau bersabda,
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR.Bukhari).
Selain kebijakan karantina, penguasa juga akan membuat kebijakan dalam bidang pendidikan yang mampu menjamin agar para peserta didik mendapat jaminan keselamatan nyawa dan kecemerlangan pemikiran. Melalui kurikulum sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam, akan menjamin tersampaikannya materi pembelajaran sesuai target pendidikan. Dimana tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islami. Maka muatan nafsiyah (pola sikap) dan aqliyah (pola pikir) Islam akan menjadi bagian dari setiap materi pelajaran.
Dengan memakai kurikulum sistem pendidikan Islam, penerapannya akan tetap bisa dilakukan walaupun di tengah keterbatasan karena pandemi. Jika tidak memungkinkan tatap muka, negara akan memanfaatkan teknologi dengan cara daring tentu dengan fasilitas yang memadai. Jika dimungkinkan tatap muka maka negara wajib menyediakan sarana prasarana yang menjamin keamanan dari virus, baik di dalam maupun di luar sekolah, selain tetap melakukan pengawasan terhadap protokol kesehatan. Terlebih adanya karantina wilayah yang ketat maka mudah sekali bagi pemerintah untuk mengarahkan bahwa di dalam wilayah wabah dengan cara daring, sementara di luar wilayah wabah tetap PTM seperti biasa.
Semua fasilitas akan disediakan oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab penguasa kepada rakyatnya. Adapun seluruh pembiayaannya diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum). Dimana salah satunya boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Negara akan memberi dukungan penuh untuk kepentingan pendidikan rakyatnya.
Demikianlah Islam sangat menjamin terselenggaranya pendidikan walaupun di tengah pandemi. Keselamatan rakyat sangat menjadi prioritas, karena nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga. Sungguh Islam sebuah agama sekaligus aturan kehidupan yang sempurna yang datang dari Sang Maha Pencipta. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. (*)