Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa)
INDONESIA adalah sebuah negara besar yang memiliki potensi alam tak berbilang. Jumlah pulaunya banyak, daratan dan lautannya luas, serta kekayaan yang dikandungnya benar-benar tak terhitung. Jumlah penduduknya kini sekitar 270 juta jiwa, dengan warna kulit, ras, suku, budaya, adat istiadat dan profesi warganya yang beragam. Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas warga negara, sehingga menyebabkan Indonesia menjadi negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, yang diikuti oleh beberapa negara mayoritas muslim lainnya.
Negeri ini berpengalaman dijajah dalam rentan waktu yang cukup lama. Konon tiga abad lebih lamanya, walau sebagian mengatakan hanya beberapa tahun. Walau begitu, negeri ini tak kehilangan jejak dan visi masa depan. Berbagai nilai-nilai luhur yang menjadi pijakan warganya sejak lama masih terjaga dengan baik hingga kini. Beradab, sopan, santun, tolong menolong, gotong royong, menghargai sesama, dan menghormati perbedaan masih menjadi aksi hidup masyarakat. Penjajah pun sejatinya gagal menghilangkan nilai-nilai unggul kita tersebut sebagai sebuah bangsa yang berperadaban atau berkemajuan.
Sebagai penduduk mayoritas, warga muslim sangat wajar bila pada praktik kehidupannya selalu berpijak pada Islam. Sebab Islam sendiri memiliki nilai-nilai unggul yang sangat relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia lintas zaman, lebih khusus lagi bagi umatnya. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, keadilan, kebersamaan, tolong menolong, musyawarah, dan berbagai nilai lainnya sangat memungkinkan umatnya menjadi umat yang berperadaban maju sekaligus umat yang tengahan atau wasatan. Dan, nilai-nilai tersebut sudah dielaborasi dan ditransmisi ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bila ditelisik lebih mendalam lagi, lima sila pada Pancasila merupakan adaptasi struktural sekaligus tranmisi kultural dari ajaran Islam. Dalam Islam mengandung konsep-konsep luhur tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Islam menjunjung tinggi keesaan Allah, menghormati martabat manusia secara adil, mementingkan persatuan daripada perpecahan, mengutamakan musyawarah daripada sikap otoriter, dan mengedepankan keadilan sosial bagi semua dan bukan monopoli segelintir kelompok.
Diksi-diksi dalam Pancasila pun adalah diksi-diksi yang sangat akrab dengan Islam bahkan diksi dari Islam itu sendiri. Ketuhanan merupakan terjemahan untuk al-ilahiyah, kemanusiaan adalah arti al-insaniyah, persatuan merupakan arti kata al-itihadiyah, musyawarah adalah terjemahan al-musyawarah dan keadilan merupakan terjemahan dari kata al-adl. Bahkan kata adab merupakan terjemahan untuk kata al-adab. Kata berkat dalam konstitusi kita (Pembukaan UUD 1945) pun bermakna berkah atau kebaikan yang berlipatganda dan dampaknya meluas. Semua itu adalah diksi sekaligus terminologi dalam Islam.
Dengan demikian, sejatinya tak ada masalah dengan lima sila dalam Pancasila. Bila pun dicari masalahnya, maka masalahnya adalah pelaksanaan Pancasila yang asal-asalan. Biangnya adalah pemahaman dan tafsir atas Pancasila yang melenceng jauh dari rumusan para tim perumus. Hal lain, para elite kerap “menjual” Pancasila hanya untuk kepentingan politik tertentu dan sesaat, bukan untuk menjalankan Pancasila secara sungguh-sungguh dan jangka panjang. Padahal yang dibutuhkan adalah model manusia yang tingkah lakunya mencerminkan Pancasila untuk waktu yang lama. Keteladanan para elite untuk menjadi negarawan sejatilah yang membuat Pancasila kokoh tapi juga mau dipahami oleh seluruh warga negara secara tulus.
Kalau saja kita memahami Pancasila secara utuh dan bukan sentimen politik, maka Pancasila bakal menjadi sumber yang autentik bagi setiap warga negara dalam menjalankan peran sosial kemasyarakatan juga kebangsaan bahkan kenegaraannya terutama umat Islam. Bila semua elemen memahami perbedaan sebagai ciri sekaligus karakter yang bersifat given atau pemberian dari Allah kepada bangsa sekaligus negara kita Indonesia maka tak ada yang berupaya menghancurkannya dengan tindakan korupsi, kriminalitas, teror, saling melecehkan, saling menepikan dan sebagainya.
Umat Islam sendiri punya tanggungjawab syar’i dan moral untuk menjaga keutuhan negara yang kita cintai ini. Upaya untuk memecah belah mesti dihindari dan disudahi dengan cara-cara yang santun dan beradab. Segala ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu mesti diekspresikan secara cerdas atau diuji di lembaga negara yang berwenang. Begitu juga bila hendak mengoreksi berbagai peraturan perundang-undangan, mesti ditempuh melalui jalur-jalur yang konstitusional. Jihad konstitusi ke lembaga yang berwenang merupakan jihad yang tak kalah pentingnya dengan jihad pendidikan dan ekonomi bila memang kondisinya meniscayakan untuk itu.
Hal lain, umat Islam mesti menyadari bahwa kekalahan dalam kompetisi politik, misalnya, bukan akhir dari perjuangan umat, sebab itu hanya satu aspek dari banyak aspek yang bisa diisi dan dilakoni dengan baik. Betul bahwa politik punya dampak besar pada aspek kehidupan lainnya. Namun masih banyak aspek lain yang bisa kita jalankan dan isi dengan baik. Kebebasan menjalankan ajaran agama di negeri kita ini adalah anugerah yang sangat indah sekaligus besar.
Mendalami sumber agama pun dibuka lebar, begitu juga menjalankan ajaran agama semuanya terbuka bagi semua. Hanya saja kita kerap enggan atau malas hingga berbagai kesempatan hanya diisi untuk berkerumun dan menepikan upaya mengokohkan barisan. Padahal kita punya agenda besar yaitu terus menerus meluruskan dan merapatkan barisan, sembari menjalankan peran-peran terbaik sebagai wujud kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa dan negara kita.
Betul, faktanya upaya untuk menghadirkan instabilitas nasional ada saja dan muncul dalam beragam bentuk. Bukan saja yang berasal dari dalam negeri sendiri tapi juga dari luar negeri. Namun, bagaimana pun kondisinya kapal Indonesia tidak boleh kita biarkan tenggelam dan hancur lebur. Berbagai karang yang mungkin saja menghambat lajunya tidak boleh membuatnya berhenti melaju ke masa depan sejarah baru. Sebab tantangan yang muncul sangat mungkin kita hadapi dengan hati yang jernih dan akal yang sehat. Apalah lagi peluang yang berada dan hadir di depan sangat memungkinkan negara kita untuk menjadi kekuatan besar dan memimpin kemajuan dunia.
Ormas Islam Persatuan Ummat Islam (PUI) sangat layak memimpin keragaman bangsa menuju masa depan sejarah baru itu. Dengan konsep ishlah-nya berupa al-ishlah at-tsamaniyah (delapan konsep, strategi atau solusi perbaikan): yaitu (1) perbaikan aqidah (al-ishlah al-aqidah), (2) perbaikan ibadah (al-ishlah al-ibadah), (3) perbaikan pendidikan (al-ishlah at-tarbiyah), (4) perbaikan keluarga (al-ishlah al-ailah), (5) perbaikan masyarakat (al-ishlah al-mujtama), (6) perbaikan adat istiadat (al-ishlah al-adah), (7) perbaikan perekonomian (al-ishlah al-iqtishodiyah) dan perbaikan umat keseluruhan (al-Ishlah al-ummah).
Dengan delapan hal yang saya sebut sebagai “peta jalan” tersebut, PUI perlu dan layak memimpin semangat kolektivisme elemen bangsa agar Indonesia semakin kokoh dan tangguh. Hal lain, PUI perlu memimpin elemen bangsa agar semakin dewasa dalam memahami keragaman sebagai anugerah yang perlu kita hormati. Kemampuan untuk mencari titik temu di tengah keragaman dan kepentingan anak bangsa adalah sebuah modal yang layak kita miliki dalam mengokohkannya sebagai sebuah bangsa dan negara besar.
Fokus pada agenda-agenda konstruktif dan menjauhkan sikap-sikap destruktif merupakan modal lain yang terus kita jaga dengan baik. Itulah agenda penting yang mesti kita giatkan di tahun 2022 ini dan ke depan. Sebab itulah yang membuat bangsa dan negara kita tak hancur lebur hanya karena menabrak karang kecil. Ya, kapal Indonesia tak boleh tenggelam atau hancur, sebab kita masih ada dan takdir Indonesia selayaknya memimpin dunia! (*)