Oleh: Ummi Nissa
(Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga)
MULUTMU harimaumu, ungkapan ini selaras dengan apa yang menimpa salah satu mantan politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean dalam cuitannya yang diunggah di media sosial pada Selasa (4/1/2022).
Ia mengungkapkan ‘Allahmu ternyata lemah harus dibela’. Akibat cuitannya ini, ia pun harus menanggung resiko berupa penahanan oleh pihak kepolisian. Di mana sebelumnya didahului adanya pelaporan atas penistaan terhadap agama.
Di saat proses penegakan hukum berlangsung, tiba-tiba muncul beragam pembelaan tehadap mantan politisi Demokrat ini. Sebagaimana dikutip dari Wartaekonomi.co.id (9/1/2024), Menteri Agama Gus Yaqut meminta warga agar tidak melontarkan cacian tapi harus tabayun (minta penjelasan).
Menurutnya, sangat mungkin bagi Ferdinand yang mualaf belum memahami agama Islam secara mendalam, termasuk dalam hal akidah. Ia pun mengajak masyarakat untuk menghormati proses hukum serta tidak terburu-buru menghakiminya.
Padahal tentu wajar jika umat Islam merasa tersakiti dengan peristiwa ini. Sehingga pantas pula jika meminta aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi yang adil. Tetapi yang aneh justru adanya upaya pembelaan yang bahkan dilakukan petinggi negara yang notabene lembaga keagamaan.
Di sisi lain masyarakat pun tentu bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang mualaf yang telah meyakini Islam selama kurang lebih 4 tahun, namun masih dikatakan belum memahami agamanya secara mendalam? Apalagi ini berkaitan dengan masalah akidah. Ada apa sesungguhnya di balik semua ini?
Mengungkap Penyebab Munculnya Kasus Penistaan Agama yang Terus Berulang
Fakta terkait penistaan agama seringkali terjadi di negeri ini. meskipun di antara pelaku ada yang telah dihukum akan tetapi tidak memberi efek jera. Bahkan sebagian ada yang telah dilaporkan tetapi tidak diproses. Sehingga mereka tetap bebas tanpa jeratan hukuman. Ketidakadilan dalam penegakan hukum inilah yang menjadikan kasus penistaan agama terus berulang. Bahkan Menteri Agama juga seolah melakukan pembelaan agar masyarakat tidak membuat kegaduhan yang lebih besar. Padahal negeri ini mayoritas muslim, akan tetapi ketika umat Islam meminta keadilan hukum dianggap membuat kegaduhan.
Kini negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini telah kehilangan jati dirinya. Sebab nilai-nilai agama telah dipisahkan dari kehidupan. Sekulerisme menjadi pemahaman yang mendominasi pemikiran umat kini. Hal ini tampak dari cara pandang terhadap aturan agama yang hanya ditempatkan di ranah ibadah semata. Bahkan berpindah-pindah keyakinan dianggap sesuatu yang wajar, sebab bagian dari masalah pribadi dimana negara dan pihak lainnya tidak berhak ikut campur. Ini sebagai konsekuensi negara menjamin kebebasan individu dalam beragama.
Selain itu juga dalam sistem sekuler negara menjamin kebebasan individu dalam berpendapat, berekonomi, dan bertingkah laku. Kebebasan berpendapat sering dijadikan sebagai argumen para pelaku penista agama. Hal ini pula yang telah melahirkan orang-orang berani mengeluarkan pendapat yang menghina agama bahkan Allah Swt.. Mereka bebas melontarkan pemikiran atau perkataan sesuai hawa nafsunya, tanpa mempertimbangkan apakah pemikiran atau pendapatnya itu benar atau tidak. Selama tidak mengganggu kebebasan orang lain, dianggap sah-sah saja.
Apalagi kini di tengah gencarnya arus moderasi beragama. Seakan umat Islam harus menerima keberagaman yang kebablasan di negeri ini. Sikap toleran mesti dijunjung tinggi terhadap siapapun yang memiliki perbedaan baik agama ataupun pendapat. Umat dilarang untuk ekstrem terhadap salah satu keyakinan. Sebaliknya harus mengakui kebenaran setiap agama.
Oleh sebab itu diperlukan sebuah aturan yang tegas sehingga memberikan efek jera bagi para pelaku agar kasus serupa tidak terulang. Ditambah harus ada penguasa yang amanah supaya hukum dapat diterapkan secara adil. Semua ini hanya dapat ditemukan dalam aturan Islam.
Aturan Islam Terkait Keimanan
Sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an bahwa Islam adalah agama yang sempurna.
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(QS. Al-Maidah: 3)
Kesempurnaan Islam terdapat dalam aturannya yang komprehensif ketika mengatur seluruh aktivitas manusia. Baik masalah akidah (keimanan) maupun syariat yang mencakup: ibadah, ekonomi, sosial, sanksi, sampai masalah pemerintahan. Dengan demikian akidah dan syariat Islam adalah perkara penting yang harus eksis di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu dibutuhkan peran negara untuk mewujudkannya. Atas dasar ini, negara tidak akan menoleransi pemikiran, pendapat, perbuatan, atau sistem hukum yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam, apalagi penghinaan terhadap Allah Swt..
Dalam pandangan Islam harus dibedakan antara pemahaman akidah dan syariat. Akidah merupakan perbuatan hati, sesuatu yang diyakini kebenarannya yakni berkaitan dengan keimanan. Sementara syariat merupakan perbuatan fisik yang dilakukan sebagai konsekuensi dari iman. Oleh karena itu percaya kepada Allah Swt. sebagai Zat yang Maha Kuat adalah bagian sesuatu yang harus diyakini. Sementara pembelaan terhadap agama Allah (Islam) adalah bagian dari syariat yang dituntut untuk dilakukan sebagai bukti keimanan kepada-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Menolong agama Allah dalam ayat di atas bukan merarti menunjukkan Allah itu butuh pertolongan. Namun kewajiban orang yang beriman untuk membela agamanya agar keagungan Allah Swt. tegak di muka bumi. Sehingga keimanan kepada Allah bagian dari akidah sementara membela agama Allah bagian dari syariat.
Terkait dengan ancaman hukuman bagi orang yang menistakan agama maka berat sekali hukumannya. Sebab bagi pelaku yang menghina agama Allah serta Rasul-Nya semua ulama sepakat sebagai perbuatan dosa besar baik pelakunya muslim ataupun nonmuslim. Sehingga hanya penguasa yang memiliki ketegasan yang dapat melakukannya. Hal ini akan memberi efek jera bagi pelaku serta mencegah bagi yang lainnya untuk tidak mengulang kasus yang sama.
Dengan demikian agar masyarakat memahami akidah dan syariat maka kedua hal ini mesti diterapkan dalam kehidupan secara menyeluruh. Untuk itu dibutuhkan ketakwaan individu dalam memahami agamanya. Serta peran serta masyarakat dengan amar makruf nahi mungkar supaya aturan dapat diterapkan. Selain itu peran negara pun menjadi hal yang paling penting untuk menerapkan seluruh aturan Islam dalam kehidupan masyarakat. Termasuk dalam memberikan edukasi bagi rakyatnya yang muslim untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan lurus dalam masalah akidah.
Akan tetapi bukan berarti semua warga harus beragama Islam sebab dilarang memaksakan agama kepada orang lain. Bahkan negara pun memberi jaminan dalam beragama sekaligus menjaga akidah umat agar tetap lurus. Begitu pula membolehkan mengeluarkan pendapat sepanjang tidak bertentangan dengan akidah. Hal ini diwujudkan dalam bentuk amar makruf nahi mungkar baik kepada masyarakat ataupun menguasa. Semua ini akan terlaksana dalam sebuah masyarakat yang konsisten menerapkan aturan Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)