Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa)
SABTU 5 Februari 2022 bertepatan dengan tanggal pendirian organisasi mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI didirikan pada 5 Februari 1947 silam, hanya setahun lebih pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. 5 Februari 2022 adalah syukuran ke-75 tahun atas pendirian HMI.
Organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia ini didirikan di Yogyakarta oleh Lafran Pane seorang mahasiswa tingkat satu (smester 1) Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Melalui latar belakang yang suci Lafran Pane beserta 14 pendiri lainnya berhasil mengantarkan HMI menjadi organisasi mahasiswa yang melahirkan banyak tokoh yang berada di semua bidang dan telah berkarya dan mengabdi untuk bangsa selama setengah abad lebih. Dalam kiprahnya, HMI telah banyak melahirkan tokoh-tokoh besar dan berpengaruh di berbagai lini. Sejak didirikannya HMI konsisten akan fungsinya yang tertuang dalam pasal 8 Anggaran Dasar (AD) HMI yaitu organisasi kader.
Sebagai organisasi Islam yang tumbuh-besar di Indonesia, komitmen Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akan keislaman dan keindonesiaan tidak perlu diragukan lagi. Di tubuh HMI, keduanya tidak dipertentangkan, melainkan memiliki keterhubungan dan keserasian. Keduanya menjadi senyawa yang membesarkan HMI dan membuatnya semakin berkontribusi bagi perubahan peradaban bangsa. Termasuk dalam menggapai Indonesia emas 2045 nanti.
Hal tersebut bisa dilacak dan dipahami setidaknya dengan dua hal yaitu secara historis dan nilai. Pertama, secara historis, HMI didirikan untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam dalam berbagai sendi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dari awal berdiri sampai saat ini, tujuan tersebut membentuk sekaligus meneguhkan komitmen HMI terhadap keislaman dan keindonesiaan itu sendiri. Sehingga, dalam setiap era, para kader dan alumni HMI yang menyebar di berbagai sektor kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan turut serta aktif membangun bangsa dan negara ini sesuai dengan peran dan kemampuan masing-masing.
Kita bisa dengan mudah menjumpai kader dan alumni HMI berperan di pelbagai lapisan masyarakat, entah di pemerintahan, non-government organization (NGO), dunia usaha, akademik, dokter, dan lain sebagainya. Termasuk di berbagai organisasi masyarakat berbasis massa Islam. Bila faktanya memang demikian maka sangat tepat bila salah satu jenderal besar Indonesia, Jendral Soedirman, menyatakan HMI sebagai “Harapan Masyarakat Indonesia”.
Kedua, secara nilai. Secara nilai, HMI memegang teguh dengan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Berislam berarti memegang teguh nilai-nilai Islam dan tidak terjebak pada formalitas semata. Nilai-nilai ini tertuang dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang menjadi pedoman kader-kader HMI dalam berjuang dan bergerak di Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi pijakan dan standar kader-kader HMI dalam bergerak dan menghadirkan berbagai perubahan menuju ke arah yang lebih baik di berbagai sektor kehidupan.
Dengan nilai-nilai tersebut, kader HMI, akan selalu berusaha berjuang mewujudkan keadilan, kebaikan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. HMI dengan seluruh potensinya akan berupaya dengan sungguh-sungguh mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, serta diridhoi oleh Allah. Tantangan dan hambatan yang bisa saja hadir, tidak akan menjadi alasan bagi HMI untuk berhenti bergerak dan enggan melangkah. Justru semua itu menjadi pemantik dan pemicu bagi HMI untuk semakin tangguh dan kokoh dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasinya.
Dalam konteks mengokohkan keislaman, ke depan HMI perlu melakukan dua hal yaitu memperkuat tradisi pengilmuan Islam dan melakukan proses islamisasi atas berbagai ilmu pengetahuan yang tercemari berbagai isme yang menabrak dasar dan nilai-nilai lihur keislaman. Pengokohan keislaman tak cukup dengan klaim dan pidato, perlu dielaborasi dan diwujudkan dalam tindakan juga perilaku ril. HMI pun bukan saja menjadi narator keislaman tapi juga aplikator dan penebarnya.
Bila dulu HMI akrab disematkan sebagai “Santri Kota”, maka saat ini dan ke depan sematan semacam itu bukan sekadar sematan kosong, tapi dibuktikan dengan tradisi kajian keislaman di HMI. Mengkaji saja tidak cukup, sebab apa yang dikaji mesti diamalkan dalam kehidupan ril. Termasuk menebar nilai-nilai dan pesan moral Islam ke seluruh kehidupan publik. Betul bahwa Islam tak butuh formalistik di level negara, namun nilai-nilai dan pesan moral Islam dapat dijadikan pijakan dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks mengokohkan keindonesiaan, HMI perlu membangun tradisi internal organisasinya dalam berbagai mata tradisi. Sekadar contoh, HMI perlu melakukan penelitian seputar berbagai permasalahan yang merundung Indonesia, lalu menemukan solusi atau jalan keluarnya. Dalam konteks ini, HMI perlu menggalang kekuatan kadernya di berbagai perguruan tinggi, menguatkan tradisi penelitian ilmiah.
Hal lain, HMI perlu melahirkan narator keindonesiaan. Di sini HMI perlu terus mendalami Indonesia dari berbagai perspektif dan sudutnya. Sejarah perjuangan dan pendirian Indonesia mesti dikaji secara mendalam agar HMI tak kehilangan jejak sejarah bangsa hingga kelak menjadi negara besar. Pancasila yang menjadi dasar negara yang diakui bersama oleh seluruh elemen bangsa perlu ditafsirkan secara kontekstual lalu dipublikasi sehingga menjadi diskursus publik.
Berbagai ide dan narasi keindonesiaan, tentang masa depan baru dan apresiasi HMI atas kemajuan informasi berbasis digital juga perlu mendapat perhatian HMI. Dengan demikian HMI tidak ketinggalan zaman dan bahasa zamannya. Apalah lagi kalangan muda terutama mahasiswa era ini dan ke depan butuh sumber ide, teman diskusi dan lawan diskusi yang cerdas dan memiliki gagasan futuristik, serta punya irisan dengan masa depan mereka, maka HMI perlu lebih kreatif dan adaptif lagi. Bukan saja dalam aspek disiplin dan tradisi organisasi tapi juga dalam hal narasi dan kontribusinya.
HMI adalah salah satu elemen penting dalam tubuh umat Islam dan Indonesia. Karena itu kehadiran dan kontribusi HMI masih terus dinanti oleh masyarakat luas, terutama umat Islam. Pada momentum syukuran ke-75 tahun ini HMI mengangkat tema “Arah Baru HMI; Berdaya Bersama Menuju Indonesia Emas 2045”. Dengan menggiatkan kembali beberapa hal di atas maka tema tersebut semakin menemukan konteksnya.
Hambatan dan tantangan mungkin saja dihadapi ke depan, namun kita berharap semoga HMI semakin kokoh dalam menebar nilai-nilai luhur Islam dan Indonesia ke seluruh pelosok penjuru negeri dan dunia! (*)