Oleh: Syamsudin Kadir
(Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat)
AGAMA Islam itu sejatinya mudah dan memudahkan siapapun. Bila ada kesulitan dalam menjalankannya, bisa jadi kita belum memahami secara detail substansi ajarannya. Atau bisa jadi itu merupakan ujian dari Allah agar kita semakin kokoh dan teguh pada jalan-Nya. Sehingga belajar tentangnya cukup pada ulama yang faqih, berwawasan luas, ibadahnya terjaga dan akhlaknya mulia. Hal ini terlihat dari perkataan, perbuatan dan tingkah lakunya sehari-hari. Tanpa pencitraan dan basa-basi.
Begitulah yang dilakoni oleh begitu banyak masyarakat selama ini. Mereka ingin belajar agama tanpa bayar dan paksaan dari siapapun. Mereka merindukan penceramah atau da’i yang tidak berharap pada amplop jamaah atau masyarakat. Mereka ingin keteduhan dalam beragama tanpa hina menghina, iri, dengki dan caci maki.
Mereka pun belajar kepada Dr. Khalid Zeed Abdullah Basalamah, Lc., M.A. atau lebih dikenal sebagai Ustadz Dr. Kholid Basalamah. Beliau sosok yang bisa bergaul dengan semua kalangan dan murah senyum. Tak ada hujatan pada ceramah dan kajiannya, semuanya dalam koridor yang semestinya. Bisa dicerna oleh akal sehat dan mudah diaplikasikan.
Ya, siapa yang tak mengenal beliau yang santun dalam berdakwah ini. Bahkan pada beberapa fitnah yang ditujukan beliau, beliau malah yang meminta maaf pertama kali. Bayangkan, dalam posisi benar pun beliau memilih untuk meminta maaf. Beliau sendiri lahir pada 1 Mei 1975 di Makassar, Sulawesi Selatan. Belakangan, selain sebagai da’i yang mashur di Indonesia dan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan sebagainya, beliau juga memimpin sekolah Rahmatan Lil ‘Alamin Boarding School di Kabupaten Solok, Sumatra Barat.
Satu hal yang paling unik lagi, beliau berdakwah tanpa mengibarkan bendera kelompok yang selama ini kerap mewarnai masyarakat. Satu fenomena yang belakangan masyarakat dibuat bingung mana agama dan mana tradisi. Menurut beliau, agama Islam itu benar adanya, sementara tradisi tak selalu begitu. Dulu minuman keras adalah tradisi, setelah Islam datang ia menjadi haram. Begitu juga tradisi lainnya yang diluruskan oleh Islam. Beliau pun hanya fokus mendakwahkan Islam dengan lemah lembut dan menjawab berbagai persoalan keumatan dengan argumentasi yang jelas.
Dengan begitu, ceramah sekaligus kajian beliau pun diikuti oleh semua kalangan tanpa sekat-sekat kelompok beragam latar belakang. Semuanya bisa diakses oleh siapapun, apapun suku, ras bahkan keyakinannya. Tak ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan. Semuanya terbuka dan mudah diakses secara gratis oleh semua kalangan. Kita bisa saksikan sendiri di berbagai momentum, begitu banyak yang hadir mengikuti kajian beliau. Sebelum masa pandemi, misalnya, ada ribuan orang yang hadir. Pada masa pandemi pun sama. Kita bisa lihat sendiri berapa jumlah masyarakat yang menyaksikan kajian beliau melalui berbagai akun media sosialnya.
Ya, forum atau majelis beliau pun bisa dihadiri oleh semua orang yang bergama latar belakangnya. Mereka juga berasal dari berbagai kota atau daerah bahkan tak sedikit yang menyaksikan kajian beliau dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan sebagainya. Bahkan bisa jadi mereka yang sekadar memata-matai ceramah beliau pun turut hadir atau mengikutinya. Tapi setiap kali itu pula beliau tegaskan bahwa yang beliau sampaikan hanyalah ajaran Islam sesuai dalil yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunah, di samping penjelasan para sahabat dan ulama atas kedua sumber tersebut.
Ada yang menarik dan perlu juga disampaikan kepada masyarakat luas bahwa selama ini beliau berceramah atau mengisi berbagai kajian tanpa dibayar alias nihil amplop. Beliau diundang lalu datang. Beberapa kali dijemput, namun sering kali datang sendiri. Beliau menggunakan biaya sendiri bahkan kendaraan atau tiket pesawat sendiri. Tak ada ceritanya beliau mengemis pada jamaah untuk mendapatkan amplop atau transferan uang untuk kebutuhan beliau dalam rangka ceramah atau mengisi pengajian. Beliau benar-benar mengandalkan biaya sendiri. Bahkan di beberapa forum malah beliau yang memberi sumbangan agar acaranya lancar. Ini untuk kemajuan Islam, bukan kampanye politik yang basa-basi atau punya tujuan jahat yang tersembunyi!
Hal semacam itu sangat wajar, sebab beliau bukan sekadar menjadi da’i yang aktif mengisi ceramah dan kajian di berbagai tempat. Beliau juga membangun unit usaha, bukan satu unit tapi banyak unit. Unit usaha yang beliau miliki tentu saja halal dan bermanfaat bagi sesama seperti berbisnis kayu dan emas serta restoran. Beliau bukan pembisnis minuman keras, bukan pengusaha narkotika, bukan pemilik hotel tempat kumpul kebo, bukan penggiat kelompok LGBT, bukan pemimpin teroris, bukan pedagang wanita seks bebas, bukan perampok kekayaan negara, bukan maling APBN atau APBD, dan bukan pengemis anggaran di berbagai kementrian.
Beberapa waktu terkahir, video rekaman ceramah atau kajian beliau sekitar empat tahun lalu dipermasalahkan oleh segelintir orang. Kala itu beliau memberi jawaban atas pertanyaan jamaah yang hadir pada forum pengajian beliau. Materinya banyak, termasuk seputar taubatnya seorang dalang dan sebagainya. Tak ada upaya merendahkan dan menghina siapapun di video tersebut. Beliau pun membatasi penjelasannya dari sudut pandang syariat, konteksnya adalah pertanyaan jamaah. Tapi ya begitulah tingkah mereka yang punya niat buruk, iri dan dengki pada beliau. Video beliau diolah sedemikian rupa sehingga disebar dalam bentuk narasi yang menimbulkan kegaduhan.
Beliau pun dilaporkan ke pihak berwajib atau kepolisian. Tanpa menunggu lama, polisi pun bergerak cepat untuk memastikan apakah pada ceramah beliau dalam video tersebut mengandung unsur pelanggaran hukum atau tidak. Dan ternyata menurut pihak kepolisian, tak ada unsur pelanggarannya. Pihak yang melaporkan dinilai tak mampu menghadirkan barang bukti yang valid. Laporannya pun dinilai tak memenuhi standar hukum. Dalam kondisi demikian, tak sedikit tokoh ormas yang mencaci maki sosok da’i yang lembut dan santun dalam berdakwah ini. Di berbagai status media sosial dan dialog di TV serta wawancara di media massa mereka mengecam isi ceramah itu.
Bayangkan, selevel elite saja masih terjebak pada konten para bazzer dan pemburu anggaran negara yang kerjanya menggoreng isu sehingga tujuan syahwatnya tercapai: melanggengkan islamophobia alias anti Islam. Karena kelompok ini tidak punya pekerjaan halal, mereka hanya sibuk mencari celah untuk merendahkan kelompok yang berbeda pandangan dengan kelompoknya tanpa memperhatikan akal sehat dan hati nurani. Demi rupiah mereka berani menghina dan menghujat siapapun yang berbeda dengan keyakinan leluhurnya.
Bahkan ada elite yang menumpang di isu ini untuk meningkatkan popularitas. Tak tanggung-tanggung, setiap hari bikin status di akun media sosial yang menegaskan bahwa dirinya sangat cinta pada budaya bangsa. Lalu di kolom komentar ada yang bertanya “Bagaimana kalau istri atau anak gadis Anda hanya mengenakan pakian dalam lalu pergi ke mall tanpa rasa malu lalu berdalih ini budaya warisan bangsa?” Komentator lain bertanya, “Bagaimana bila nanti anak Anda mabuk-mabukan di jalan raya lalu membunuh istri Anda tanpa rasa malu lalu berdalih ini minuman khas daerah anu sebagai bagian dari budaya bangsa?” Dan masih banyak komentar lainnya.
Sebetulnya nalar elite dan kelompok semacam itu bisa dipatahkan secara mudah dan seketika, termasuk seperti yang ditanyakan oleh para komentator di atas. Sebab mereka tidak cukup pengetahuan untuk menalar agama dan wawasan lainnya kecuali yang sesuai dengan selera nafsu syahwatnya. Tapi ya begitu, karena mereka kerap berteriak sehingga mereka seakan-akan hebat.
Padahal sejatinya mereka mengalami sakit jiwa yang akut. Orang berceramah, orang sukses berbisnis bahkan orang sukses berdakwah mereka malah sakit jiwa alias kesurupan masal. Elite dan kelompok semacam ini sama-sama terjangkit virus berbahaya dan menjijikkan: iri, dengki, hasut dan islamophobia alias tidak waras.
Adapun Dr. Kholid Basalamah dan pengikutnya tetap waras dengan tetap memilih konsisten menjadi da’i yang mandiri dan istiqomah pada jalan-Nya. Bagi yang waras tentu belajar agama dan berdakwah pada yang waras, bukan pada mereka yang sakit jiwa. (*)