Oleh: Ummi Nissa
(Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga)
PANDEMI yang telah berjalan hampir dua tahun, telah berdampak pada berbagai sektor kehidupan tidak terkecuali pendidikan. Learning loss (mundurnya proses belajar siswa) menjadi salah satu dampak sosial negatif yang muncul akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Kemampuan literasi anak SD kelas 1 di Indonesia tertinggal enam bulan, sementara numerasi setara tertinggal lima bulan belajar. Kondisi inilah yang menjadi salah satu pendorong bagi pemerintah mengeluarkan kebijakan sistem Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen.
Akan tetapi keputusan ini perlu untuk dievaluasi terutama dalam pelaksanaannya. Apalagi di saat penularan virus Covid-19 dan varian baru Omicron tengah meningkat kembali. Terkait hal ini Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Syaifudian, menilai pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) serentak yang sudah berjalan perlu dilakukan perbaikan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona terutama varian Omicron.
Menurutnya yang perlu diperhatikan dalam PTM bukan hanya vaksinasi guru, tenaga pengajar, dan anak, tetapi juga penerapan protokol kesehatan (prokes). Apalagi ia menemukan berbagai kelalaian terkait hal tersebut di beberapa satuan pendidikan. Seperti terjadinya kerumunan orang tua saat penjemputan, siswa yang membuka masker saat guru keluar kelas, ruangan yang sempit sehingga tidak semua sekolah mengatur jarak 1 meter antar kursi murid, juga tidak semua sekolah menerapkan chcek in aplikasi Peduli Lindungi. (tribunnews.com, 18/1/2022)
Begitu pula Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen. Sebab KPAI melihat munculnya varian Covid-19 Omicron di Indonesia menjadikan anak-anak rentan menjadi korban. Selain itu ia menilai komitmen kepala daerah juga sangat penting agar melaksanakan penyelenggaraan PTM terbatas jika tingkat positif kasus Covid- 19 di wilayahnya berada di bawah 5 persen. (republika.co.id, 25/1/2022)
Jika dicermati, keputusan pemerintah untuk pembelajaran dengan PTM 100 persen menghadapi dilema dalam pelaksanaannya. Hal ini dirasakan oleh berbagai pihak pelaku pendidikan. Baik pihak orangtua, guru, maupun sekolah. Satu sisi ingin meningkatkan kualitas pendidikan yang selama pandemi mengalami learning loss (kemunduran belajar), sisi lainnnya PTM 100 persen tidak ingin menjadi penyebab munculnya klaster baru kasus positif Covid-19 dan varian baru Omicron.
Adanya dilema dalam pelaksanaan PTM 100 persen ini wajar saja muncul. Sebab realitasnya beragam kelalaian terjadi dalam menjalankan protokol kesehatan saat PTM berlangsung, bahkan ada yang sampai muncul kasus positif. Sementara pemerintah merasa telah bertanggung jawab dengan mengeluarkan panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi. Hal tersebut telah disesuaikan melalui ketetapan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri. Seolah tanggung jawab dalam merealisasikan program ini dikembalikan kepada orangtua, satuan pendidikan, ataupun kepala daerah setempat.
Sejatinya dilema dalam pendidikan bukan saja terjadi saat pandemi. Jauh sebelumnya beragam masalah datang silih berganti. Kesenjangan pendidikan antara perkotaan dan pedesaan, ataupun yang kaya dan miskin. Semuanya ini disebabkan karena negeri ini menganut sistem kehidupan Kapitalisme sekuler. Di mana peran negara sangat minim dalam memenuhi hak-hak rakyatnya.
Dalam pengaturan Kapitalis sekuler kebutuhan pokok rakyat berupa sandang, pangan, dan papan, juga kebutuhan umum seperti keamanan, kesehatan, termasuk pendidikan menjadi tanggung jawab setiap individu. Negara hanya berperan sebagai regulator yang menetapkan aturan, sementara pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pihak lain. Padahal negara memiliki peran yang sangat penting bagi terselenggaranya sebuah pendidikan.
Jauh berbeda dengan sistem Islam, di mana pendidikan merupakan hak rakyat yang wajib untuk dipenuhi oleh negara. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
“Seorang pemimpin adalah raa’in (pengurus) yang bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya. ” (HR. Bukhari)
Dalam hadis di atas menunjukkan bahwa pemimpin memiliki kewajiban untuk mengatur dan mengurus seluruh kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan. Jika PTM memang mesti dilaksanakan, negara harus punya langkah strategis. Sebab peran serta orang tua juga pendidik terbatas dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Sehingga negara tidak cukup mengeluarkan panduan sebagai acuan merealisasikan program, tetapi semestinya benar-benar hadir dalam pelaksanaaan regulasi yang telah ditetapkan.
Selaku penanggung jawab utama terhadap masa depan pendidikan, maka negara harus bergerak lebih aktif melakukan pengawasan serta pengontrolan terhadap aktivitas PTM. Terlebih saat gelombang virus varian Omicron mengancam negeri ini.
Sebagai konsekuensi atas kebijakan wajib PTM 100 persen, negara wajib menyiapkan semua kebutuhan fasilitas semua orang untuk menaati protokol kesehatan (prokes). Ketika negara berani memutuskan, maka harus berani pula memikul tanggung jawab tersebut. Negara wajib memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana sekolah untuk mendisiplinkan setiap warga sekolah.
Jika negara tidak menyediakan fasilitas protokol kesehatan di masing-masing satuan pendidikan, maka berakibat pada kesenjangan. Sebab, kemampuan setiap individu dan sekolah dalam memfasilitasi anak-anak mereka tidaklah sama.
Sebaliknya orang tua siswa juga harus memiliki pemahaman yang sama tentang peran dan tanggung jawabnya dalam pendidikan, terlebih dalam kondisi pandemi. Ada protokol kesehatan yang semestinya dijalankan pula oleh orang tua tidak hanya anak-anaknya. Semua itu wajib dipahami dalam rangka memutus laju penyebaran virus.
Begitu pula sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tentunya menjadi contoh terdepan dalam menjalankan protokol kesehatan. Kedisiplinan dalam menjalankan prokes selama terselenggaranya PTM 100 persen menjadi salah satu kunci mengendalikan virus agar tidak menyebar.
Dengan demikian dilema saat menjalankan PTM akan dapat diatasi dengan adanya sinergis antara pihak orang tua, sekolah, juga peran aktif negara. Tiga komponen ini menjadi hal penting dalam merealisasikan hak pendidikan bagi seluruh generasi. Wallahu a’lam bi ash shawab. (*)