Oleh: Nuni Toid
(Pegiat Literasi dan Member AMK)
TIBA-tiba saja sosok artis, sekaligus penceramah Oki Setiana Dewi (OSD) menjadi bahan sorotan. Ia dianggap telah menormalkan perilaku KDRT terkait isi ceramahnya yang menutupi aib suami di hadapan orangtua. Akhirnya setelah video itu viral, OSD pun meminta maaf atas penyampaian dalam ceramahnya dan dengan tegas bahwa ia mengharamkan KDRT dan menolak keras adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. (kompas.com, 4/2/2022)
Dilansir tribunnews.com (5/2/2022), Ketua Tanfidziyah PBNU, Alissa Wahid, menyayangkan isi ceramah artis sekaligus penceramah OSD soal kekerasan dalam rumah tangga. Ia menegaskan bahwa KDRT tidak boleh dianggap sebagai aib yang harus ditutupi, sebab ia merupakan bentuk kekerasan yang semestinya diselesaikan.
Begitu juga pernyataan dari Ketua MUI Bidang Pengkajian Penelitian dan Pengembangan, Utang Ranuwijaya. Menurutnya tindakan KDRT tidak pernah dibenarkan dalam ajaran Islam. Sebab bukan ajaran dari Rasulullah. KDRT juga sama dengan penganiayaan yang merugikan orang lain.
Sebenarnya potongan video tersebut sudah disampaikannya dua tahun yang lalu di Magelang, Jawa Tengah saat OSD sedang membahas kehidupan rumah tangga (tribunnews.com, 4/2/2022). Namun kini tiba-tiba ter-blow up ke publik, bahkan menjadi bahan gorengan renyah bagi kaum feminis untuk mengacak-acak dan menyudutkan syariat Islam. Meski yang bersangkutan telah meminta maaf, tetap saja menjadi bahan acuan untuk menyerukan hak-hak kaum wanita dalam kacamata mereka.
Pada kenyataannya istilah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah hal yang baru. Hal tersebut merupakan konsep lama yang telah dipopulerkan oleh kaum feminis. Ia berhasil masuk dalam ranah perundang-undangan, yaitu UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Ironisnya, penerapan UU tersebut tidak membuat kasus-kasusnya berhenti. Justru seperti lingkaran semu yang terus menggulirkan masalah-masalah baru. Sebagai contoh, bila pihak istri melaporkan suaminya karena KDRT walau akhirnya pihak suami berhasil dihukum, pertanyaannya, apakah sudah selesai masalah yang dihadapi pihak perempuan?
Tentu tidak, justru muncul lagi masalah lain. Karena tidak ada yang menafkahinya, maka dengan terpaksa sang istri harus rela bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Mereka pun terpaksa mengabaikan pengasuhan dan pendidikan terhadap anak-anaknya. Akhirnya timbul lagi problem yang lebih parah, yakni telantarnya anak-anak sebagai generasi umat.
Begitulah persoalan perempuan akan terus terjadi di dunia, tak terkecuali negeri ini. Sebab kaum feminis menganggap bahwa akar masalah KDRT terjadi karena ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Kaum perempuan dipandang seolah di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Hingga kaum perempuan sebagai pihak yang lemah dan akan terus tertindas menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Begitulah pemikiran kaum feminis. Hingga mereka menuntut agar kaum perempuan disejajarkan dengan kaum laki-laki, tak terkecuali dalam rumah tangga. Maka argumen mereka, posisi tersebut tidak akan memunculkan lagi tindakan kekerasan yang menimpa perempuan. Astaghfirullah.
Padahal sesungguhnya, akar persoalan marak dan berulangnya kasus KDRT itu lebih disebabkan karena negara menerapkan sistem Kapitalisme dengan prinsip batil, yaitu Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Hingga mereka pun dalam menjalani kehidupannya tidak mau mengindahkan aturan Allah Swt.
Maka bermunculan pribadi-pribadi yang tidak paham tugas, fungsi, dan hak kewajiban suami istri. Hal itu yang menjadi salah satu sebab terjadinya KDRT. Seperti seorang istri yang tidak memahami akan kewajibannya dalam rumah tangga, baik perannya sebagai istri, ummu warabbatul bayt, taat pada suami selama perintahnya tak bertentangan dengan aturan agama, menjaga izzah dan muruah, menutup aurat, menjaga harta suami dan kewajiban lainnya.
Itu bisa menyebabkan kekacauan dalam rumah tangganya. Karena perintah Allah-lah bahwa istri harus taat pada suami dan mampu mengurus rumah serta mendidik para putra-putrinya. Namun karena ketidakpahamannya, banyak istri yang berani melawan suaminya, menelantarkan anak-anaknya, bersikap kasar, dsbnya.
Sebaliknya suami pun demikian. Seharusnya para suami mampu menjadi imam, pemimpin yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Tapi karena ketidakpahamannya disebabkan pengaruh Sekularisme, mereka pun banyak yang memerlakukan istri dengan tidak baik. Bahkan anak-anaknya pun kadang menjadi sasaran amarahnya. Para ayah/suami tersebut kerap ringan tangan, mudah marah dan akhirnya terjadilah kekerasan dalam rumah tangga.
Begitupun dengan paham liberal (kebebasan) yang mengikatnya. Menjadikan apa yang mereka anggap benar akan dijalaninya. Seperti lihatlah, bagaimana sekarang banyak kaum perempuan yang tergoda dengan bekerja di luar rumah. Kebanyakan dari mereka karena ingin mendapatkan penghasilan sendiri. Hingga mulai melupakan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Hal itu juga kerap memudarkan ketaatan istri pada suami. Belum lagi gaya hidup yang hedonis, semua serba wah, namun suami tak bisa memuaskannya makanya tidak sedikit istri yang tega berselingkuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang glamor. Ditambah keadaan hidup saat ini yang semakin sulit karena sistem ekonomi yang dikuasai para kapitalis. Hingga para suami banyak yang kesulitan mencari nafkah.
Akibatnya banyak terjadi pengangguran. Ini juga salah satu sebab mengapa bisa terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ada demikian banyak lagi permasalahan yang dapat melatarbelakangi terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga saat ini. Miris bukan?
Itulah sistem Kapitalisme yang memeluk prinsip sekuler liberal yang telah mengakar sekian lama membelenggu umat manusia dan kaum muslim. Kaum feminis menjadikan aturan itu sebagai asas dalam kehidupannya. Tentu saja keadaan ini membuat kaum muslimin semakin bingung sehingga terseret kian jauh dari aturan agama-Nya.
Berbeda dengan bagaimana sistem Islam memandang hal ini. Islam adalah agama lurus yang berasal dari Allah Swt. Bukan hanya mengatur ibadah ritual saja. Namun Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan rumah tangga suami istri.
Islam memiliki pandangan yang khas dalam urusan rumah tangga sekaligus solusi tuntas terhadap berbagai masalah yang terjadi di dalam hubungan suami istri. Maka agar tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Islam mempunyai aturan yang sempurna. Di antaranya:
Pertama, Islam menetapkan bahwa kehidupan rumah tangga adalah hubungan persahabatan. Hubungan ini sarat dengan kasih sayang, ketenangan, kedamaian, ketenteraman satu sama lain. Agar persahabatan itu menghasilkan keluarga yang sakinah mawadah warahmah, Islam memberikan hak yang adil kepada suami istri. Suami memiliki hak atas istri, demikian pula istri memiliki hak atas suami. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang artinya, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.”
Kedua, Islam memerintahkan pergaulan yang baik (makruf) antara suami dan istri. Allah Swt. berfirman yang artinya, “Dan bergaullah dengan mereka secara makruf (baik).” (QS An-Nisa: 19)
Dalam rumah tangga, Rasulullah saw. merupakan sahabat karib bagi istri-istrinya. Beliau bergaul dengannya secara baik. Seperti dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra. “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istrinya) dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluarga (istri).”
Ketiga, Islam menetapkan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga. Kehidupan suami istri, ada kalanya terjadi permasalahan yang membuat suasana kurang baik. Untuk itu Allah Swt. menetapkan kepemimpinan rumah tangga (qiyadah al bayt) di tangan suaminya. Dalilnya firman Allah Swt. dalam surat An-Nisa ayat 34 yang artinya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
Adapun jika dalam perjalanan rumah tangga seorang istri membangkang (nusyuz) pada suaminya, maka suami berkewajiban menasihati dan mendidik istrinya dengan penuh kasih sayang. Sebagaimana firman-Nya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS An-Nisa: 4)
Pukulan yang dimaksud adalah pukulan ringan yang tidak membahayakan atau menyakiti istrinya. Begitupun suami hanya punya kewenangan memberikan sanksi bila istrinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Sebab suami adalah pihak yang bertanggung jawab (qawwam) atas pengaturan dan pemeliharaan urusan rumah tangganya agar tetap berada dalam koridor syariat.
Walau begitu, suami tidak boleh bertindak otoriter atau seperti seorang penguasa yang tidak bisa dibantah. Akan tetapi kepemimpinan suami di dalam rumah tangga adalah membimbing, mengatur, mendidik dan memelihara urusan-urusan rumah tangga untuk senantiasa taat pada aturan Allah Swt.
Dengan demikian, ada hak suami untuk melakukan tindakan fisik kepada istri dengan batasan yang ketat. Hal itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan istri dalam kondisi yang membahayakan. Sebaliknya suami mempunyai kewajiban untuk menjaga, melindungi istri dari berbagai ancaman yang membahayakan.
Keempat, Islam menetapkan mekanisme penyelesaian masalah dalam rumah tangga. Ketika timbul persengketaan antara suami istri yang mengancam ketenteraman, Islam mendorong mereka untuk bersabar dan meredam kebencian di antara mereka. Sesuai firman Allah Swt. “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa: 19)
Namun, bila semua itu tidak membawa hasil, sementara masalah kebencian dan pembangkangan telah melampaui batas. Islam memerintahkan agar ada pihak ketiga dari keluarga suami istri tersebut untuk mendamaikannya. Bila tetap tidak mampu menyelesaikannya, dan tidak ada ruang untuk mempertahankan kehidupan suami istri tersebut, maka hanya dapat diselesaikan dengan cara talak (perceraian). Agar keduanya semoga mendapatkan ketenangan dalam mengatasi problem itu. “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan adalah Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana.” (QS An-Nisa: 130)
Dalam Islam jika ada pihak, baik suami atau istri melakukan tindakan fisik tanpa hak kepada pasangan/keluarganya maka Islam mengkategorikannya sebagai jarimah (kriminalitas). Maka negara akan memberikan sanksi terhadapnya sesuai dengan ketentuan syariat-Nya. Bentuk sanksinya bisa berupa uqubat, hudud, ta’zir, jinayah dan mukhalat. Itulah sanksi bagi para suami atau istri yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Islam pun tak akan membiarkan perilaku jarimah meski ada dalam domestik di dalam rumah tangga.
Begitulah Islam yang telah berabad-abad lamanya menjadi mercusuar dunia. Maka hanya kesempurnaan Islamlah satu-satunya solusi tuntas dari semua problematika kehidupan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Oleh karena itu, sudah saatnya kaum muslimin menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bish shawab. (*)