Oleh: Syamsudin Kadir
(Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jabar dan Inisiator Forum Penulis PUI)
SALAH satu warisan terbaik para tokoh pendiri Persatuan Ummat Islam (PUI) pada generasi selanjutnya selain nilai-nilai perjuangan dan lembaga pendidikan adalah tradisi literasi. KH. Abdul Halim, selain sebagai ulama dan pendidik hebat, beliau juga sosok negarawan dan penulis produktif. Begitu juga KH. Ahmad Sanusi, beliau adalah ulama, pendidik, negarawan dan penulis produktif. Itu menandakan bahwa PUI didirikan oleh sosok hebat, termasuk hebat sekaligus handal dalam hal kepenulisan. Sehingga mereka pun bisa dikategorikan sebagai Bapak Literasi PUI sekaligus Indonesia.
Bila menelisik perjalanan PUI selama beberapa dekade terakhir setelah meninggalnya para tokoh pendiri, satu hal yang membutuhkan perhatian bagi keluarga besar PUI adalah salah satu warisan para tokoh pendiri itu, yaitu tradisi literasi terutama tulis menulis. Hal ini menjadi penting, sebab selain sebagai upaya melanjutkan lakon sejarah para tokoh pendiri, ia juga merupakan media yang mudah dimanfaatkan untuk mengenalkan PUI ke masyarakat luas. Tentu yang dikenalkan bukan saja para tokoh pendiri dan tokoh-tokoh selanjutnya, tapi juga nilai dan doktrin PUI serta gagasan sekaligus narasi para tokoh PUI termasuk generasi mudanya dalam beragam tema juga isu.
Lebih jauh, tradisi literasi yang digeliatkan di PUI akan dapat menjadi syiar organisasi dan media bagi PUI untuk mengenalkan diri ke masyarakat luas secara lebih masif. Dengan demikian, tradisi ini mesti menjadi perhatian para pimpinan sekaligus keluarga besar PUI. Apalah lagi pada era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin kompetitif dan liar ini, konsep PUI pada literasi bukan sesuatu yang bersifat sampingan lagi. Literasi memang bukan saja tulis menulis, tapi juga literasi pengetahuan, ekonomi, budaya, sosial dan sebagaianya. Namun tradisi tulis menulis merupakan tradisi yang sangat urgen dan relevan untuk digeluti oleh PUI.
Dalam konteks yang lebih ril atau praktis, saya mengusulkan beberapa hal sebagai berikut, pertama, PUI perlu membentuk forum khusus yang menekuni tradisi kepenulisan di PUI. Mungkin untuk awalan tak perlu dibentuk dalam dalam struktur yang formal, tapi cukup dibentuk dalam format kultural. Hal ini dilakukan agar tidak kaku dan lebih dinamis juga fleksibel. Tujuannya sederhana saja yaitu menyatukan potensi kepenulisan di PUI. Sehingga siapapun yang pernah menulis: buku, artikel, novel, cerita pendek, puisi dan sebagainya di PUI bisa bergabung di forum ini.
Saya bersyukur karena beberapa waktu lalu berinisiatif untuk membentuk forum kultural namanya Forum Penulis PUI. Anggotanya berasal dari seluruh pengurus dan anggota PUI yang pernah menulis bermacam-macam karya tulis seperti buku, artikel, novel, cerita pendek, puisi dan mereka yang punya panggilan jiwa pada dunia kepenulisan. Forum ini memang masih dalam bentuk forum kultural, bahkan baru menyatu di group WhatsApp “Forum Penulis PUI”, namun geliatnya sudah mulai terasa. Hal ini menjadi pemantik sekaligus pendobrak awal yang melakukan berbagai hal yang memungkinkan tradisi kepenulisan di PUI ke depan semakin geliat.
Forum ini diikuti oleh para tokoh dan generasi muda lintas organisasi otonom yang beraktivitas dan berasal dari bergama profesi. Dari politisi, ulama, dosen, guru, pegiat sosial, dan masih banyak lagi, termasuk beberapa diantaranya mereka yang selama ini sudah lama menggeluti dunia literasi. Untuk sementara ini belum ada pertemuan formal, tapi komunikasi di group WhatsApp sudah mulai berjalan dengan baik. Beberapa anggota group pun sudah mengusulkan beberapa hal yang mesti dieksekusi ke depannya. Misalnya, perlu mengadakan pelatihan kepenulisan, pelatihan jurnalistik, dan audisi kepenulisan, hingga publikasi tulisan di berbagai surat kabar dan majalah, di samping publikasi tulisan di berbagai media online juga media sosial. Bahkan bila memungkinkan, selanjutnya menerbitkan buku, termasuk menjalankan fungsi “Ghost Writer” bagi para tokoh yang kesulitan di waktu.
Kedua, memaksimalkan fungsi media internal PUI seperti Website dan Majalah sebagai corong PUI. Hal ini menjadi penting agar memudahkan keluarga besar PUI mengakses berita dan informasi terkait PUI dari berbagai level strukturnya. Bahkan dengan memanfaatkan secara maksimal fungsi media akan memudahkan masyarakat luas mengenal PUI, dari doktrin, kegiatan dan gagasan para tokohnya. Termasuk berbagai advokasi sosial yang sudah dilakukan oleh PUI selama ini. Tentu hal ini bisa berjalan dengan baik manakala tersedianya para jurnalis dan penulis yang handal sekaligus produktif.
Lebih praktis saya mengusulkan agar di berbagai struktur organisasi PUI mendelegasikan sebagian sumber daya manusia (SDM)-nya yang menggawangi fungsi media. Website resmi PUI yang dikelola oleh DPP PUI masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai pusat media PUI. Bila pun di berbagai wilayah dan daerah sudah memiliki website tersendiri, diharapkan berbagai konten yang ada di dalamnya bisa dishare secara masal, termasuk melalui website PUI yang dikelola DPP PUI. Hal lain, apapun kegiatan PUI di berbagai level struktur dan organisasinya mesti dipublikasi melalui media resmi PUI, di samping media eksternal sebagai mitra.
Ketiga, pembentukan dan pemberdayaan perpustakaan PUI. Pada era teknologi diakui keberadaan perpustakaan menjadi semakin tak produktif lagi. Namun pemahaman semacam itu tak sepenuhnya benar. Sebab faktanya di hampir semua perpustakaan buku masih dikunjungi oleh banyak pembaca, begitu juga toko buku masih dikunjungi banyak pengunjung. Karena itu, di setiap struktur PUI dari pusat hingga paling bawah mesti memiliki perpustakaan. Tak perlu mewah-mewah, cukup yang sederhana saja. Bila pun ke depan ada inisiasi perpustakaan berbasis digital, itu bisa kita perbincangkan di momentum selanjutnya.
Kembali ke perpustakaan buku, minimal nantinya tersedia buku-buku tentang PUI atau karya tokoh PUI dari pertama berdiri hingga kini. Di samping berbagai majalah, surat kabar, hasil penelitian dan sebagainya. Termasuk buku-buku yang dibutuhkan dalam mengelola organisasi dan memperluas wawasan anggota seperti kepemimpinan, ekonomi-bisnis, sosial-politik, dakwah, ibadah atau keagamaan, pendidikan, dan sebagainya. Saya mengapresiasi apa yang dilakukan oleh pengelola Balai Permusyawaratan Muslimin (Bapermin) di Majalengka-Jawa Barat beberapa waktu terakhir. Dimana beberapa ruangan diisi beragam judul buku dan majalah, bahkan meja dan kursi bagi pengunjung juga disediakan. Bukan itu saja, air dan cemilan seperlunya pun disediakan juga. Pengelolaan perpustakaan semacam ini cukup menarik dan bisa diadaptasi oleh berbagai wilayah dan daerah di seluruh Indonesia.
Bila saja ketiga poin tersebut mendapatkan perhatian lalu bisa dikelola dan difungsikan dengan baik maka ke depan PUI semakin punya daya tarik juga taring. Apalah lagi berbagai isu keumatan dan kebangsaan direspon secara aktif dan disikapi dengan kritis, lalu diformulasi dalam bentuk opini dan berita maka itu menambah daya magnet PUI bagi masyarakat luas.
Di samping menerbitkan pemikiran para tokoh dan generasi muda PUI dalam bentuk buku. Memang lakon semacam ini seakan-akan sekadar pamer citra, namun di era teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang semacam ini melakukan berbagai langkah dan memanfaatkan berbagai media menjadi penting. PUI adalah ormas Islam tertua, karena itu berbagai elemen di PUI memiliki tanggungjawab moral untuk terus menjaga tradisi para tokoh pendiri, termasuk untuk mencerahkan sekaligus mencerdaskan masyarakat luas. Singkatnya, sudah saatnya menyalakan kembali api literasi PUI! (*)