Oleh: Syamsudin Kadir
(Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat)
MENGENAL dan menelisik Pak Mohamad Natsir (Pak Natsir) dari berbagai aspeknya adalah salah satu tugas sejarah yang layak kita tunaikan pada era ini. Bukan bermaksud mengkultuskan sang tokoh, tapi ikhtiar menemukan saripati pemikiran beliau, di samping pemahaman dan sikapnya dalam menghadapi berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam skala nasional juga internasional.
Beliau adalah sosok pejuang yang konsen dengan dunia literasi, terutama tradisi baca dan tulis. Sekadar menyebut sebagian buku karya beliau diantaranya: Islam Sebagai Dasar Negara, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila, Fikih Dakwah, Capita Selecta, Kebudayaan Islam Dalam Perspektif Sejarah, Dunia Islam Dari Masa Ke Masa, ad-Din au al-Ladiniyyah dan sebagainya.
Salah satu ungkapan bergizi yang selalu terngiang dalam benak saya dari ungkapan beliau yang terrekam baik dalam buku berjudul “Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antar Generasi” adalah “Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut!”.
Ungkapan ini selalu saya sampaikan kembali pada saat saya diundang sebagai pemantik diskusi atau narasumber berbagai forum di beberapa Kota dan Kampus. Buku yang tergolong langka ini mencoba mengungkapkan pribadi Pak Natsir yang tercermin dari pemikirannya tentang berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam era itu dan era sebelumnya. Ia bersumber dari wawancara langsung dengan tokoh yang menguasai beberapa bahasa asing dan terkenal dengan kesederhanaannya ini.
Buku kecil ini sendiri merupakan olahan dari sebagian kecil wawancara dengan Pak Natsir. Wawancara berseri terjadi sekitar tahun 1986 sampai dengan 1987. Wawancara dilakukan oleh beberapa intelektual muslim yang pada era itu masih tergolong muda yaitu Pak Mohamad Amin Rais, Pak Kuntowijoyo, Pak Endang Saefudin Ansari, Pak Yahya A. Muhaimin dan Pak Ahmad Watik Pratiknya.
Waktu itu mereka mendatangi atau bertemu langsung tokoh cerdas asal Sumatra Barat yang hobi membaca dan menulis serta dikenal sebagai penggagas berdirinya perguruan tinggi Islam ini. Wawancara tersebut pada dasarnya lebih merupakan forum belajar bagi mereka yang tergolong muda era itu. Sehingga judulnya pun mewakili latar atau situasi tersebut. Walaupun mereka yang mewawancara bukan satu-satunya elemen yang masuk kategori intelektual muda era itu. Tapi mereka bisa dikategorikan sebagai intelektual muda atau dapat mewakili generasi muda lintas latar belakang era itu.
Kini mereka sudah tua bahkan diantara mereka ada yang sudah meninggal dunia. Mungkin yang masih hidup hanya Pak M. Amin Rais yang pernah menjadi Ketua PP Muhammadiyah menjelang Reformasi 1998 dan Ketua MPR RI di awal era Reformasi.
Buku ini berisi beberapa tema pembahasan diantaranya sebagai berikut: Hati Nurani Umat, Kebangkitan Islam, Gagasan-gagasan Pembaharuan Islam, Umat Islam Dalam Gelanggang Sejarah, Umat Islam dan Rekayasa Sosial, Dokumeta Selekta, Dakwah dan Pengembangan Masyarakat, Islam dan Kebudayaan (Potret Sejarah), Dunia Islam dan Internasional, Biografi Singkat Mohamad Natsir dan Biodata Pewawancara. Memang pemikiran Pak Natsir tidak cukup hanya dengan membaca buku ini. Namun pantulan fikiran yang terrekam dalam wawancara menjelang usia beliau ke-80 pada tahun 1986-1987 ini bisa dianggap sebagai abstraksi dari pandangan dan sikap tokoh Masyumi sekaligus Ketua Masyumi tahun 1949-1958 ini.
Pak Natsir sendiri pernah menjadi Anggota dan Wakil Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat-KNIP (tahun 1945 dan 1946), Menteri Penerangan pada Kabinet Syahrir ke-2 dan ke-3 (tahun 1946), Menteri Penerangan pada Kabinet Hatta ke-1 (tahun 1949), Perdana Menteri (1950-1951), Anggota DPR RI (tahun 1955), dan Anggota Konstituante (tahun 1956-1958). Beliau juga mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), bahkan pernah menjadi Ketua DDII (tahun 1967-tua).
Selain itu beliau juga pernah menjadi Wakil Presiden World Muslem Congress atau Kongres Muslim Se-Dunia (tahun 1967-1993), Anggota World Moslem League atau Rabitah al-Alam al-Islami (tahun 1969) dan Anggota Dewan Masjid Se-Dunia (tahun 197ini. Tokoh yang akrab dengan berbagai kalangan ini memang tergolong tokoh yang langka dalam perjalanan “Islam Politik” dan “Politik Islam” di Indonesia.
Dengan sikap tegasnya dalam berbagai isu tak membuatnya tidak berkomunikasi dan menjaga hubungan baik dengan berbagai kalangan. Justru beliau sangat akrab dengan berbagai kalangan, termasuk yang berbeda pandangan dengannya, juga non muslim. Beliau bukan tipe tokoh yang suka mendendam pada lawan politiknya. Malah beliau selalu berupaya untuk menjaga hubungan baik dengan mereka dalam segala kondisi.
Tokoh kelahiran Alahan Panjang, Sumatra Barat, sekitar 114 tahun silam ini (lahir 17 Juli 1908) adalah sosok yang disegani oleh kawan dan lawan. Beliau pun memiliki atribut penghargaan yang cukup membanggakan. Misalnya beliau dikenal sebagai tokoh muslim yang tegas, politikus terdepan, pemimpin sederhana, negarawan terkemuka dan tokoh internasional yang dihormati.
Terima kasih banyak kepada tokoh yang mewawancara, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup, termasuk Pak Ahmad Watik Pratiknya yang berkenan menyunting secara apik naskah hasil elaborasi dari rekaman yang mengandung pesan penting ini. Begitu juga kepada DDII di Jakarta dan Laboratorium Dakwah di Yogjakarta yang telah menerbitkan buku ini, saya layak menyampaikan terima kasih banyak.
Saya berpandangan apa yang dilakukan adalah tugas sejarah yang nilainya sangat tinggi. Selain pewarisan nilai dan gagasan, dengan penerbitan menjadi atau dalam bentuk buku semacam ini, membuat generasi era ini dan di masa yang akan datang bisa membaca dan belajar lebih serius tentang apa yang dilakoni Pak Natsir di masa lalu. Pak Natsir telah banyak sumbangan dan suri tauladan yang telah ditunjukkan pada kita dan sejarah. Kisah perjalanan hidup beliau adalah kisah perjuangan yang heroik dam penuh makna juga pesan. Seluruh langkah kaki dan desah nafasnya adalah sejarah bagi diri, umat dan bangsa.
Sekadar mengenang kembali salah satu jasa besarnya, yaitu “Mosi Integral Natsir”. Hal ini berawal dari perbedaan pendapat beliau dengan Bung Karno tentang Irian Barat yang kini akrab dengan sebutan Papua. Gagasan integrasi berbagai negara bagian dalam wadah negara kesatuan yang diinisiasi beliau-lah yang kelak hingga kini masih diakui bahkan kita menyebutnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
Ya, Pak Natsir memang sudah meninggal di Jakarta pada 6 Februari 1993 pada usia 85 tahun. Namun semangatnya untuk membangun jiwa dan raga umat sekaligus bangsa ini serta peradaban global takkan lekang dihempas zaman. Melalui buku-buku karyanya dan buku-buku lain yang membahas tentang beliau dan pemikirannya, kita bisa membaca dan menelisik lebih mendalam apa yang seharusnya kita warta dan wariskan kepada generasi yang akan datang. Sehingga “Percakapan Antar Generasi” benar-benar dilakoni dengan apik, terwariskan dengan baik dan tersejarahkan kembali. (*)