Oleh: Leihana
(Penulis adalah Pemerhati Masalah Umat)
“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu jadi tanaman”
PETIKAN lagu Koes Plus ini bukan sekadar syair belaka tetapi nyata adanya, salah satunya terpampang nyata di kesuburan tanah desa Wadas Purwerejo, yang diakui oleh mayoritas masyarakatnya bahwa tanah Wadas adalah tanah surga, seperti yang diungkapkan Mbah Marsono (62 tahun) warga asli Wadas yang secara turun temurun menjadi petani multikultur di Desa Wadas bahwa dirinya sangat berkecukupan dengan mejadi petani di desanya.
Dikaui Mbah Marsono, dirinya mempunyai 10 pohon durian, jika musimnya duriannya besar satu pohon bisa menghasilkan sepuluh juta rupiah, jadi dari sepuluh pohon saya bisa mendapatkan seratus juta rupiah, sungguh Wadas adalah tanah surga bagi kami petani.
Namun kini Mbah Marsono hanya dapat melamun memikirkan nasibnya kedepan setelah menerima kenyataan desa tempat di mana berada tanahnya menanam pepohonan akan dijadikan pertambangan batu andesit dan Bendungan Bener.
Dalam kebingungan, Marsono berkata katanya pemerintah mau mengurangi kemiskinan, kenapa malah menindas petani dan mengambil tanahnya? (projectmultatuli.org, 24/5/2021)
Hingga kini nasib Marsono dan para petani Wadas lainnya masih terombang-ambing, sejak keputusan presiden dalam Peraturan Presiden Nomor 56 tahun 2018 disahkan tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018, yang memutuskan Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener.
Tentu mayoritas warga Wadas menolak dan memperjuangkan aspirasinya sejak tahun 2018 kerap menggelar unjuk rasa di berbagai kantor tingkat pemerintahan.
Namun upaya masyarakat Wadas ini menemui jalan buntu karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menolak tuntutan mereka.`
Di satu sisi pemerintah memiliki alasan yang kuat untuk merealisasikan pembangunan bendungan ini sebab bendungan ini direncanakan bakal mengairi sekitar 15.069 hektare persawahan. Namun, apa yang dikorbankan pemerintah tidak sebanding, sebab desa Wadas sejak awal menurut tata ruang kotanya pun adalah wilayah perkebunan juga merupakan kawasan penyangga untuk bukit menoreh.
Dari sini sudah dapat dibayangkan risiko kerusakan alam dan ekosistem akibat penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener. Bendungan yang menjadi salah satu proyek strategis nasional itu berdasarkan Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018.
Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener.
Setelah perjuangan penolakan warga Wadas ini menemui jalan buntu, puncaknya pemerintah pada selasa 8 Februari 2022 melakukan pengukuran tanah proyek di desa wadas didampingi pasukan gabungan TNI, Polisi dan Satpol PP yang bentrok dengan warga yang menolak pembangunan proyek bendungan bener tersebut dan berujung penangkapan 66 warga yang dianggap mennghalangi aktivitas pengukuran tersebut. (mediaindonesia.com, 10/2)
Penangkapan terhadap 66 warga yang dianggap menghalangi kegiatan pengukuran tanah menunjukkan gaya kepemimpinan demokrasi yang merepresi rakyat dengan mengatasnamakan kepentingan pembangunan.
Pendekatan represi cenderung dilakukan karena banyak keputusan diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat tetapi kemauan segelintir pihak, hingga adu argumen bukan menjadi pilihan. Padahal keuntungan yang didapatkan pemerintah dari proyek tersebut tidak seberapa jika dibandingkan kepentingan rakyat.
Keputusan ini bagaikan keputusan manusia tidak waras yang tidak bisa memilih benar salah, untung rugi secara proposional. Bendungan Bener yang direncanakan dapat memenuhi kebutuhan air untuk masyarakat dan pengairan pertanian juga tercium bukan seutuhnya untuk kepentingan rakyat sekitar tetapi untuk memenuhi kebutuhan air proyek lain yaitu kota aetropolis seluas 7.000 hektare yang akan menjadi kota masa depan pesisir selatan Jawa.
Diketahui suplai air bersih dari bendungan Bener nantinya akan mentuplai 300liter/detik untuk wilayah Kebumen, 500liter/detik untuk Purwerejo, 200liter/detik untuk Yogyakarta Internasional Airport (YAI) sedangkan 700liter/detik akan dialirkan ke Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah tempat akan dibangunnya kota aetropis tersebut. Jelas bahwa pembangunan Bendungan Bener ini sarat kepentingan proyek besar korporasi yang jadi tujuan utamanya bukan semata kebutuhan utama rakyat. Sedangkan yang dikorbankan adalah kehidupan utama warga Wadas yang 99%nya adalah petani yang jika lahannya hilang maka hilang pula mata pencahariannya.
Inilah kerugian umat yang tak memiliki kepemimpinan seperti kepemimpinan dalam sistem Islam yaitu khilafah yang mengayomi dan mengedepankan kemaslahatan rakyat. Dalam Islam kedudukan barang tambang adalah milik umum, artinya tidak boleh dikuasai individu atau dimanfaatkan untuk kepentingan individu tertentu saja. Melainkan harus dikelola oleh negara sebagai wakil rakyat.
Sebagaimana hadis dari al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepadanya? Tidak lain Anda memberi al-mâ‘u al-‘iddu (air yang terus mengalir).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, lalu Rasulullah menarik kembali tambang itu dari Abyadh. (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani
Jelas bahan tambang berskala besar seperti batu Andesit di Wadas ini termasuk milik umum yang tidak boleh dimiliki atau dimanfaatkan untuk proyek swasta semata seperti untuk mendukung proyek kota Aetropis di Kulon Progo saja tetapi mengorbankan kepentingan rakyat Wadas yang memanfaatkan lahannya sejak lama untuk pertanian.
Dalam Islam juga negara tidak boleh memaksakan mengambil tanah milik rakyatnya jika mereka tidak Rela. Sebagaimana ketegasan Umar Bin Khathab saat menjadi Khalifah ketika mendapat aduan dari seorang Yahudi dari Mesir yang tidak rela jika tanahnya dibeli oleh Gubernur Mesir Amr bin Ash. Seketika itu pula Umar selaku kepala negara marah dan menggoreskan garis lurus di sebuah tulang untuk memberi pesan kepada Amr bin Ash untuk berlaku adil pada siapapun rakyatnya.
Demikianlah bagaimana Islam mendudukkan kepemilikan pribadi, umum dan negara dengan sangat rapi dan tidak boleh tumpang tindih. Untuk mendapatkan kesejahteraan dan kepemimpinan yang Waras nan menyejahterakan umatNya. Wallahu’alam bi ashowwab. (*)