Oleh: Indri Septiani, S.Pd
(Guru Ponpes Sains Salman Assalam Cirebon-Jawa Barat)
“MAAF, saya tidak bisa menulis.” Mungkin kita pernah atau sering menemukan jawaban seperti ini ketika kita meminta seseorang untuk menulis. Padahal menulis telah menjadi makanan sehari-hari semenjak kita resmi mengenakan seragam merah putih. Kali ini konteksnya berbeda, menulis bukanlah menyalin atau memindahkan tulisan guru di papan tulis ke buku catatan. Apalagi memindahkan jawaban teman ke lembar jawaban milik sendiri saat ujian, bukan. Tentu bukan menulis seperti itu yang di maksud. Meskipun pada kenyataannya, menulis telah mengalami penyempitan makna.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, menulis berarti (1) membuat huruf, angka, dsb; (2) melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang dan membuat surat) dengan tulisan; mengarang cerita. Berdasarkan makna tersebut, menulis bisa dimaknai sebagai kemampuan atau ketrampilan seseorang dalam mengemukakan gagasan-pikirannya kepada orang atau pihak lain dengan dengan media tulisan.
Kata ketrampilan pada makna di atas perlu digarisbawahi sehingga menulis akan menjadi sama seperti ketrampilan lainnya; berenang, menyanyi, dan lain-lainnya dimana dibutuhkan latihan untuk dapat melakukannya dengan baik. Begitu juga menulis. Sebuah pemahaman yang salah jika orang enggan menulis dikarenakan menulis bukanlah bakatnya.
Menurut Marion Zimmer Bradley, seorang penulis terkenal, menerangkan bahwa sembilan puluh persen kesuksesan menulis adalah berasal dari kerja kerasnya, sedangkan bakat dan inspirasi hanya memiliki andil sepuluh persen. Maka dapat disimpulkan bahwa bila kita ingin punya karya tulis maka kita hanya perlu membiasakan diri untuk dan dengan budaya menulis itu sendiri.
Budaya menulis adalah salah satu budaya intelektual yang seharusnya akrab dengan kehidupan pelajar dan mahasiswa yang seringkali disebut sebagai kaum intelektual. Kiranya cukup miris sekali jika untuk menyelesaikan tugas makalah bahkan skripsi sekalipun, banyak dari pelajar dan mahasiswa yang menyelesaikannya dengan sangat instan (seperti copy paste karya orang lain).
Fenomena tersebut memperlihatkan seakan-akan tugas menulis adalah beban berat yang membebani pundak. Pelajar dan mahasiswa pun tak sedikit yang telah jauh terbuai pada gemerlap budaya nir-intelektual. Ternyata penyakit ini juga dialami oleh para guru dan dosen. Padahal di Amerika, menulis dan membuat sebuah karya tulis adalah kegiatan sehari-hari para guru dan dosen.
Sepertinya stigma berat tentang kegiatan menulis ini tak hanya menjangkiti kalangan pelajar, mahasiswa, guru dan dosen yang kerap diidentifikasi sebagai kaum intelektual; tetapi memang sebagian masyarakat kita menganggapnya demikian. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) bahwa Jepang mampu menerbitkan lebih dari 80.000 judul buku per tahunnya. Sedangkan Indonesia dengan jumlah penduduknya yang jauh lebih banyak hanya menerbitkan kurang lebih 30.000 buku per tahunnya.
Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando mengatakan bahwa total jumlah buku bacaan yang diterbitkan dengan total penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,9. Ini artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahunnya. Sedangkan menurut standar UNESCO minimal 3 buku baru untuk setiap orang di setiap tahunnya.
Lalu, bagaimana dengan negara lainya di Asia Timur seperti Jepang, Korea, dan Cina? Mereka memiliki 20 buku baru untuk setiap orang di setiap tahunnya. Maka berdasarkan data tersebut dapat kita ketahui bahwa minat menulis dan membaca masyarakat Indonesia sangatlah rendah, sementara minat menulis dan membaca masyarakat Asia Timur sangat tinggi.
Menulis dan membaca memang sepasang kegiatan yang tak bisa dipisahkan. Untuk dapat menulis, kita dituntut untuk banyak membaca. Karena membaca adalah proses mengolah informasi menjadi pengetahuan dan intelektual sehingga pengetahuan kita semakin bertambah. Dengan begitu, semakin bertambah pula ilmu yang dapat dibagikan melalui karya tulis yang kita tulis.
“Ilmu itu seperti buruan maka ikatlah ia dengan menuliskannya!”, begitulah pesan yang disampaikan Imam Syafi’i. Ya, bahwa ilmu akan terjaga dengan menuliskannya. Bukankah ketika lidah lebih buas melemparkan kata-kata, ada tangan yang siap menggerakkan kata-kata melalui goresan pena? Tak perlu menanti gelar besar di ujung nama untuk menghasilkan sebuah karya besar. Sebab kita takkan pernah tahu apakah usia kita akan sampai pada saat dimana gelar tersebut bersanding dengan nama kita.
Diantara amal yang takkan pernah putus ketika jiwa tak lagi membersamai raga salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Tulisan yang kita hadirkan akan menjadi amal yang mengalir untuk setiap kebaikannya. Seperti kata A. Fuadi bahwa tulisan kita akan lebih panjang umurnya bahkan ketika kita telah tiada.
Dengan begitu, menulis dan membaca sudah sepantasnya menjadi sebuah kebutuhan. Berikanlah harapan pada negeri ini bahwa generasi muda sekaligus para calon pemimpinnya mampu mempersembahkan karya untuk masa depan diri juga negerinya. Akhirnya selamat menulis, mari berkarya! (*)